Jaga Alam dan 4 Hal Lain yang Bisa Anda Pelajari di Leutuan Leuhoe’ Lembata
RakatNtt.com –
Leutuan terdiri atas dua kata dalam bahasa daerah Kedang, Lembata, yakni Leu
dan Tuan. Leu berarti kampung, Tuan berarti lama. Dengan demikian, secara
harafiah, Leutuan berarti “kampung lama” yang memberi bukti jejak keberadaan
leluhur dan peradaban tempo lalu. Oleh karena itu, dalam sebuah diskusi, Eman
Ubuq, salah seorang penggiat budaya Edang mengatakan, Leutuan juga bisa berarti
kampung leluhur. Selain itu, perlu diketahui bahwa Leutuan juga menjadi pusat diadakan
ritual adat sehingga memiliki nilai sakralitas tersendiri.
![]() |
Para Pandu Budaya dalam kegiatan Sekolah Lapang Kearifan Lokal mengunjungi Leutuan Leuhoe', Desa Hoelea II, Kecamatan Omesuri, Kabupaten Lembata, NTT |
Di
Kabupaten Lembata, tepatnya di Kedang, Kecamatan Omesuri dan Buyasuri, terdapat
banyak Leutuan di setiap kampung. Dari banyak Leutuan tersebut, salah satu
Leutuan yang memiliki keunikan dan wajib diketahui oleh publik yakni Leutuan
Leuhoe’.
Di
dalam kompleks Leutuan Leuhoe’ yang terdapat di Desa Hoelea II, Omesuri ini,
terdapat beberapa rumah adat yang dimiliki oleh masing-masing suku/klan yang
ada di kampung Leuhoe’. Dapat disebutkan beberapa suku yang ada di kampung ini
yakni Leuhoe’ Tubar, Leuhoe’ Payong, Leuhoe’ Take’, Belutowe, Edang Wala dan
beberapa suku yang lain.
Saat
mengunjungi Leutuan Leuhoe’ pada 23 Juni 2023 lalu, saya menemukan beberapa
kesan positif yang memberi inspirasi tersendiri yakni sebagai berikut.
Menjaga Alam
Hutan
menjadi bagian dari identitas Leutuan Leuhoe’. Sebab sebelum memasuki gerbang
Leutuan Leuhoe’, para pengunjung akan melihat langsung jejeran pohon-pohon
bertubuh raksasa berdiri menjulang memikul langit dan akarnya mencakar ke perut
bumi. Pohon beringin, rumpun-rumpun bambu, kelapa dan aneka jenis pepohonan
dedaunan hijau lainnya amat dilindungi dan dianggap sebagai saudara serahim.
Di
gerbang Leutuan Leuhoe’ juga tertulis beberapa peringatan agar para pengunjung
menjaga alam, tidak menebang pohon sembarangan dan lain sebagainya. Wujud nyata
dari menjaga alam tersebut juga dapat terlihat pada kesetiaan orang Leuhoe’
dalam menjaga kebersihan di kampung lama leluhurnya.
Di
Leutuan Leuhoe’ dilarang membuang sampah sembarangan! Sungguh, peringatan ini
tak dilanggar oleh orang Leuhoe’. Ketika ada rombongan pengunjung yang datang
dalam jumlah banyak, maka sudah disiapkan beberapa orang yang bertugas
mengumpulkan sampah plastik misalnya botol minuman.
Saling Menghormati
Nilai
sosial yang dapat ditemukan di Leutuan Leuhoe’ yakni menghormati tamu dan
menghormati tuan rumah. Sebelum langkah kaki para pengunjung masuk ke kompleks
Leutuan Leuhoe’, salah seorang tetua berperan sebagai pengantar atau petunjuk
jalan. Tangannya harus menyentuh bahu masing-masing pengunjung sebagai bukti rasa
hormat dan penerimaan yang tulus dari tuan rumah. Setelah bahu disentuh, dahi
para pengunjung juga diberi tanda lagi oleh salah seorang tetua lainnya (Dua’
wau) sebagai simbol bahwa para pengunjung resmi diterima oleh tuan rumah
sebagai tamu yang dihormati. Saat memasuki kompleks Leutuan, berdiri beberapa
tetua adat menyambut tamu dengan berjabatan tangan dan bersalaman kemudian
diantar menuju pusat Leutuan diiringi bunyi gong gendang dan tarian oleh are’ weri’ Leuhoe’.
Sebelum
dipersilahkan untuk duduk di tempat terhormat, beberapa utusan pengunjung
diwajibkan untuk makan sirih pinang, isap rokok tembakau koli dan meneguk tuak –
minuman bernilai persahabatan bukan untuk
mabuk-mabukkan.
Dari
pengalaman ini, sesngguhnya nilai yang dapat dipetik yakni saling menghormati,
tamu menghormati tuan rumah; tuan rumah menghormati tamu.
Menjalankan Peran Masing-masing
Dalam
wawancara saya dengan salah seorang tetua usai kunjungan ke Leutuan Leuhoe’ –
maaf saya lupa mencatat namanya – ia mengatakan sistim birokrasi tradisional
atau Ka Le’ Mata di Leuhoe’ masih
dijalankan secara baik. Setiap suku tahu betul perannya secara adat. Ada yang
berperan sebagai tubar atau imen (pembicara), Liman weri dan wanan (pelayan), ebon
yang bertugas sebagai humas atau juga penjaga kampung.
![]() |
Abdul Gafur Sarabity, pemuda penggiat budaya lokal saat diwawancarai wartawan di Leutuan Leuhoe' |
Sistim
birokrasi tradisional ini dijalankan secara baik sehingga keharmonisan
masing-masing suku di Leuhoe’ tertata rapih. Masing-masing suku tahu betul
tugasnya tanpa saling sikut atau memanipulasi satu sama lain.
Pada
konteks ini, Pemerintah Desa (sistim birokrasi negara) juga amat dihormati dan
menghormati. Di Leutuan Leuhoe’ Pemerintah Desa juga memiliki tugas atau peran
yakni sebagai pembicara. Namun, kesempatan sebagai pembicara terakhir bukan
pertama. Sebelum para pengunjung meninggalkan Leutuan Leuhoe’ di situlah Kepala
Desa diberi kesempatan untuk berbicara. Sedangkan pembicara pertama saat
pengunjung memasuki Leutuan ialah tetua adat yang dipercayakan.
Menjaga Warisan Leluhur
Terdapat
beberapa warisan kasat mata yang ada di Leutuan Leuhoe’ yakni bekas kaki beheng
nobol pada sebuah batu, cincin beheng nobol, situs-situs sejarah, rumah adat
dan lainnya. Menurut penjelasan tetua Leuhoe’, Beheng Nobol merupakan seorang
panglima perang atau penjaga kampung (Mi’er Leu). Ia berasal dari sebuah tempat
di gunung Uyelewun yakni Uru utu’ Are’ Namang. Ia datang bersama dua saudaranya
yakni Bunga Nobol dan Pari Nobol. Mereka kemudian hidup bersama leluhur Leuhoe’
dan diterima sebagai saudara sendiri.
Situs
peninggalan Beheng Nobol terletak di luar kompleks Leutuan; kuburnya terletak
tepat di pintu masuk Leutuan. Pengunjung bisa datang ke tempat ini dan
melihatnya langsung niscaya terbayang masa lalu; terbayang kesakstian seorang
Beheng Nobol sang pemanah bertubuh raksasa yang menewaskan Mau Bara dengan satu
tembakan panah pada jarak yang amat jauh.
Mengenal Keunikan Leye (Jali-Jali)
Leye
atau jali-jali merupakan pangan lokal yang menjadi ikon Leutuan Leuhoe’. Leye
juga memiliki nilai sakral sehingga dalam aturan adat di Leuhoe’, beberapa
orangtua (khususnya perempuan atau istri) selama hidupnya hanya mengonsumsi
Leye. Makanan warisan leluhur ini sudah menyatu dengan beberapa perempuan di
Leuhoe. Istri dari tetua dalam suku Leuhoe’ khususnya yang mewariskan hak
kesulungan tidak mengonsumsi beras melainkan leye sepanjang hidupnya. Ini sudah
menjadi “takdir adat” yang mesti dia pikul demi keberlanjutan aturan adat dalam
suku bersangkutan.
Kepala
Dinas Porabud Kabupaten Lembata, Apolonaris Mayan yang setia mengikuti kegiatan
Sekolah Lapang Kearifan Lokal di Desa Hoelea II mengatakan dengan runut dan
bijaksana bahwa Leye sebagai pangan lokal di Leuhoe’ mesti didorong untuk
bernilai ekonomi. Leye tidak hanya ditanam dan dikonsumsi oleh orang Leuhoe’
tetapi mesti menjadi milik warga Lembata.
Dengan
demikian, lahan untuk produksi leye mesti disiapkan. Hal ini menjadi tanggung
jawab kolaboratif antara Pemerintah, Masyarakat adat, anggotan pandu budaya dalam
kegiatan Sekolah Lapang Kearifan Lokal dan komponen-komponen penting lainnya.
(Rian Odel)