Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Kisah Dorong Dope’ Masyarakat Kampung Leulea’ Bermula dari Tragedi Gurita Raksasa

 

RakatNTT.com - Awal mula kehidupan masyarakat etnis Edang berada di puncak gunung uyelewun. Seorang leluhur menurut kepercayaan dan atau tuturan lisan pendahulu bahwa Uyolewun adalah manusia pertama yang melahirkan generasi Edang yang kini tersebar di seputaran gunung Uyelewun dengan pembagian dua wilayah administarasi yakni kecamatan Omesuri dan Buyasuri, (Uyelewun adalah nama Gunung sedangkan Uyolewun adalah nama orang).


Anak-anak Kedang - Foto RakatNtt


Setelah beranak pinak, mereka mulai menyebar ke masing-masing tempat atau mulai turun dari gunung. Ada yang langsung ke kaki gunung, adapula yang menyinggahi beberapa tempat untuk melangsungkan kehidupan mereka. Proses berpindah-pindah ini disebut Dorong Dope’ Ahe Toha.

Generasi dari Moyang Pira’ Eto’

Nenek moyang orang Kedang pada masa lampau menetap di Leu Rian dan Leu Ehoq (Kampung besar, kampung kecil). Artinya bahwa mereka tingggal di Gunung Uyelewun. Salah satu turunan/kelompok masyarakat dari beberapa komunitas etnis Edang yang melakukan dorong dope’ (berpindah-pindah) adalah generasi dari Moyang Piraq Etoq.

Pira’ Eto’ menetap di Leu Bola (nama tempat/kampung) pertama yang disinggahinya setelah berpindah dari puncak gunung Uyelewun. Pira’ Eto’ melahirkan 5 orang anak yakni Taran Pira’, Beni Pira’, Lewun Pira’, Talu Pira’ dan E’ul Pira’.  Kelima anak dari Pira’ Eto’ tersebut juga menetap di Leubola dan melahirkan keturunannya masing-masing.

Dalam perjalanan waktu ada sebuah peristiwa yang terjadi di kampung Leubola saat itu. Seekor gurita besar (arabora) naik dari laut melalui sebuah lubang besar yang sampai ke gunung (welong) lalu menerkam anak-anak yang bermain di sekitar lubang tersebut. Lalu, mereka kemudian membuat strategi untuk membunuh gurita besar itu dengan cara menyiram air panas ke lubang gurita (arabora) ketika gurita tersebut hendak menerkam anak-anak yang sedang bermain (akan ditelusuri lebih mendalam).

Alhasil, gurita besar itu mati dan menimbulkan bau menyengat sehingga generasi dari Pira’ Eto’ tersebut bermigrasi dari Leubola ke dua tempat yang berbeda. Taran Pira’ dan Talu Pira’ beserta rumpun besar mereka menuju Leu Mamu’, yang sekarang berada pada wilayah administrasi Desa Roma. Sedangkan Beni Pira’, Lewun Pira’ dan E’ul Pira’ menuju ke kampung Leulea’.

Saat ketiga saudara tersebut yakni Beni Pira’, Lewun Pira’ dan E’ul Pira’  bersama anak cucunya sampai di Kampung Leulea’, mereka lakukan aktivitas kehidupan (ola a pai’ sin) seperti biasa. Kurang lebih mereka lahirkan tiga generasi secara garis turunan, datang pula dua rumpun besar yang juga melakukan dorong dope’ yakni Peuuma Automo dan Peuuma Ebeha’i dan menjadi satu rumpun besar Kampung Leulea’ saat itu.

Tatanan kehidupan harmonis telah dibentuk dalam perjalanan hidup mereka. Meskipun berbeda dalam garis keturunan maupun bernomaden tetapi hubungan kedekatan menjadi spirit dalam melangsungkan kegiatan sehari-hari.

Saat itu, mereka bermusyawarah sepakati nama kampung dan pembagian tugas dari masing-masing suku/klan. Bahwa Beni Pira’ melahirkan turunannya sampai pada suku/clan Kiliroong. Lewun Pira’ melahirkan turunannya sampai pada suku/clan Tahi’lia’, Lapilia’, dan Bokilia’.

Sedangkan E’ul Pira’ melahirkan turunannya sampai pada suku/clan Leubola (Leubola adalah nama kampung yang dijadikan suku/clan dari turunan E’ul Pira’).

Kesepakatan atas musyawarah tersebut disepakati nama kampung mereka adalah Leuleaq atau Lea’ Lama Mengi, Lingir Lama Dale. Hingga berjalannya waktu, mereka turun dari kampung Leulea’ (kampung lama) ke Duli (kampung baru/yang sekarang) untuk toang kopa’ hode’ banger, toang tuang banger raya, u’ wa’ pati bea (menunggu para pemimpin, membayar pajak sesuai kehidupan masyarakat pada zaman penjajahan). – Ditulis oleh Ramadhan Abddulah.***

 

Post a Comment for "Kisah Dorong Dope’ Masyarakat Kampung Leulea’ Bermula dari Tragedi Gurita Raksasa"