Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Budaya-Buaya di Lembata: Siapa yang Salah?

 


RakatNtt.com – Kurang lebih 15 menit aktivitas mencari ikan, terdengar suara minta tolong sebanyak 3 kali; perlahan menghilang di balik deburan bunyi ombak laut sawu. Nelis dan Sapri menduga, saudara seperjuangan mereka, Goris Leu Buangleraq diterkam buaya ganas. Dugaan itu tak meleset sedikitpun. 

Ilustrasi


Kejadian sadis itu telah menghilangkan nyawa Goris Leu, Warga Desa Panama, Kecamatan Buyasuri, Lembata, Selasa 12 September 2023 sekitar pukul 18.30 Wita di perairan pantai Bean, Desa Bean, Lembata. Sebuah pantai yang potensial di bidang wisata yang sudah berulang-ulangkali menelan korban jiwa ulah keganasan buaya alias Bapa Iu alias nenek moyang oleh sebagian orang yang masih teguh pada keyakinan tradisional.

Goris Leu Buangleraq ditemukan meninggal dunia pada Rabu 13 September 2023 sekitar pukul 04.00 Wita di daerah pantai Atanila, Omesuri – jarak yang sangat jauh dari Bean ke Atanila. Suara tangisan tak terbendung, duka menguasai Desa Panama dan Lembata secara umum. Buaya makan korban lagi dan netizen pun berdebat lagi; ada yang marah, ada yang menjadikannya sebagai bahan lelucon. Miris!

Budaya-Buaya

Namanya sebuah keyakinan, berarti sulit dibuktikan dengan logika ilmiah. Buaya sebagai binatang buas yang tak berakal sehat tak mungkin tolak daging segar di hadapan taringnya yang tajam. Namun, logika seperti ini tak “diterima” oleh sebagian orang yang masih meyakini eksistensi buaya sebagai nenek moyang mereka. Bahkan ketika korban terkaman buaya tewas, sering ada bahasa-bahasa “membela buaya” bahwa korban tersebut pasti telah melakukan sebuah dosa besar. Korban yang sudah tak bernyawa kemudian mulai dicari-cari kesalahannya. Ini sebuah keyakinan yang sudah membudaya dan mengakar di tengah masyarakat suku Kedang, Lembata.

Kasus tewasnya Goris Leu Buangleraq, hingga kini masih menimbulkan perdebatan sengit di media sosial. Ada yang mengekspresikan ketidakpuasan mereka lantaran buaya tersebut dibiarkan lolos begitu saja padahal binatang itu sudah menghilangkan nyawa manusia. 

Dalam sebuah video viral, buaya tersebut malah disuruh pulang ke lubangnya alias Markas Besarnya yang ada di kampung Atanila, Lembata. Mengapa buaya itu tidak dihabiskan? Alasan mendasar ialah: nenek moyang!

Buaya sebagai nenek moyang dalam keyakinan Kedang tidak dikategorikan sebagai binatang buas. Nenek moyang hanya bisa mencabut nyawa cucu-cucunya jika ada dosa besar. Orang yang merasa dirugikan karena dosa orang tertentu akan melakukan seremoni adat yang dalam bahasa Kedang disebut ame’ sabong – meminta buaya menghabiskan nyawa orang yang telah berbuat dosa itu. Benar atau salah tradisi ini, penulis tidak layak menegaskan. 

Dari keyakinan-keyakinan terhadap kebenaran tradisional tersebut; pertanyaan yang muncul ialah siapa yang salah? Yang pasti kita tidak mungkin mempersalahkan buaya sebagai binatang buas. Sebab ia tak punya akal seperti manusia. Maka yang mengatasi semua persoalan ini mesti kembali pada akal sehat manusia, baik dari masyarakat Kedang maupun pada pengambil kebijakan yakni Pemerintah.

Bahan refleksi kritisnya; apakah budaya-buaya tersebut tetap dipertahankan dan mendominasi akal sehat manusia atau mesti ada benang merah untuk menghubungkannya dengan logika ilmiah bahwa buaya itu binatang buas bukan nenek moyang?

Dalam konsep-konsep dasar ilmu antropologi, terdapat salah satu konsep yang memiliki relevansi dengan konteks buaya sebagai kebenaran yang diterima logika ilmiah dan logika cocoklogi. Konsep tersebut yakni Emik dan Etik. Emik mengacu pada kebenaran yang bersifat khas-budaya atau yang diyakini benar oleh penganut budaya tertentu. 

Sedangkan etik menekan kebenaran universal yang bisa diterima oleh semua masyarakat dalam budaya yang berbeda-beda. Buaya sebagai nenek moyang mengacu pada konsep emik sedangkan buaya sebagai binatang buas mengacu pada konsep etik. Tugas kita sekarang adalah mencari benang merah untuk menyatukan emik dan etik tanpa saling mendominasi atau mempersalahkan antarpihak.

Pemerintah Jangan Jadi Penonton Setia

Dari tahun ke tahun selalu saja ada korban jiwa dari terkaman buaya – lebih banyak di wilayah pantai selatan Kedang, Lembata. Namun, Pemerintah seolah-olah diam atau pasrah pada fenomena ini. Pemerintah bertindak seperti penonton setia. Apakah kejadian seperti ini dibiarkan menjadi sejarah?

Untuk mengatasi semua persoalan yang berkaitan dengan logika yang bertabrakan ini, maka pemerintah tak boleh diam. Pemerintah mestinya mengadakan riset terkait dengan fenomena ini, khususnya dari segi budaya masyarakat. Sudah ditegaskan di awal tulisan ini bahwa sebuah keyakinan berarti dianggap benar final tanpa diskusi oleh penganutnya. Namun, seiring perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan yang kian pesat, konsep tradisional itu bisa diubah. Mesti ada diskusi dengan masyarakat adat setempat.

Dari diskusi itu mesti melahirkan keputusan yang adil, misalnya penangkaran agar buaya tidak menjadi liar dan menerkam cucu-cucunya. Pada sisi yang lain, masyarakat adat juga mesti membuka diri menerima konsep yang baru dari pemerintah. Bahwa sebuah keyakinan adalah kebenaran mutlak tetapi fenomena hilangnya nyawa manusia tidak bisa dianggap hal yang biasa-biasa saja. Kebenaran yang diyakini oleh masyarakat adat tetaplah menjadi kebenaran mutlak dan nyawa manusia juga mesti tetap dilindungi saat melaut, maka solusinya adalah penangkaran sehingga tidak terjadi perang “ghaib” yang menakutkan. Selain penangkaran, tentu ada juga solusi-solusi lain yang berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat Kedang misalnya mengadakan ritual adat.

Semua ini hanya bisa diwujudkan jika adanya kesadaran bahwa manusia lebih tinggi dari buaya dan masyarakat adat mesti membuka diri serta pemerintah tidak menjadi penonton setia.

Nilai-nilai Universal yang Dipetik

Setiap kejadian entah yang positif maupun sebaliknya mesti selalu direfleksikan. Kejadian penerkaman buaya tersebut memberikan beberapa nilai positif yang mesti dipegang.

Pertama, relasi manusia dan alam. Dikutip dari kompas tv (20 Juni 2021), salah satu alasan buaya menyerang manusia yakni terjadinya tumpang tindih ruang aktivitas manusia dan buaya. Hal ini ditegaskan oleh Kepala Resort Bangka, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatrea Selatan, Septian Wiguna. Sementara itu, menurut Hellen Kurniati (Ibid.,) Peneliti Utama Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), penyebabnya karena buaya kehilangan pakan alaminya. 

Ketika wilayah yang ditinggali buaya mengalami penurunan jumlah makanan, maka buaya akan mencari wilayah baru yang mampu menjamin keberlangsungan hidup mereka. Pakan alami buaya yakni ikan, burung, reptil dan mamalia kecil. 

Dari referensi tersebut, yang perlu ditekankan ialah soal relasi manusia dan alam. Jika manusia mencari makan dengan cara-cara haram misalnya bom ikan di wilayah sekitar markas buaya, maka bisa saja terjadi buaya akan menjadi liar dan mencari manusia sebagai pengganti pakan alaminya. Selain dua alasan di atas, ada pula alasan lain yakni meningkatnya populasi buaya dan manusia, alih fungsi lahan dan musim kemarau diikuti musim kawin buaya.

Dari beberapa alasan yang dikemukakan oleh dua narasumber tersebut mendorong kita untuk berefleksi sesuai dengan akal sehat kita – jangan bom ikan, tahu jadwal musim kawin buaya dll.

Kedua, menjaga tingkah laku. Dalam kearifan lokal Kedang, penyebab buaya memangsa manusia karena adanya dosa besar dari korban. Dengan demikian, setiap kita mesti menjaga tingkah laku dan tutur kata kita dalam membangun kehidupan sosial setiap hari.

*Oleh Antonius Rian, Staf Pengajar pada SMAK St. Yakobus Rasul Lewoleba

Post a Comment for "Budaya-Buaya di Lembata: Siapa yang Salah?"