Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Beras dan Stigma Negatif terhadap Pangan Lokal Kedang, Lembata

 


RakatNtt.Com – Karakter manusia juga terbentuk dari bahasa atau konsep-konsep yang digunakan. Lebih jelas lagi, menurut Edward Sapir B. Lee dikutip Yohanes Orong, Bahan Kuliah di STFK Ledalero., 2014: 45, bahasa yang dipakai selalu memengaruhi kebudayaan manusia. Artinya, setiap tindakan budaya atau tradisi-tradisi yang diwariskan tak pernah terpisah dari konsep-konsep bahasa yang memberi pengaruh atau melatarinya. Untuk mengubah sebuah kebiasaan, maka bisa dimulai dengan mengatur bahasa atau konsep.

Beras sudah menjadi makanan pokok orang Kedang


Akhir-akhir ini, lagi ramai kampanye masif tentang mengonsumsi pangan lokal. Banyak komunitas yang bergelut khusus di bidang pengembangan pangan lokal ini, salah satunya Pandu Budaya Lembata. Komunitas yang berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek ini telah mengidentifikasi beraneka pangan lokal di Lembata. Dalam tulisan ini akan dibahas  khusus tentang pangan lokal di wilayah Kedang, Kecamatan Omesuri dan Buyasuri.

Orang Kedang sudah menjadikan nasi beras sebagai makanan pokok. Dari sumber-sumber yang diperoleh, beras masuk ke wilayah Kedang sekitar tahun 1970-an. Hal ini tentu saja tak pernah terlepas dari Revolusi Hijau Orde Baru. Namun, belum diketahui secara persis siapa yang menyebar virus kepada warga Kedang bahwa nasi beras memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan pangan lokal asli Kedang seperti ubi, jagung dan kacang. Orang Kedang, khususnya anak-anak muda masih marasa minder jika mengonsumsi ubi di hadapan tamu atau menyuguhkan pangan lokal kepada tamu khusunya yang datang dari kota.

Makanan lokal distigmatisasi sebagai makanan orang miskin, kelas bawah orang kampung dan tidak sehat. Sebaliknya beras dan makanan instan justru dilihat sebagai makanan berkualitas tinggi, makanan yang tidak kuno, bersih dan beraneka pemikiran positif lainnya yang disematkan pada aneka jenis makanan instan. Barangkali stigmatisasi ini bertalian dengan bisnis beras; demi barang laku, orang berusaha merendahkan pangan lokal yang sebenarnya diperoleh secara gratis.

Stigmatisasi negatif tersebut berhasil dan berjalan mulus hingga kini serta diyakini sebagai hal yang benar. Maka pada tahun 1970-an, beras hanya bisa dokonsumsi pada saat ada pesta. Dengan demikian orang berusaha untuk pergi pesta karena akan menikmati nasi beras. Hingga kini, istilah yang selalu diungkapkan oleh orang Kedang saat mengikuti pesta rakyat yakni witing anen – kambing dan beras. Pergi pesta untuk makan daging kambing dan nasi beras, makanan yang elitis. Hal lain pula, beras dinilai menjadi makanan elit karena untuk memerolehnya mesti mengeluarkan uang. Orang jual ubi, kerja mencari uang untuk membeli beras. Hal ini sudah menjadi fakta hingga kini.

Pesta di Kedang masih didominasi pemikiran tersebut, maka saat makan bersama, nasi beras akan mendominasi. Tersedia pangan lokal seperti lala’ watar – nasi jagung – tetapi persediaanya terbatas. Dari semua fakta ini, sudah muncul kesadaran baru bahwa pangan lokal sangat berkualitas. Kesadaran ini bukan datang dari orang Lembata melainkan dari jakarta. Jakarta turun ke komunitas-komunitas dan komunitas melanjutkannya kepada Pemerintah Daerah. 

Ada beberapa hal yang mesti diperhatikan terkait tema ini. Hal yang pertama yakni stop stigma buruk terhadap pangan lokal. Hal ini menjadi tugas kita bersama khususnya edukasi yang datang dari pemerintah bahwa stigmatisasi tersebut salah besar. Stop stigma buruk terhadap pangan lokal! Dari stigma buruk mesti diubah menjadi konsep yang positif bahwa pangan lokal sangat berkualitas dalam berbagai aspek. Kita mesti percaya diri dan bangga mengonsumsi pangan lokal.

Yang kedua, bukan berarti kita ingin menghilangkan nasi beras melainkan menyeimbangkannya dengan pangan lokal. Kita ingin agar pangan lokal tetap eksis di kebun-kebun warga dan di meja makan, jangan sampai lenyap seperti jeruk Kedang! Oleh karena itu, memasuki musim hujan warga mesti mulai berpikir untuk menanam dalam jumlah yang banyak beraneka jenis pangan lokal baik ubi, pisang, kacang jagung dll – jangan sampai kita hanya menanam jagung hibrida dengan konsep Tanam Jagung Panen Sapi.

Yang berikut ialah, peran pemerintah baik dari Desa maupun Kabupaten untuk mulai berpikir soal kebijakan-kebijakan politik yang menyentuh eksistensi pangan lokal. Pemerintah punya peran yang sangat strategis khususnya pada bagian kebijakan politik sembari melakukan edukasi dan kampanye masif. (Antonius Rian)

Post a Comment for "Beras dan Stigma Negatif terhadap Pangan Lokal Kedang, Lembata"