Tarian Hamang Bung Ribi' Tak Boleh Punah
RakatNtt.com - Hamang merupakan salah satu jenis tarian dengan bentuk gerakkan melingkar. Diikuti oleh banyak orang atau tanpa ada batasan peserta, tergantung pada jumlah orang yang hadir dan luas lahan untuk hamang. Barangkali hamang berasal dari kata hama yang berarti sama-sama. Hamang terdiri atas beberapa jenis antara lain sinandai, bayu ero’, tetindai, bung ribi’, heleng beda, sole’ dan beberapa lagi yang lainnya. Perbedaan dari masing-masing hamang terlihat pada gerakkan kaki dan syair yang dibawakan.
Tulisan ini akan fokus pada tarian Hamang Bung Ribi’. Biasanya tarian hamang Bung Ribi’ dipraktikkan di lahan atau tempat yang rata dan cukup luas. Jika luas lahannya terbatas, maka hamang Bung Ribi’ dibentuk menjadi beberapa lingkaran – biasanya dua lingkaran – agar sesuai dengan jumlah para penari. Menurut Vinsen Beda Amuntoda, pada zaman dulu, hamang Bung Ribi’ dipraktikkan untuk menjaga jenazah, pesta-pesta adat, atau untuk mencari jodoh. Namun sekarang, hamang jarang dipraktikkan lagi. Hal ini ditegaskan juga oleh mama Fatima Kuma, salah satu narasumber dari Desa Mahal, Omesuri.
Adapun properti yang dibutuhkan oleh para penari hamang yakni wela rian atau kamuna’ (sarung untuk perempuan), Bang (rantai di leher perempuan), Tola Bala (gelang terbuat dari anyaman daun lontar untuk perempuan), Meba’ (topi untuk laki-laki terbuat dari daun lontar), nowin ape (sarung untuk laki-laki), kili bolo (giring-giring yang melingkar di betis salah seorang penari hamang), ai nuka (tongkat kayu yang dipegang oleh salah seorang penari hamang).
Khusus untuk bang atau rantai untuk perempuan ini, ada dua jenis sekaligus membedakan seorang perempuan itu masih gadis atau sudah bersuami. Untuk mencari jawaban, maka bisa dilihat pada ukuran biji bang. Jika bijinya berukuran besar, maka perempuan tersebut sudah bersuami tetapi jika berukuran kecil maka perempuan itu masih gadis. Jika masih gadis, maka seorang lelaki yang menaruh hati pada perempuan itu bisa menyanyikan pantun cinta untuk menggoda hati perempuan tersebut.
Proses Hamang Bung Ribi’
Hamang Bung Ribi’ merupakan tarian yang membentuk lingkaran. Lingkarang terlihat saat para penari menyatukan bahu. Selain menyatukan bahu, para penari juga bisa bergandengan tangan. Namun, hamang Bun Ribi’ biasanya dimainkan dengan cara menyatukan bahu. Hal ini mempermudah para penari untuk bisa menari sambil beraktivitas lain misalnya sambil mengunya sirih pinang atau minum tuak sebagai penambah semangat.
Dari semua jenis hamang, Bung Ribi’-lah yang paling gampang gerakannya dan paling santai. Hal ini berbeda dengan hamang Sole’ yang gerakkannya cepat alias berlari. Hamang Bung Ribi’ adalah tarian dengan gerakkan yang sangat pelan sehingga para penari tidak cepat merasa kelalahan. Dari gerakkan yang pelan dan santai ini, para penari hamang Bung Ribi’ bisa menari dalam durasi waktu yang lama, dari malam sampai mata hari terbit (Bia-Bohor).
Hamang Bung Ribi’ ditandai juga dengan nyanyian syair dan berbalas pantun. Syair utama yang dinyanyikan oleh pemimpin hamang Bung Ribi’ adalah sebagai berikut.
Bung ribi’ ooo liko’ muko kuma
Kuma ooo ee kuma keu ewar
Kapa napa aya’ telar kapa napa aya’
Taur wau lolon timu taur wau lolon.
Setelah syair utama ini dinyanyikan oleh pemimpin hamang Bung Ribi’, selanjutnya dinyanyikan ulang secara bersama-sama oleh semua penari. Nyayian secara bersama ini akan diganti dengan nyanyian pantun oleh masing-masing penari yang punya kemampuan merangkai pantun (ganopa’). Satu pantun bisa dinyanyikan hanya oleh satu penari atau bisa juga satu pantun oleh dua penari. Misalnya, penari pertama menyanyikan dua larik pertama, maka penari kedua akan membalas dengan dua larik berikutnya (papang wala).
Penari 1: O nerung tore erung, teee nimon natan piling:
engkau teman mari bersahabat, kita semua adalah saudara.
Nimon natan piling tubar lunin bota ili:
kita semua adalah saudara kepala bersandar (berbantal) Bota Ili (tokoh mitologis, seorang perempuan di gunung Uyelewun)
Lae’ liko’-liko’ muko kuma:
cepat lindungi-cepat lindungi buah pisang yang matang
Penari 2: O nore’ tore bore’ rei’ te oha’ palan:
engkau teman kita bersahabat, kita semua bukan orang asing
Rei’ te oha’ palan lein beler deke’ nala’:
kita semua bukan orang asing kaki menyatu di Deke’ Nala’ (Deke’ nala’ merupakan nama leluhur suku Orolaleng yang dulu kala hidup di daerah pantai selatan Kedang tepatnya di Natu, Desa Mahal)
Lae’ ko liko’-liko’ muko kuma:
cepat lindungi-cepat lindungi buah pisang yang matang.
Setelah pantun ini, langsung dibalas dengan menyanyikan syair utama Bung Ribi’ secara bersama-sama oleh semua penari. Semua pantun yang dinyanyikan isinya tentu berbeda-beda sesuai dengan momen. Jika pada saat hajatan pernikhan maka, pantuntnya berisi romantime kaum muda. Jika momen menjaga jenazah (ewa maten), pantun berisi tentang kematian (roho au). Selain itu gerakkan hamang Bung Ribi’ dimulai ke arah kanan yakni kaki kiri maju ke depan, kaki kanan sentak di belakang, kemudian gerak ke arah kanan dengan gerakkan yang sangat pelan. Gerakkan ini dilakukan berulang-ulang. Suasana semakin ramai, biasanya disuguhkan dengan sirih pinang dan tuak bagi penari laki-laki.
Post a Comment for "Tarian Hamang Bung Ribi' Tak Boleh Punah"
Komentar