Memeriksa Parpol di Lembata yang Tidak Membela Perempuan Tertindas
RakatNtt.com – Menjelang Hari raya
Natal, terlihat baliho-baliho para caleg terpampang di pinggiran jalan, baik di
kota maupun di dusun-dusun kecil. Ada pula bendera-bendera partai berkibar baik
di depan rumah maupun di persimpangan jalan. Tentu semua ini mau menandakan
bahwa pesta “yang menghabiskan banyak uang negara” akan segera datang atau
dengan bahasa mulia yakni “pesta demokrasi.” Berkibarnya bendera partai dan
baliho para caleg, tidak lain adalah medium mempromosi diri agar dipilih oleh
rakyat.
![]() |
Ilustrasi pixabay.com |
Di Kabupaten Lembata pun sama, terlihat baliho
dan bendera partai politik dengan ukuran berbeda-beda menghiasi samping kiri-kanan
jalan. Dari tampilan seperti ini; apakah masyarakat diedukasi untuk memilih
calon yang terbaik atau yang populer dan punya
banyak uang? Untuk menentukan calon terbaik, tentu, kita mesti juga
memeriksa partai politik yang telah mengusungnya. Sebab sebaik apapun calon jika
masuk dalam sistim partai politik, belum tentu ia menjadi seorang pelayan
rakyat yang dinantikan oleh mayoritas masyarakat. Antara tuntutan partai dengan
harapan masyarakat, tentu saja tuntutan partai akan menjadi lebih mendesak
untuk ditindaklanjuti.
Memeriksa Parpol yang
Membela Perempuan
Partai politik sebagai kendaraan perlu diperiksa
cara kerjanya. Rekrutmen kader dalam mengikuti ajang Pemilihan Legislatif mesti
dilihat kembali. Salah satu kriteria untuk melihat kesungguhan partai politik
yang hadir untuk melayani masyarakat yakni merekrut kader yang punya kapasitas
kompetensi yang bisa diandalkan. Salah satu hal yang mau diangkat dalam tulisan
kecil ini yakni keberpihakan terhadap kaum perempuan marjinal atau perempuan
kecil yang ditindas sehingga semakin kecil.
Memihak perempuan adalah suatu bentuk pelayanan
terhadap masyarakat kecil sebagai subjek politik. Sebab pelayanan adalah
cita-cita dari politik itu sendiri. Tak ada cita-cita yang lain – walaupun politisi
kita hari ini yakni dilayani lebih mudah lewat tunjangan dan gaji yang
fantastis. Kembali pada inti tulisan ini, mau mengajak pembaca untuk melihat kesungguhan partai
politik yang merekrut kader dan caleg yang mampu membela kaum perempuan bukan
sebaliknya mengeksplotasi perempuan.
Partai yang merekrut caleg dengan latar belakang masalah moral pribadi khususnya yang mengeksploitas perempuan patut diragukan cita-cita parpol dan kadernya. Kader partai yang mengeksplotasi banyak perempuan apalagi yang berstatus sebagai istri orang telah melahirkan banyak masalah lanjutan yakni Kekerasan Dalam Rumah Tangga dan trauma berkepanjangan bagi korban.
Tentu sebagai manusia, kita
tak luput dari keterbatasan manusiawi tetapi mesti ada usaha untuk merubah
moral pribadi bukan sebaliknya melakukan hal yang sama berulang-ulang, apalagi
menjadi seorang politisi. Politisi itu mesti bersih atau paling kurang berjuang
untuk membersihkan diri, sebab menurut
orang Yunani Kuno, politisi adalah dewa yang kelihatan di bumi.
Kader partai politik yang dipilih menjadi caleg dengan kapasitas “kegatalan” model ini apakah layak menjadi pelayan rakyat? Hal seperti ini mestinya membuka mata publik dan pikiran yang kritis untuk langsung meragukan Parpol pengusung dan kadernya. Kita mesti meragukan Parpol dan kader perusak perempuan dan rumah tangga orang.
Di Peten Ina semestinya tak ada kursi
bagi penghancur rumah tangga orang, apalagi pelaku bersangkutan melakukan hal
yang sama berulang-ulang kali. Korban perempuan yang kecil, tentu tidak bisa
membuka mulut hingga ke pihak penegak hukum karena tekanan ekonomi dan
lain-lain. Hukum positif tidak menjadi ukuran mutlak keadilan jika penegak
keadilan juga bermain apalagi bermain dengan Partai Politik pengusung Caleg
bermasalah. Lembata mesti dibersihkan dari Caleg yang bermoral buruk dan perusak
Rumah tangga orang.
Kita mesti, memeriksa cara kerja partai politik dan
para kadernya agar jika terpilih, mereka tidak berbuat sewenang-wenang karena
memiliki semua material duniawi.