Pengalaman Pertama ke Bandung, Takut Naik Lift dan Salah Terminal
RakaNtt.com – Pengalaman adalah guru
yang berharga. Dengan demikian tak ada kata tidak untuk belajar pada
pengalaman. Saya merealisasikan ungkapan ini dengan mengunjungi sebuah hotel
elit Grand Mercure Bandung di Jl. Dr. Setiabudi No. 269-25 pada Senin 4 November
2023. Tujuan ke tempat “langka” ini dalam rangka memenuhi undangan dari
Direktorat Kepercayan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI. Bersama beberapa teman,
saya juga turut diundang untuk mengikuti agenda Penyusunan Buku Sekolah Lapang
Kearifan Lokal 2023.
![]() |
Nikmati pemandangan kolam dari lantai 5 hotel Grand Mercure Bandung |
Membaca surat undangan ini, hati saya mulai
dug-dag sebab lokasi kegiatan jauh di kota Bandung sedangkan saya sediri belum
pernah menginjakkan kaki di pulau Jawa. Namun, mau bagaimana, jika mau berkembang,
harus mencoba.
Setelah menyeberang dari Lewoleba ke Larantuka,
beruntung saya ditemani oleh Jhoe Wain, Ketua Pandu Budaya Flotim yang sudah
punya pengalaman hidup di Bandung selama 15 tahun. Hati yang dug-dag mulai
sedikit terobati. Singkat cerita kami tiba di Bandara Internasional El tari
Kupang dan melakukan transit untuk melanjutkan penerbangan menuju Surabaya. Di
tempat ini, saya mengikuti saja gerak kaki dari Jhoe yang sudah punya
pengalaman. Pada saat naik eskalator, saya hampir saja terjatuh karena terlambat
meletakkan kaki di lift tersebut. Namun, demi tujuan, saya percaya diri dan
menikmati perjalanan ini. Akhirnya, tibalah kami di dalam Pesawat Lion Air yang
siap membawa kami menikmati awan tebal menuju Surabaya.
![]() |
Buku perdanaku sampai di Surabaya |
“Wah, ternyata ada pesawat yang ukurannya sangat
besar begini.” Gumam saya dalam hati. Penumpang dari Kupang-Surabaya terbilang
sedikit jumlahnya karena banyak kursi yang kosong. Saya duduk di bangku bagian
belakang dengan seorang perempuan berkrudung hitam asal Adonara. Dalam
penerbangan ini, cuaca kurang bersahabat sehingga perjalanan agak terganggu.
Awan tebal dan hitam menghalangi perjalanan kami, bahkan ada pengumuman bahwa
kami harus mengenakan sabuk pengaman karena cuaca kurang bersahabat – penumpang yang terhormat mohon kenakan sabuk
pengaman, kami informasikan bahwa cuaca kita kurang bersahabat. Demikian
suara lembut dari nona pramugari. Dalam kepala, pikiran saya sudah mulai liar tak
jelas, hati mulai cemas; oh semoga tidak terjadi sesuatu.
![]() |
Kamar nomor 525 lantai 5 |
Tepat pukul 17.45 WIB, tibalah kami di Bandara
Surabaya. Kami terlambat mendarat sekitar 15 menit karena terganggu cuaca. Saat
di Bandara Surabaya, kami transit lagi ke Jakarta. Namun, pengalaman lucunya
yakni kami salah tempat untuk melakukan transit. Bolak balik kiri kanan akhirnya
berhasil menemukan tempat yang benar. Jhoe sudah berlangkah lebih cepat karena
pengumuman pesawat menuju Jakarta mau berangkat. Sit sat sit sat, akhirnya
masuk pesawat juga.
Dalam pesawat Batik Air ini, penumpangnya padat,
tak ada kursi yang kosong. Baru pertama kali pula saya melihat dan mendengar
orang berbicara dalam bahasa Cina. Muka-muka beraneka bentuk menampakkan diri dalam
pesawat elit tersebut. Saat penerbangan, saya mengagumi karya Tuhan dari atas
ketinggian. Tampak gedung-gedung megah berdiri dan lampu-lampu di kota dapat
terlihat dari dalam pesawat. Wah luar biasa.
Penerbangan menuju Bandara Internasional
Soekarno-Hatta hampir tak ada gangguan cuaca. Kami melakukan penerbangan ini
dengan aman walaupun waktu sudah malam. Pukul. 19.00 WIB, kami mendarat di
Bandara Soekarno-Hatta. Selama ini hanya membaca nama bandara ini dalam
buku-buku, kali ini saya melihatnya langsung. Sungguh, inilah bandara yang
sangat besar dan lengkap. Manusia sangat padat, setiap orang beraktivitas, ada
yang berjualan, ada yang menunggu jemputan, ada sopir yang menawarkan jasa dan
lain-lain. Kali ini pula, saya naik lift lagi, gugup dan cemas masih
menghantuiku. Namun, saya tetap berani untuk menikmati itu sebagai pengalaman
baru yang harus saya lewati di mantan Ibu Kota negra ini.
![]() |
Penerbangan dari Surabaya-Jakarta |
Inilah kota dengan semua kemajuan modern yang
hampir tak pernah saya temukan di daerah saya, Lembata, NTT. Di bandara ini,
saya dan Jhoe menunggu jemputan dari salah seorang sopir travel asal Adonara. Dia
menyuruh kami untuk tunggu di teminal satu. Namun, kami salah alamat, malah
turun di terminal dua. Sopir itu berulang-ulang kali menelepon kami bahwa dia
ada di terminal satu, saya juga mengatakan kami menunggu dia di terminal satu.
Saling tunggu ini saja sudah memakan waktu sekitar 40 menit. Akhirnya, kami
memberanikan diri untuk bertanya pada satpam dan ternyata kami salah alamat,
ini bukan terminal satu melainkan dua. Akhirnya, kami meminta om sopir untuk
menjemput kami di terminal dua.
Bukannya langsung mengantar kami ke Bandung,
malah ada miskomuniksi. Om sopir berpikir bahwa kami akan membayar dia 1,2
juta, padahal dalam komunikasi awal kami per kepala 250 ribu. Lantaran miskomunikasi,
kami memutuskan untuk menggunakan bus umum dengan harga tiket per kepala 190
ribu. Ternyata menggunakan bus lebih nyaman. Kami melewai jalan tol dari
Jakarta menuju Bandung. Kurang lebih 3 jam, akhirnya kami tiba di Bandung
sekitar pukul 1.00 WIB. Sampai di Bandung, taxi menuju hotel sudah tidak ada. Saya
dengan Jhoe masih menikmati pemandangan malam di kota ini, sambil Jhoe
bernostalgia dan berusaha menjelaskan segala sesuatu kepada saya.
Sekitar pukul 2.00 WIB Jhoe memesan grab.
Akhirnya tibalah kami di hotel Grand Mercure dan dijemput oleh Gafur Sarabiti,
Pegiat Budaya Lembata. Perut kami
kosong, tak ada makanan berat yang tersedia lantaran kami tiba terlambat di
hotel ini. Dengan demikian, maka kopi menjadi solusi dan sisa-sia biskuit yang
saya bawa dari Larantuka.
Percuma Bawa Handuk dan Sabun Give
Memasuki hotel ini, kami diberi kartu alamat
kamar. Saya dengan Gafur ada di lantai 5. Hal yang baru saya alami ialah perjalanan
menuju kamar menggunakan lift yang harus didahului dengan menekan beberapa
tombol yang tersedia. Setelah menekan tombol-tombol itu, secara otomatis, kita
akan diantar menuju kamar. Wah, hal ini baru bagi saya tetapi pernah saya lihat
yakni di layar televisi, hhhhae.
Setiap kali mau makan malam atau kegiatan, saya
harus bersama dengan Gafur karena saya tidak tahu menggunakan lift tersebut.
Selain itu, saya juga membawa serta dengan handuk dan sabun give sebagai
persiapan untuk mandi. Namun, ternyata di hotel sekelas ini, semuanya sudah
tersedia, akhirnya handuk yang sudah robek dan sabun give yang saya bawa dari
Leoleba, saya simpan kembali di dalam tas lalu menggunakan milik hotel.
Selama berada di tempa ini saya selalu mencari
tutorial di youtube tentang cara menggunakan lift. Selain itu, kami juga diberi
kesempaan untuk menikmati maknan di hotel ini. Pengalaman baru ini menjadi modal
awal bagi saya untuk mengikuti kegiatan-kegian lain ke depan.
* A. Rian adalah Ketua Pandu Budaya Lembata dan
penulis buku Pancasila, Budaya Kedang dan Milenial (2023)