Merefleksikan Desa Mahal, dari Adat Istiadat hingga Sosial Politik
RakatNtt.com – Setelah menulis artikel
kecil tentang Sejarah Terbentuknya Kampung Hoba’matan dan Daftar para
Pemimpinnya, saya bertekad untuk menulis sebuah refleksi singkat tentang
kampung ini dari pranata adat istiadatya hingga kehidupan sosial politik. Refleksi
ini berdasarkan pengalaman hidup di kampung, mendengarkan keluhan-keluhan
beberapa warga Desa Mahal juga hasil dari pengamatan pribadi penulis sendiri.
Warga Desa Mahal |
Saya memulainya dengan sub judul tentang Adat
Istiadat karena menurut saya, masyarakat Mahal dan Kedang secara umum tak bisa
dipisahkan dari konsep adat istiadat yang sudah tertanam kuat sejak dahulu kala
oleh para leluhur Desa Mahal. Adat istiadat menjadi fondasi dasar yang
membentuk sistim pemerintahan modern yang ada di Desa Mahal.
Menggali Adat Istiadat
Setelah dimekarkan menjadi Desa Mahal dan Mahal
II, sebagian wilayah kampung Hoba’matan (Bagian Riangbao) masuk bergabung
dengan kampung Leuhapu menjadi Mahal II. Sedangkan wilayah Riang la’i, Riang
Wehe’ dan Riang Tuan menjadi Desa Mahal. Mahal merupakan akronim dari Matan
Lama Mangan Hapu Lama Boleng, sebuah sebutan sakral yang diambil dari naher suku Hoba’matan dan Leu Hapu. Setelah nama suku Hoba’matan dan Leu Hapu dijadikan nama
kampung, maka naher (sebutan sakral
suku) pun dijadikan sebagai nama Desa yang diakronimkan menjadi Mahal.
Tentu saja dalam proses pembentukan nama Desa
Mahal, (Yang Dimaksudkan adalah Mahal 1) dinamika dan dialektika selalu berjalan beriringan. Namun, betapa
hebatnya para peletak dasar Desa ini, dengan kualitas pendidikan formal yang
terbatas, mereka mampu membentuk Desa Mahal yang kini dihuni oleh ribuan manusia. Semakin
banyak anak-anak Mahal yang lahir di tanah ini, mestinya adat istiadat pun tak
boleh tercerabut.
Pada kegiatan tutup tahun 2023 bersama Karang
Taruna Mahal, sorotan yang mendominasi kegiatan tersebut yakni soal adat
istiadat. Generasi tua Mahal mengharapkan agar anak muda tahu menghitung belis
(kare’ kong bala).
Harapan seperti ini tentu bertolak dari
pengamatan generasi tua bahwa orang muda di Desa Mahal sebagian besar tidak
tahu soal adat menghitung belis. Padahal hal tersebut mungkin yang paling
sederhana. Jika yang kecil saja tidak bisa bagaimana dengan adat kematian,
perkawinan, ritual-ritual umum di kampung dan lain-lain?
Tak hanya itu,
sejarah Desa Mahal mulai dari zaman “kapak” hingga android pun masih
terombang-ambing oleh menjamurnya versi yang berbeda-beda. Ini tugas siapa
untuk mencari titik temunya? Apakah Mahal terus hidup dengan banyak versi yang
berbeda-beda atau sudah saatnya generasi muda Mahal, generasi tua dan
Pemerintah berpikir untuk menggali latar belakang Desa ini mulai dari zaman
yang “tidak enak”?
Di beberapa Desa di Lembata, mereka sudah mulai menulis tentang sejarah
Desanya, bagaimana dengan Mahal yang jumlah sarjananya sudah sangat banyak? Tentu
saja hal ini perlu mendapat sokongan dari Pemdes dan generasi tua Mahal. Menggali
secara serius tentang Desa ini dalam kaitan dengan adat istiadat adalah tugas
kita semua untuk bekerja secara kolaboratif. Misalnya, saya ambil contoh sistim
ka le’ mata di Mahal yang hingga kini
pun sudah hilang tak diwariskan lagi. Hasilnya ialah, penduduk Mahal sendiri
tidak punya pemahaman yang baik tentang kedudukan suku-suku di Mahal (siapa
yang menjadi tubar, liman weri, liman wanan dan ebon).
Padahal sistim adat atau hukum-hukum adat
dilindungi negara. Sistim ka le’ mata
juga menjadi spirit dasar persatuan kampung atau Desa Mahal. Suku-suku saling
bekerja sama khusunya dalam kaitan dengan adat istiadat di kampung ini misalnya,
jika ada ritual umum di kampung (poan kemer nuneyeng, sayin leu – yang sudah
tak dilakukan lagi), maka setiap suku di Hoba’matan akan menjalankan tugasnya
sesuai dengan ka le’ mata.
Atau misalnya ada kematian, maka ada suku-suku
tertentu yang bertugas sebagai bako’ awu’
sesuai dengan sistim ka le’ mata. Artinya,
hukum bako’ awu’ tidak seenaknya
dilakukan, ia mesti merujuk pada hukum adat ka
le’ mata. Dampaknya tentu saja, warga Mahal bisa tahu adat yang sebenarnya.
Di beberapa daerah di Ile Ape, hukum seperti ini
masih dilakukan. Apakah di Desa Mahal, hukum adat bako’ awu’ yang diberikan wewenang kepada suku tubar masih dilakukan atau sudah digeser ke pemilik lahan?
Contoh yang saya sebutkan di atas merupakan
hukum adat Edang yang sudah ada sebelum adanya Rian Bara’ Kalikur maupun negara Indonesia. Jika hukum ka le’ mata hilang, spirit persatuan pun
akan terombang ambing dan berefek pada persatuan sosial politik di Desa ini.
Contoh lainnya misalnya, sistim belis di dalam
kampung. Berdasarkan wawancara saya dengan beberapa tetua di Mahal, bahwa
pernah diadakan sayin (perjanjian
adat) tentang belis antarsuku-suku di Mahal. Perjanjian itu, dikukuhkan dengan
ritual di bawah pohon rita (sudah mati) – tempatnya di depan rumah bapak Lang
Ohaq Hoba’matan. Jika informasi ini benar, harus menjadi tugas kita semua untuk
menggali kembali kearifan-kearifan lokal kita.
Ada pula contoh lain misalnya, poan kemer nuneyeng atau poan Moi Leu (Ia
adalah leluhur dari suku Lobe’mato) untuk mengusir hama atau juga ritual
memanggil hujan. Ritual-ritual adat, sama halnya kita berdoa di Gereja dan
Masjid. Isinya adalah doa atau harapan-harapan agar dikabulkan oleh Wujud
Tertinggi, Lia Nimon Loyo Wala. Semua
ritual yang saya sebutkan di atas dilakukan di tempat-tempat khusus yang sudah
disediakan oleh para leluhur kita bukan dilakukan di tempat yang lain.
Namun, ritual-ritual besar ini pun sudah tak
diwarsikan lagi, padahal UU No 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan sangat
menganjurkan agar ritus-ritus di kampung mesti dijaga dan dihidupkan. Itu beberapa
contoh adat istiadat potensial yang ada di kampung kita. Belum lagi kita bicara
tentang 10 Obyek Pemajuan Kebudayaan di Desa mahal, misalnya permainan
tradisional, makanan lokal, kesenian, situs dll.
Atau misalnya kita omong tentang Rian Meker A’e Ame dalam setiap suku. Tanpa
pemimpin suku, persatuan sesama saudara dalam satu suku pun bisa terpecah
belah. Jika suku tak bersatu, bagaimana dengan kampung?
Ada pula ritus ka weru (syukuran) yang sesuai pengamatan saya hanya dilakukan
serius oleh suku-suku tertentu saja. Ada beberapa suku yang bahkan tidak
melakukannya lagi, sebut saja suku Odel Wala yang sudah sekitar 20-an tahun
tidak pernah meakukan ritus ka weu
lagi. Tentu masih ada suku-suku lain lagi yang barangkali tidak melakukan ritus
ini. Merujuk pada UU di atas dan hukum adat, ritus seperti ini mesti tetap
dihidupkan karena mengandung makna syukuran dan relasi harmonis dengan alam
juga tentu saja persatuan suku. Misalnya, usai ka weru, semua anggota suku bisa duduk makan bersama sambil saling
menasihati.
Dinamika Sosial Politik
yang Belum Berakhir
Warga Desa Mahal juga sangat jago dalam
berpolitik. Benar kah? Dinamikan politik yang tidak sehat akan merampat pada
kehidupan sosial di Desa. Dendam-dendam politik usai Pilkades Mahal beberapa
tahun lalu masih sangat terasa. Nah, saya kemudian merefleksikan bahwa Desa ini
dalam kaitan dengan kehidupan sosial politik telah menggeser nilai persatuan
kampung.
Orang yang berbeda politik akan berusaha untuk
menggoyang kemajuan Desa ini. Misalnya, kita bisa lihat pada hadirnya akun-akun
palsu yang secara membabi buta menyerang Kepala Desa Mahal tanpa bukti-bukti
valid. Ini adalah bentuk dari dinamikan sosial politik yang belum berakhir usai
Pilkades.
Ada seorang warga, usai kegiatan bersama Karang
Taruna Mahal (tutup tahun 2023) mengatakan kepada saya, ada karakter
orang-orang tertentu yang belum move on dari
politik Pilkades. Orang-orang ini hampir bahkan tidak pernah terlibat dalam
kegiatan di Desa Misalnya pertemuan di Kantor Desa, padahal mereka diundang secara
resmi melalui surat yang ditandatangani oleh Kades. Selain mereka tidak hadir,
yang lebih aneh lagi, menurut warga tersebut, orang yang diundang tetapi tidak
hadir membangun kubu sendiri dan saling memengaruhi agar kubu mereka tidak
boleh hadir dalam pertemuan-pertemuam Desa.
Informasi ini menjadi satu indikasi bahwa
kehidupan sosial politik kita pasca Pilkades terbaru belum stabil. Kita masih
saling dendam, membangun kubu yang tidak kritis. Dari politik Pilkades merampat
lagi pada politik Caleg. Dendam-dendam politik ini masih terasa, tak hanya
warga yang sempat curhat di atas, dalam pergaualan di Desa ini, penulis juga
sering mendengar informasi tentang ini.
Uyung One’Mawu Laleng
Kita punya kearifan lokal di Desa yang dapat
digambarkan dengan ungkapan Uyung One,
Mawu Laleng. Mestinya ungkapan ini
menjadi spirit yang mendorong kita untuk bersatu membangun Desa tanpa harus
membangun kubu-kubu yang berseberangan secara tidak kritis dalam kaitan dengan
politik. Jika Pilkades saja kita tidak mampu membangun politik yang sehat
bagaimana kita bisa mencapai harapan bahwa Pileg 2024 harus ada perwakilan
putra Mahal di Peten Ina? Hal ini mesti juga direfleksikan oleh putra Mahal
yang bertekad maju baik menjadi Kades maupun politisi. Ia mesti menjadi
jembatan pemersatu bukan penghancur.
Dari pengalaman-pengalaman di atas, saya
akhirnya berpikir, Desa Mahal mesti membuat agenda kegiatan tentang pendidikan
politik. Warga mesti dibuka wawasan tentang bagaimana berpolitik yang baik
sebelum dan sesudah. Kita bisa mengundang narasumber untuk memberi kita suntikan
ilmu tentang politik. Sebab, jika kebiasaan ini dibiarkan terus, niscaya Desa
Mahal suatu saat akan terpecah belah hanya karena politik. Desa tidak bisa
berjalan maju karena masih ada kubu-kubu yang merongrongnya.
Jembatan lain, Karang Taruna misalnya membuka
forum diskusi kampung sehingga keakraban di Desa bisa terjaga, setiap orang
bisa datang ke forum dan berdiskusi secara bebas tetapi santun.
Post a Comment for "Merefleksikan Desa Mahal, dari Adat Istiadat hingga Sosial Politik"
Komentar