Paradoks Politik dan Peran Generasi Milenial
Petrus Fidelis Ngo Alumni Sekolah Tinggi Filsafat Katolik (STFK) Ledalero defringo5@gmail.com |
PROLOG
Akhir-akhir ini, negara Indonesia dihentak oleh sejumlah
kenyataan pahit tentang situasi generasi milenial. Mereka yang semula
diharapkan menjadi aktor pembangun bangsa, ternyata berbalik sebagai penyebab
dari timbulnya sejumlah persoalan. Survei Nasional Penggunaan Narkoba Tahun
2021 oleh Badan Narkotika Nasional (BNN), misalnya menyebutkan peningkatan
angka prevelensi penyalagunaan narkoba dari 1,80 % pada tahun 2019 menjadi 1,95
% pada tahun 2021. Dari data tersebut,
remaja dengan kelompok umur 15-24 tahun menjadi pemakai narkoba dengan jumlah
terbanyak.2 Persoalan ini diperparah oleh kenyataan tentang lemahnya kaum muda
untuk berpartisipasi dalam dinamika politik. Diskursus tentang politik
cenderung dinilai sebagai wacana kelas atas. Sedangkan generasi milenial
terperangkap dalam kenyamanan akan teknologi. Kenyataan ini tidak dapat
dibiarkan sebab berdampak menciderai demokrasi di satu pihak dan keutuhan
negara di pihak lain. Pertanyaannya adalah, bagaimana memaksimalkan peran
generasi milenial dalam kehidupan berbangsa? apa yang harus dibuat untuk
mengembalikan situasi politik yang paradoksal?
PEMBAHASAN
Generasi Milenial dan Teknologi
Istilah generasi milenial berasal dari padanan dua suku kata
yang berbeda, yakni generasi dan milenial. Generasi adalah sekumpulan orang
yang hidup pada satu waktu atau angkatan yang sama. Sedangkan milenial merujuk
pada suatu keadaan demografis di mana kehadiran mereka menggantikan generasi X.
Dengan kata lain, generasi milenial adalah kelompok demografi setelah generasi
X (Gen-X) dan terlahir antara tahun 1980-an sampai 2020. Hal itu berarti generasi milenial memiliki
kisaran usia antara 15-35 tahun dengan karaterisitiknya yang khusus. Generasi
milenial ini sendiri dianggap spesial, karena sangat berbeda dengan generasi
sebelumnya, yakni terutama dalam hal teknologi.
Generasi milenial bukanlah generasi yang lahir bersama teknologi, tapi
generasi yang tumbuh bersama teknologi.
Generasi milenial memandang teknologi sebagai bagian dari
perwujudan diri di tengah dunia modern. Akses pada teknologi menunjukan
“keber-ada-an” kaum milenial. Teknologi menciptakan suatu dunia baru yang
menunjang eksistensi dan kebutuhan hidup mereka. Namun demikian, keterikatan
pada teknologi memberi dampak serius pada lahirnya sifat egois dan penekanan
pada subjektivitas. Keterikatan pada teknologi membuat generasi milenial
bersikap abai terhadap berbagai tugas yang harus dilakukan. Teknologi
menyebabkan minimnya komunikasi dan peran mereka dalam kehidupan nyata. Mereka
cenderung terkurung dalam kenikmatan dunianya sendiri dan melupakan realitas
praktis dalam kehidupan bersama. Akibatnya, komunikasi sebagai jalan mencapai
pemahaman bersama terdistorsi oleh praktik hidup yang egoistis. Komunikasi
dibatasi oleh kecenderungan untuk “memuja” teknologi.
Juergen Habermas, seorang filsuf kelahiran Jerman memberi
pemahaman baru tentang komunikasi. Menurut Habermas sebagaimana dikutip
Bertens, komunikasi adalah keseluruhan dari perbuatan manusia yang bertujuan
mencapai persetujuan dengan orang lain dalam konteks kemasyarakatan. Di sini, Habermas merumuskan komunikasi
sebagai suatu upaya untuk membangun pemahaman rasional tentang persoalan yang
sedang dihadapi. Pemahaman tersebut dapat timbul jika terjalin suatu komunikasi
yang baik antara individu. Habermas menyebut hal ini dengan istilah
“situasi percakapan yang ideal” (the ideal speech
situation).7 Di sini, komunikasi memegang perananan penting dalam mewujudkan
kesejahteraan hidup bersama. Pertanyaannya adalah, bagaimana peran generasi
milenial dalam mengaplikasikan situasi percakapan yang ideal? Lebih lanjut,
dalam konteks politik, apa yang perlu dibuat generasi milenial untuk membangun
sistem politik yang beradab?
Membaca Paradoks Politik di Indonesia
Realitas perpolitikan di Indonesia selalu membawa kita pada
dua kenyataan yang saling bertentangan. Di satu pihak, politik berperan penting
dalam menunjang kebutuhan hidup dan kesejateraan bersama. Politik adalah ruang
aktualisasi diri individu dalam suatu komunitas masyarakat. Keberadaan politik
berperan penting dalam mewujudkan kebaikan hidup bersama (common well).
Sedangkan di pihak lain, politik kerap dipakai sebagai instrumen untuk
memuaskan kepentingan pribadi dan komunal. Keberadaan politik berubah rupa
menjadi wadah bagi pemenuhan kebutuhan sebagian orang. Interese pribadi
ditempatkan sebagai yang pertama dibandingkan dengan kepentingan umum. Praktik
korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) adalah salah satu contoh menguatnya
kepentingan pribadi dan kelompok dalam sistem perpolitikan di Indonesia. KKN menjadi bukti adanya upaya dari para
aktor politik untuk memperjuangkan kebutuhan pribadi dan kelompok serempak pula
mengesampingkan kebutuhan hidup masyarakat luas. Hal ini menyingkap lahirnya
fenomena paradoks politik.
Feliks Baghi sebagaimana dikutip Tan mengukapkan bahwa
paradoks politik terjadi ketika politik tampak bermakna ganda. Di satu pihak, politik hadir dengan inisiatif
untuk mencapai kebutuhan dan kesejahteraan hidup bersama. Namun, di pihak lain politik
diperalat sebagai sarana untuk mencapai kebutuhan pribadi. Lebih lanjut, Tan
meminjam pendapat Paul Ricour menyebutkan dua model politik yang paradoksal itu
sebagai “politik yang rasional” dan “politik yang durjana”.10 Sebagai “yang
politis”, politik menjadi ranah masyarakat mencapai keadilan dan kesejateraan.
Sedangkan sebagai “yang politik”, politik sekedar menjadi alat bagi para
penguasa untuk menggolkan kepentingan egoistik mereka. Kenyataan tentang realitas politik yang
paradoksal diperparah oleh matinya nalar kritis dari generasi milenial. Mereka
cenderung menjadi penonton dari permainan para elit politik. Persoalan korupsi
dibiarkan terjadi begitu saja, tanpa adanya suatu tanggapan kritis. Sebagian
mereka yang terlibat dalam lingkup politik justru terkoopotasi oleh kepentingan
elit tertentu. Kenyataan ini menjadikan negara tetap terkurung dalam sejumlah
persoalan. Negara hanya serupa “penjaga malam” dan tempat bagi para elit dalam
meraup keuntungan.
Bagaimana Generasi Milenial Harus Berperan dalam Politik?
Ada aneka cara bagi generasi milenial dalam upaya membangun
situasi politik yang ideal. Salah satu cara yang dapat dipakai adalah dengan
membangun diskursus politik. Dalam tradisi filsafat, teori diskursus
sesungguhnya telah lahir sejak pemikiran Yunani Klasik. Socrates, Plato dan
Aristoteles adalah para filsuf yang getol melawan praktik berfilsafat kaum
Sofis. Mereka mengajarkan filsafat di sekolahsekolah dan membangun diskursus
dengan para pengikut. Filsafat di mata mereka harus menjadi jalan untuk
mencapai kebijaksanaan hidup. Dalam perkembangan selanjutnya, teori diskursus
diperkuat oleh kemunculan sejumlah filsuf seperti Hegel, Karl Marx dan Juergen
Habermas. Secara khusus, Habermas menilai diskursus sebagai bentuk komunikasi
yang ideal dan berdaya melahirkan konsensus.
Dalam diskursus, setiap pribadi memiliki kebebasan untuk berbicara dan
mengemukakan pendapat. Persilangan ide dinilai sebagai hal positif untuk
mencapai kesepakatan bersama.
Konsep tentang diskursus memiliki kesesuaian dengan sistem
demokrasi yang dianut oleh bangsa Indonesia. Demokrasi memberi ruang bagi
adanya partisipasi politik dari seluruh masyarakat. Demokrasi memberikan
kesempatan kepada warga negara, khususnya generasi milenial untuk membentuk
opini yang membangun kehidupan berbangsa. Dalam demokrasi, diskursus
dimungkinkan berkat kebebasan untuk berekspresi dan menyampaikan pendapat
sebagaimana diatur dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Namun demikian, konsep
diskursus sendiri perlu didasarkan pada upaya untuk menanamkan kesadaran dan
pengetahuan politik kepada generasi milenial. Keluarga, lembaga sekolah dan
lingkungan masyarakat perlu menciptakan iklim yang kondusif untuk mendukung
penanaman kesadaran dan pengetahuan politik kepada anak-anak. Kesadaran akan
politik menggerakan generasi milenial untuk berpartisipasi dan mengawasi
keberlangsungan demokrasi. Sedangkan pengetahuan akan politik dapat membuka
wawasan generasi milenial untuk menentukan arah dan orientasi kehidupan
berbangsa.
Generasi milenial diajak untuk mampu berperan dalam
mengamati, menilai, menimbang dan memberikan pandangan kritis-konstruktif
berkaitan dengan situasi politik yang sedang terjadi. Peran tersebut dapat
dilakukan melalui dua hal berikut. Pertama, peran akademis-teoritis. Generasi
milenial dapat berperan dalam memberikan opini, tanggapan, pendapat dan masukan
terhadap situasi politik yang sedang berlangsung. Media sosial seperti
facebook, instagram dan youtube dapat digunakan sebagai media kampanye tentang
pentingnya politik yang beradab. Kedua, peran praktis. Peran ini dilakukan
dengan terlibat secara langsung dalam aktivitas politik. Generasi milenial
dapat berpartisipasi dalam pesta demokrasi (Pemilu, Pilkada, dll) dan menolak
praktik golput. Selain itu, mereka juga dapat berperan dalam memantau dan
melaporkan kebijakan pemerintah yang dinilai bermasalah. Dengan mengambil dua
peran tersebut, generasi milenial turut serta dalam upaya mewujudkan situasi
politik dan demokrasi yang ideal.
EPILOG
Peran generasi milenial sangat dibutuhkan di tengah fenomena
pardoks politik. Sebagai generasi yang melek teknologi, generasi milenial
diharuskan untuk melakukan aktivitas-aktivitas kreatif dalam mendukung
perwujudan sistem politik yang demokratis. Mereka berperan penting untuk
memantau, menjaga dan mengembalikan sistem politik yang kerap dibajak oleh
sebagian orang demi kepentingan pribadi dan kelompok. Peran tersebut dapat
dilakukan secara teoritisakademis maupun secara praktis. Secara
teoritis-akademis, mereka dapat memberikan opini, tanggapan dan masukan untuk
penyelenggaraan sistem politik yang demokratis. Sedangkan secara praktis,
mereka dapat terlibat dalam aktivitas politik, misalnya mencoblos saat
kontestasi pemilu dan pilkada. Partisipasi dan peran aktif generasi milenial
memungkinkan terwujudnya sistem politik yang adil dan berdaya guna bagi
kehidupan bersama.
Daftar Pustaka
Buku
Bertens, Karl. 2002. Etika.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Sebastian, Yoris dan Dilla Amran. 2016. Generasi Langgas:
Millenials Indonesia. Transmedia. Jakarta.
Tan, Peter. 2018. Paradoks Politik: Pertautannya Dengan
Agama Dan Kuasa Di Negara Demokrasi. Yogyakarta: Gunung Sopai.
Puteri, Widha Utami. 2021. Indonesia Drugs Report Tahun
2021. Jakarta: Pusat Penelitian, Data dan Informasi Badan Narkotika Nasional.
Jurnal
Harnowo, Tri. 2020. “Penerapan Teori Diskursus Habermas
Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa”. Jurnal Mimbar Hukum. Vol. 32, No. 1.
Prasetia, Arus Reka. 2019. “Pengaruh Politik Identitas
Melalui Media Sosial terhadap Generasi Milenial dan Pelaksanaan Pemilu”.
Prosiding Comnews 2019. Vol. 1.
Zulkarnaen, Fizher dkk. 2020. "Partisipasi Politik
Pemilih Milenial pada Pemilu di Indonesia". Jurnal Politikom Indonesiana.
Vol. 5, No. 2.
Internet
Sucahyo, Nurhadi. "Indeks Persepsi Korupsi Turun,
Jokowi Dinilai Gagal Berantas Rasuah".
https://www.voaindonesia.com/a/indeks-persepsi-korupsi-turunjokowi-dinilai-gagal-berantas-rasuah/6947820.html.
Diakses pada Sabtu, 13 Januari 2024.
Sopiah, Anisa. "Korupsi dari Zaman Pak Harto hingga
Jokowi, Perizinan No.1".
https://www.cnbcindonesia.com/news/20230203082453-4-410655/korupsidari-zaman-pak-harto-hingga-jokowi-perizinan-no1.
Diakses pada Sabtu, 13 Januari 2024.
Post a Comment for "Paradoks Politik dan Peran Generasi Milenial"
Komentar