Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Pertama Kali ke Adonara, Banyak Jalur Jalan yang Bikin Pusing

 


RakatNtt.com – Sudah berulang-ulang kali lalu-lalang dari Larantuka menuju Lewoleba dan sebaliknya; sudah berulang-ulang kali pula kapal yang saya tumpangi menyinggahi pelabuhan laut Waiwerang. Namun, hal yang belum saya rasakan yakni menginjak tanah Adonara.



Perkara mata, sudah berpuluh-puluh kali saya melihat Adonara dari dalam kapal laut; Ile Boleng yang menjulang tinggi dan ditumbuhi pepohonan dengan dedaunan indah melukis hutan belantara. Dari kejauhan pula terlihat atap-atap rumah orang Adonara baik di bagian pesisir pantai maupun pedalaman.

Tentang Adonara, selalu ada dalam cerita-cerita lisan yang diturunkan oleh para tetua adat di daerah saya. “Adonara adalah saudara kita.” Begitu kira-kira pesan dari para tetua adat yang mahir cerita lisan. Mulai dari cerita yang lebih purba hingga yang baru kemarin, misalnya tentang hubungan Sagu dengan Kedang (Kalikur); tentang Raja Arakian Kamba dan ketenarannya pada masa kolonialisme Belanda dan seterusnya; cerita tentang Lamahala dan konsistensi mereka menjaga tatanan adat dan seterusnya. Juga cerita-cerita tentang potensi alam Adonara dengan tanah subur dan kaya buah-buahan. Hmmm, cerita tentang buah-buahan ini yang saya cari, hehe; juga tak lupa pula cerita tentang perang adat Adonara juga belis nona Adonara yang mahal dan membuat pusing kepala sang laki-laki.

Oke, saya akhirnya mendapat kesempatan untuk mengunjungi Adonara pada Sabtu-Senin, 20-22 Januari 2024. Saya menginap di Wailingo, Waiwerang, seterusnya menyempatkan waktu mengelilingi kota Waiwerang. Tak pernah terbayangkan bahwa Kota ini sangat ramai dan padat pengunjung. Hal ini tentu beralasan karena kota di pesisir Adonara ini memiliki banyak pertokoan dan jalan raya yang terbilang tak terlalu lebar. Hal ini mengakibatkan lalu lintas jalan tak lancar. Para pengendara mesti hati-hati ketika memasuki kota Waiwerang. Saya yang baru pertama kali mengendarai sepeda motor di kota ini pun harus melaju amat perlahan tak seperti di Lewoleba yang jalannya lebar. Selain di Waiwerang, saya juga menyempatkan waktu untuk pesiar ke Lamahala dan Terong. Pemandangan di sore hari memang sangat menakjubkan.

Puluhan kapal ikan berlabuh di pantai dan anak-anak Lamahala terlihat mengekspresikan kegembiraan mereka di laut yang teduh. Mereka berenang; ada yang naik di atas tubuh kapal yang sedang berlabuh lalu melompat ke laut. Sungguh indah. Juga dari pulau Adonara, kita bisa melihat pulau Solor di seberang lautan juga pulau Lembata. Kisah singkat ini, saya alami pada hari Minggu, 21 Januari 2024.

Besoknya, saya bertualang lebih jauh ke arah pedalaman Adonara, melaju terus menuju kampung Lamalota dan seterusnya ke Wureh lalu pulang ke Waiwerang. Ceritaya sebagai berikut. Dari Waiwerang, saya mengunjungi tempat wisata pantai Wato Tena di Desa Beda Lewun. Menakjubkan tentu, dari potensi alam, orang-orang di Desa ini secara kreatif mengubahnya menjadi tempat wisata unggulan. Ada pantai pasir putih, batu, lopo juga hutan yang masih terlindungi. Fasilitas di tempat wisata ini tak perlu diragukan mulai dari akses jalan hingga kamar kecil untuk membuang sampah dari tubuh manusia. Saya sungguh mengagumi tempat ini. Menurut saya, cara menata tempat ini menjadi tempat wisata populer mesti memberi inspirasi bagi Pemdes di daerah saya untuk juga menyulap alam menjadi tempat wisata.

 

Di tempat ini, selain kita menikmati indahnya lautan dan pasir putih, juga kita bisa menikmati alam indah dengan pepohonan yang masih terawat dengan baik. Maka, tempat ini lebih cocok jika disebut sebagai ekowisata. Setiap pengunjung yang datang wajib membayar karcis dengan harga Rp. 5000.

Jalur Jalan Bikin Pusing

Tidak seperti di dearah Kedang, Lembata, yang letak kampung-kampungnya ada di pinggir jalan raya. Di Adonara berbeda. Menurut cerita, kalau di Kedang pada zaman kapitan Kedang masih berkuasa, nenek moyang kami yang masih menghuni di kampung lama di dekat gunung Uyelewun, diperintahkan untuk turun ke duli (dataran rendah) dan membentuk kampung baru (Riang). Hal ini dengan tujuan untuk mempermudah para penguasa zaman itu untuk menagih bea atau upeti. Sedangkan di Adonara pedalaman, kampung-kampung mereka masih ada di daerah gunung bahkan ada yang dekat sekali dengan Ile Boleng.



Untuk mengunjungi kampung di pedalaman Adonara, kita harus mendaki terus menuju perkampungan yang letaknya di ketinggian. Lantaran, letak kampungnya tak berdekatan, maka jalur jalannya pun sangat banyak. Bagi orang baru seperti saya amat jelas merasa pusing atau bingung. Seandainya saya sendiri sudah pasti bisa tersesat jika tak bertanya. Infrastruktur jalan ke kampung-kampung pedalaman Adonara lumayan baik walaupun posisi tanah di ketinggian sehingga jalurnya selalu menanjak. Setiap jalan masuk ke kampung sudah dirabat sehingga tak mengganggu perjalanan. Alam di pedalaman Adonara sangat subur, pepohonan kelapa, rambutan, tumbuhan salak, mahoni, pisang dan aneka tumbuhan lainnya menghiasi perjalanan. Rambutan selalu ada di depan atau belakang rumah warga. Nah, saya gunakan kesempatan ini untuk menikmati rambutan secara gratis.



Saya akhirnya tiba di Lamalota, sebuah kampung yang letaknya di ketinggian, udaranya sangat sejuk, orangnya ramah dan nonanya manis, hehe. Di kampung ini, saya mengunjungi sebuah rumah adat suku yang di dalamnya terdapat dua buah gading pusaka, ada gading yang sangat panjang dan satunya sangat kecil tetapi beranak. Di dalam gading kecil itu, ada pula gading lain yang disebut anak gading. Menurut, narasumber, para peneliti budaya pernah menulis sejarah gading ini dan diterbitkan dalam bentuk buku.

Sekitar dua jam di kampung ini, saya beranjak pulang ke Waiwerang dengan mengikuti jalur lain yakni daerah Wureh. Perjalanan sangat jauh dan melelahkan tetapi mengasyikan. Biasalah, setiap petualang pasti menikmati perjalanan. Kalau tidak menikmati, lebih baik tidak usah jalan-jalan. Infrastruktur jalan ke daerah Wureh sangat baik, tak ada jalan rusah. Pemandangan alam Adonara sudah tentu menakjubkan, khususnya pada alamnya yang subur. Setelah tiba di Koli, saya berhenti sejenak untuk menghubungi teman seangkatan saya waktu masih mahasiswa. Namun, kami tak sempat bertemu karena saya buru-buru pulang ke Waiwerang lantaran hari semakin sore dan teman saya masih berada di kebun.

Perjalanan dilanjutkan, sebelum tiba di Wure, saya berhenti sejenak di sebuah pondok di tengah hutan lantaran hujan menghambat perjalanan. Motor Blade tua dengan tulisan rakatntt terlihat masih stabil, bensin masih full. Oke kita gas lagi. Akhirnya tiba di Wureh. Sebuah kampung yang sangat erat kaitannya dengan cerita penyebaran agama Kristen Katolik di Adonara. Setelah memotret momen di Wureh, saya melaju untuk pulang ke Waiwerang. Perjalanan amat jauh, barangkali sekitar 4 jam perjalanan. Raga yang terkuras perjalanan membutuhkan salak dan rambutan, hehe. Tak perlu berbaring, cukup nikmati salak dan rambutan pemberian orang Lamalota, semua yang loyo pulih kembali.***

Post a Comment for "Pertama Kali ke Adonara, Banyak Jalur Jalan yang Bikin Pusing"