Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Spirit Gemohing untuk Pembangunan Politik di NTT

 


RakatNtt.com - Komunitas Taman Daun yang bermarkas di Bluwa, Lewoleba, Lembata, telah serius mengaplikasikan spirit gemohing dalam budaya orang Lamaholot yang berarti gotong royong. Jhon Batafor bersama rekan-rekan sekomunitas memberi diri untuk membantu banyak warga kecil yang miskin dan luput dari perhatian Pemerintah Daerah. 

Dengan kekuatan swadaya, Komunitas Taman Daun telah membuktikan bahwa spirit gemohing masih sangat relevan dalam meringankan beban sesama yang menderita. Baru-baru ini, melalui akun facebooknya. Jhon Batafor mengunggah sebuah video di rumah seorang mama yang rumahnya sangat memprihatinkan. Mama tua tersebut manawarkan untuk menenun sarung sebagai bukti rasa terimakasih kepada Jhon Batafor karena ia (Jhon) berjanji akan memperbaiki rumah mama tersebut.



Senang bercampur sedih terekspresikan lewat air mata bening keluar dari segenap jiwa raga mama yang telah lama hidup dalam kondisi tapal batas. Komunitas Taman Daun dalam kondisi apa adanya mampu membuat kebaikan dengan spirit kebersamaan. Barangkali dari wajah orang-orang kecil, Jhon Batafor dkk telah melihat kekuatan lain di balik wajah mereka. Pada konteks ini, Filsafat wajah yang diracik oleh Emmanuel Levinas sangat relevan. Wajah mereka mengandung harapan dan kerinduan yang tak pernah habis.

Pada sisi lain, kita menyaksikan para politisi besar malah membawa dana ratusan juta hanya untuk menyumbang ke gereja maupun masjid. Bantuan lebih kepada kemewahan bangunan rumah ibadah – walaupun rumah ibadah sudah elit bukan? Tentu setiap orang punya misi yang berbeda-beda. Namun, dilihat dari aspek prioritas dalam konteks bantuan yang bernuansa politis ini perlu dipertanyakan tatkala banyak warga miskin masih tinggal di gubuk reyot.

Spirit untuk Bangun NTT

Bayangkan saja jika setiap Bupati di masing-masing Kabupaten di NTT memegang teguh spirit gemohing. Warga miskin yang ada di NTT menjadi prioritas yang mesti diperhatikan oleh Pemerintah. Dengan demikian maka proses kerja kreatif untuk mengumpulkan dana yang setelahnya diperuntukkan bagi warga miskin bisa dilakukan dalam program-program kreatif Pemerintah bekerjasama dengan pihak-pihak lain. Pemerintah tidak boleh melihat warga miskin sebagai obyek dalam pembangunan politis, melainkan subyek yang mesti mendapat tempat utama. Jika ada kesadaran seperti ini, maka kegiatan-kegiatan yang hanya menghabiskan anggaran tanpa target untuk warga miskin mesti dikritisi.

Di Lembata misalnya, sejak masa kepemimpinan Bupati Lembata (alm) Eliaser Yentji Sunur, telah digelar banyak festival yang menghabiskan banyak sekali anggaran. Festival tersebut bahkan masih dilanjutkan oleh pemerintah berikutnya. Yang terbaru misalnya festival 3 teluk. 

Pertanyaannya, apa dampak kegiatan besar ini untuk kesejahteraan warga miskin? Sudah bisa dipastikan bahwa anggaran yang dikeluarkan untuk mengongkos festival tak berbanding sama dengan pemasukan untuk daerah. Barangkali Pemerintah kita rupanya lebih suka show dan mengabaikan teguran nuraninya untuk melihat yang miskin dan kecil. 

Atau misalnya, Pemerintah mengundang artis untuk datang ke daerah menghibur warga dengan terlebih dahulu memberi ongkos kepada artis yang suaranya tak mampu menyelesaikan persoalan warga miskin di daerah. Ini fakta kontradiktif yang mesti dikritisi. Kita bernyanyi di atas penderitaan warga miskin. Seandainya saja, dana untuk membayar penyanyi dikelola untuk membantu warga kecil yang miskin, tentu saja manfaatnya lebih terasa daripada sekadar bernyanyi 5 jam dan dibayar dengan dana yang besar. Kehadiran artis bisa diterima jika tujuannya adalah menggalang dana untuk membangun rumah warga miskin bukan sekadar untuk merehabilitasi gereja atau masjid.

Pada konteks ini, pembangunan politik di NTT mesti berkaca pada spirit gemohing sebagaimana yang diaplikasikan oleh Komunitas Taman Daun. Untuk mewujudkan harapan mulia semacam ini, diperlukan data yang valid. Pemda bisa mendata jumlah warga di daerahnya yang menghuni rumah tak layak. Fokus utamanya adalah membantu warga yang menghuni rumah tak layak. 

Cukup itu targetnya, maka di seluruh NTT, Pemda di masing-masing Kabupaten sudah bisa mengetahui jumlah rumah tak layak huni. Semua ini bisa terlaksana seandainya, ada kesadaran tentang kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia bukan hanya untuk golongan dan keluarga. Gemohing menjadi jalan raya bagi Pemerintah untuk bekerja secara kolaboratif bersama banyak pihak lain demi membantu warga miskin yang menghuni rumah tak layak. 

Sesungguhnya politik adalah soal membantu orang lain yang membutuhkan bukan sekadar mempertahankan kekuasaan Partai Politik dan kemewahan keluarga. Mesti ada cita-cita kemanusiaan yang mau dicapai bukan sekadar popularitas, mengumpulkan modal cuan dan janji-janji melangit yang jauh dari kebutuhan warga kecil.

Komunitas Taman Daun di Lembata telah memberi contoh proses membangun politik di daerahnya. Tidak dengan janji-janji melambung tinggi ke langit tetapi hanya dengan gemohing dan rasa cinta, mereka mampu mengubah kenyataan pahit orang miskin. Luar biasanya KTD adalah mereka bekerja sendiri dalam spirit kebersamaan. Pertanyaannya, apakah Pemda Lembata pernah belajar pada komunitas ini untuk mengentas kemiskinan atau hanya gara-gara dengan festival dan mengundang artis untuk menghibur orang Lewoleba?

Post a Comment for "Spirit Gemohing untuk Pembangunan Politik di NTT"