Membawa Jagung Lokal ke Meja Pesta Orang Lembata
RakatNtt - Yang paling tahu tentang kondisi jagung adalah perempuan; yang paling tahu tentang manfaat makanan untuk tubuh laki-laki adalah perempuan. Singkatnya omong tentang makanan berarti omong tentang pengetahuan perempuan. Maka saya pernah buat tulisan tentang cerita legenda Bota Ili dan Wata Rian yang terkesn memojokkan perempuan dalam narasinya. Perempuan justru digambarkan sebagai orang yang masih buta huruf tentang makanan; ia makan tokek, kadal dan seterusnya. Justru laki-laki yang digambarkan sebagai orang yang sudah maju dan tahu tentang makanan yang paling baik untuk dikonsumsi. Cerita itu jika digali punya narasi yang perlu dibaca ulang secara kritis.
Oke, kali ini saya mau bertanya kepada perempuan Lembata; apakah bisa dalam setiap pesta – sambut baru, pernikahan, sunatan, pokoknya pesta – kita bisa seimbangkan makanan antara beras toko dan jagung lokal kita? Apa saja kesulitan jika kita mengonsumsi jagung dalam setiap hajatan?
Dua pertanyaan itu dulu, saya tunggu di kolom komentar. Sebagai laki-laki yang buta huruf tentang kondisi dapur, saya berpikir bahwa sudah saatnya kita melirik jagung lokal dan bawa ke meja pesta kita. Sebab, yang terjadi sekarang, setiap kali pesta yang kita konsumsi adalah beras toko, lantas di mana pangan lokal kita khususnya jagung? Harus kita pahami bersama bahwa beras toko yang kita makan sekarang adalah hasil propaganda Pemerintah, bahkan sudah ada sejak zaman lampau tetapi berpuncak pada zamannya Soeharto.
Mereka cuci kita punya otak tentang miskin-kaya, elit-kolot. Kalau kita makan jagung, kita tergolong miskin dan kolot, kalau makan beras toko, kita tergolong kaya dan elit. Akibatnya, kita mulai melupakan jagung lokal lalu cari uang beli beras. Padahal penelitian sains membuktikan bahwa makanan yang paling baik dan sehat adalah makanan yang dimakan oleh nenek moyang kita. Apa itu? ya, pangan lokal! Propaganda itu sama seperti orang tipu kita bahwa kalu menikah harus ada cincin dan pakai jas hitam lalu didukung oleh agama. Seolah-olah tanpa cincin, perkawinan tidak sah, apalagi tanpa jas dan dasi kupu-kupu. Supaya apa? Ya, supaya kita bisa beli mereka punya cincin to.
Tantangannya
Idealisme model ini tidak gampang. Sebab kita punya beberapa tantangan. Pertama, inferioritas. Kita merasa rendah diri dan malu makan jagung lokal di tempat pesta. Pemerintah juga sama, setiap kali pertemuan resmi, coba cek menu apa yang disiapkan dan siapa yang menyiapkannya? Artinya, Pemerintah kita omong banyak tentang pangan lokal padahal mereka juga tidak makan.
Kedua, kita omong jagung lokal dan jagung titi tapi
Bupati Lembata dan partai politik rajin keliling Lembata bagi-bagi jagung
hibrida. Ini sangat disayangkan jika tak ada edukasi yang seimbang. Suatu saat
sangat mengancam eksistensi jagung lokal karena otak kita mulai dipropaganda
oleh Pemda dengan mengunggulkan jagung hibrida. Mengapa Pemda tidak beli jagung
lokal langsung kepada petani dan bagi-bagi kepada petani? Bukankah dengan cara
ini petani dapat keuntungan ganda?
Ketiga, produktivitas. Mayoritas petani Lembata adalah petani ladang yang tanam hanya untuk makan. Beberapa dekade terakhir mulai muncul petani sayur di beberapa titik. Dengan kehadiran jagung hibrida dan cara pikir inferior sangat mengganggu produktivitas petani. Kita tanam seadanya saja untuk makan bukan untuk jual. Sebab tidak ada orang yang mau beli jagung lokal, termasuk Pemerintah Lembata.
Ubah Pola
Setelah Tunas menang Pilkada, kita mengharapkan petani dibantu untuk lebih maju. Maka yang harus kita lakukan pertama yakni ubah pola pikir kita. Dalam konteks tulisan ini kita minta pendapat perempuan Lembata tentang pesta wajib makan nasi jagung campur beras. Jika ini disepakati, maka petani di Des-desa bukan hanya tanam untuk makan melainkan untuk jual juga. Siapa yang beli?
Nah, ini tugas Pemda. Coba saja dibuka BUMDes pangan lokal. Misalnya setiap Desa punya perusahaan untuk beli jagung dan jual jagung. Maka, petani bisa jual jagung kepada Pemdes lalu Pemdes jual sesuai kebutuhan pasar misalnya saat ada pesta. Kita di Lembata setiap minggu pasti ada pesta. Ini baru jagung, belum lagi ada ubi, kacang dan aneka pangan lokal lain. Tergantung bagaimana kita berpikir memanfaatkan peluang dan potensi Desa kita. Dengan langkah ini, maka akan mendorong produktivitas petani, warga didorong untuk menyiapkan mol jagung yang berkualitas sehingga uang berputar di antara warga.
Pemerintah Desa, Kecamatan dan Daerah bangun kerja sama, diskusi dengan masyarakat langkah-langkah yang perlu dibuat. Jangan lupa sebagai masyarakat yang punya kearifan lokal kita mungkin sudah hilang ingatan bahwa setiap kesepakatan bersama sebenarnya mesti disahkan dengan ritus adat. Kita membawa material profan menuju ruang sakral. Ini ciri khas kita, tapi mungkin sudah mulai hilang.
Kesepakatan dikukuhkan dengan ritus sakral supaya
kita sungguh-sungguh menyadari bahwa kesepakatan kita itu bukan untuk main
gila. Ingat, kearifan lokal kita sangat mengistimewakan jagung, makanya ada ritus
makan jagung baru, pesta kacang, makan leye dll. Artinya, leluhur mengajarkan
kita untuk melihat bahwa pangan lokal kita itu istimewa. Jika punah, ritus juga
hilang. Jika ritus hilang kita percaya bahwa kita akan dapat sakit atau
kutukan. Ini ajaran yang sangat luar biasa yang hanya ada dalam agama lokal
kita.
Post a Comment for "Membawa Jagung Lokal ke Meja Pesta Orang Lembata"
Komentar