Peristiwa Kematian di Kedang, yang Berduka Dapat Beban Ganda?
| Nuta' Kapang, pakaian untuk orang meninggal dalam tradisi Kedang |
RakatNtt - Masih seputar buku telu dalam tradisi Kedang. Namun, kali ini saya coba melihat lebih spesifik tentang peristiwa kematian di Kedang yang justru tak terhindar dari pesta. Yang saya maksudkan bukan pesta dalam arti berjoget-joget di atas peristiwa duka melainkan dari sisi tradisi buku telu dan lama’ sue.
Buku telu sudah jelas sebagaimana didiskusikan akhir-akhir ini. Selain buku telu ada juga tradisi lama’ sue atau makan dua piring dalam setiap peristiwa kematian. Dari judul tulisan ini, saya coba memberikan ruang bagi kita untuk berpikir, layakah semua peristiwa kematian di Kedang dijadikan pesta? Kalau ada orang meninggal, kita selalu harus makan dua piring; selalu ada buku telu, selalu pinjam piring, sendok dan seterusnya yang setelah itu akan dibayar oleh “tuan pesta yang berduka.”
Untuk menemukan jalan keluar, kita mesti bedakan peristiwa kematian sebagai pesta dan bukan pesta. Dalam keyakinan asli orang Kedang, setiap tetua adat atau orangtua-orangtua yang umurnya di atas 70 tahun dianggap sebagai yang sudah layak. Karena demikian, kematiannya harus diiringi dengan nuansa pesta atau kegembiraan – bunyi gong gendang, tarian dll. Hal ini juga berkaitan dengan kepercayaan bahwa peristiwa kematian selalu ada kehidupan baru, maten-bitan. Dengan demikian, sulit kita berargumentasi bahwa orang yang mati dengan umur layak tak boleh dipestakan.
Sebab hal demikian sudah menjadi sebuah keyakinan yang kokoh. Orang boleh menangis di hadapan jenazah tetapi serentak pula orang lain sedang pukul gong gendang dan menari. Artinya, tangisan itu bukan karena kehilangan semata melainkan juga ada rasa gembira karena Tuhan sudah memelihara orang yang meninggal tersebut dengan umur yang sudah cukup tua. Maka, sebagai ungkapan syukur, kematian orangtua tersebut layak diiringi dengan kegembiraan – saya setuju soal ini.
Sebab yang bertanggung jawab atas kematian ini bukan hanya anak cucu biologisnya melainkan semua anggota suku berperan aktif. Para tamu atau keluarga (loeng lala) pun turut bergembira dan kehadiran mereka juga turut membantu tuan pesta melalui buku telunya.
Jadi kita mesti memahami konteks buku telu dan lama’ sue pada peristiwa kematian tertentu masih bisa kita terima sebagai sesuatu yang layak. Namun, coba kita lihat peristiwa kematian lain yang penyebabnya karena kecelakaan, atau mati muda, orang yang sakit dan meninggal di rumah sakit atau bayi yang baru lahir langsung dijemput ajal. Beberapa peristiwa kematian yang saya sebut ini perlu kita baca ulang dalam konteks tradisi kita di Kedang.
Kita bahkan hampir tidak pernah membedakan kematian dengan latar belakangnya. Semua peristiwa kematian selalu saja ada buku telu dan lama’ sue. Memang ini budaya tapi kita coba berpikir ulang. Apakah peristiwa kematian tak wajar atau umur muda harus selalu ada lama’ sue atau makan dua piring?
Bukankan dengan demikian kita sedang menumpuk beban ganda pada keluarga yang berduka? Bayangkan orang yang mati di Rumah Sakit, keluarga harus bayar Obat-obat di RS lalu harus siapkan uang untuk penguburan yang diantaranya harus untuk beli beras dan lain-lain.
Atau orang yang mati tiba-tiba karena kecelakaan, keluarganya harus berutang supaya bisa beli beras dan lain-lain demi mendukung yang namanya budaya – menangis sambil pikir pergi pinjam uang dan pikir utang. Bisakah kita berpikir ulang-ulang lagi soal peristiwa kematian model ini?
Yang berbeda hanyalah tidak ada gong gendang dan tarian tapi makan-makan tetap sama. Tentu kita juga tidak mungkin meniadakan makan-makan ini, apalagi ada keluarga yang datang dari tempat jauh. Namun, sedapat mungkin kita sederhanakan. Orang yang berduka itu dibantu atau diringankan bebannya.
Maka menurut saya – entah seperti apa bahasa adatnya – makan-makan saat kematian yang saya sebutkan di atas cukup dengan makan jagung titi, minum kopi dan makan pisang goreng – tak perlu makan berat. Sebab, kita datang untuk menghibur orang berduka bukan menumpuk beban tambahan melalui makan nasi dan daging – padahal mungkin kita juga tidak sedang lapar.
Budaya menjamin keberlanjutan, bukan memaksa kita untuk terus memikul batu besar padahal kita sedang tersiksa. Sebagai penutup, sebagaimana ulsan saya tentang buku telu, kita butuh peran semua pihak terutama Pemerinah Desa dan Kecamatan untuk memikirkan keberlanjutan budaya Kedang.
Di
Desa, kita punya Lembaga Adat Desa yang bisa menjadi wadah untuk berdiskusi,
kemudian dilanjutkan ke tingkat Kecamatan untuk menyiapkan ruang yang lebih
besar, misalnya seminar bersama – semoga Bapa Kades dan Camat Baca postingan
ini.
Post a Comment for "Peristiwa Kematian di Kedang, yang Berduka Dapat Beban Ganda?"
Komentar