Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Bencana di Aceh dan Pertanyaan tak Penting tentang Tuhan

 

Ilustrasi Foto AI


 

RakatNtt - Banyak kalangan menilai bahwa bencana di tiga Provinsi di Sumatera bukan murni bencana alam – curah hujan tinggi misalnya – melainkan juga bencana ekologis. Tewasnya ratusan orang tak berdosa tersebut merupakan imbas dari kerakusan kapitalis yang mengejar keuntungan tanpa memerhatikan keseimbangan alam. 

Jatam dan WALHI juga menegaskan hal demikian. Ratusan ribu hektar hutan Sumatera digunduli untuk kepentingan perut orang-orang yang ber-uang tetapi hati beruang. 

Masifnya penggundulan hutan untuk mendukung banyak proyek di wilayah ini sudah dilakukan sejak Orde Baru. Pemerintah saat ini melanjutkan kejahatan yang sama. Warga lokal pun mengalami dampak dari bencana ekologis ini.

Di tengah duka yang seharusnya membutuhkan keseriusan dan keperihatinan serta perhatian Pemerintah, terlihat justru banyak elit seolah menjadikan bencana ini sebagai tontonan iklan untuk mendukung konten di FB Pronya. 

Bahkan pencitraan yang tak perlu misalnya memikul beras satu karung. Padahal orang tersebut sesuai data merupakan elit yang memberi izin pembabatan hutan paling besar di Sumatera. Warga histeris minta bantuan material dan tak jarang menyebut nama Tuhan dalam situasi batas.

Kadangkala sebagai manusia kita bertanya; di manakah Tuhan dalam situasi ini? Bukankah Ia maha adil? Jika Ia adil mengapa orang yang merusak hutan tidak ditimpah bencana melainkan yang tidak merusak yang kena dampak? Banyak juga warga Indonesia lainnya berdoa agar bencana ini cepat pulih. 

Sebagai manusia beriman tentu banyak dari kita yakin bahwa Tuhan tidak tutup mata. Namun, kita tidak mampu mendeteksi misteri Tuhan. Apakah Tuhan peduli dengan situasi ini? Dalam situasi ini, pertanyaan tentang Tuhan rasanya tidak amat penting. Yang paling penting adalah pertanyaan tentang manusia. Barangkali Tuhan punya sifat cuek atas semua yang terjadi setelah ia menciptakan segalanya baik adanya. 

Dalam buku Homo Sapiens, Harari mengulas kepercayaan kuno orang Yunani bahwa Dewa tertinggi Yunani memiliki sifat cuek atas semua yang terjadi. Ia hanya bertugas menciptakan kemudian membiarkan segala sesuatu terjadi – misalnya ketika manusia berperang, Dewa tertinggi tidak memihak siapa-siapa.

Tentu saja setiap agama punya ajaran teologis yang berbeda tentang Tuhan dalam situasi batas sebagaimana bencana di Sumatera. Namun, menurut saya, dalam keadaan bencana pertanyaan tentang Tuhan menjadi tidak penting. Yang penting adalah bertanya tentang manusia. Mengapa manusia merusak hutan secara masif untuk mengejar profit tanpa berpikir dampak destruktifnya – padahal ia dianugerahi akal budi dan hati nurani? Juga pertanyaan-pertanyaan lainnya. 

Tuhan sudah menciptakan segalanya baik adanya; sudah ada ajaran moral dalam agama-agama baik lokal maupun universal, sudah ada hukum yang harus dipatuhi dan seterusnya. Namun, ketika manusia melanggar, maka risiko akan ditanggung oleh manusia. Dalam konteks di Sumatera, orang kaya membabat hutan dan risiko ditanggung oleh orang lainnya.

Walaupun pertanyaan tentang Tuhan tidak penting tetapi manusia perlu refleksi atas bencana ini sebagai bagian dari teguran alam. Bernarasi tentang kemajuan tanpa memikirkan dampak buruk adalah tipe orang rakus. Apalagi, menggundul hutan milik rakyat lalu rakyatnya sendiri tidak mendapat keuntungannya. Inilah fakta yang terjadi di Indoensia. 

Anehnya, di pulau Lembata yang kecil, ada seorang yang bernama Jhon K, selalu bernarasi di Medsos omong tentang tambang dan men-cap masyarakat yang tolak sebagai orang yang menolak kemajuan. Tipe Jhon K mirip-mirip dengan mereka yang membabat hutan di Sumatera. Teguran bencana ekologis mestinya membuat para pengambil kebijakan sadar dan malu bukan mencuri kesempatan untuk viral di tengah bencana. Sebuah aksi sombong yang tak layak ditonton. 

Para elit ini mendapat tamparan dari warga terdampak dalam bentuk air mata, wajah yang bersedih tetapi etika tanggungjawab mereka penuh dengan persyaratan tertentu. Prabowo Subianto misalnya justru mengatakan luas kebun kelapa sawit harus dibuka lagi di tengah situasi bencana di Aceh bahkan melarang warga tebang pohon sembarangan – padahal faktanya pejabat dan pemilik modalah yang tebang pohon. 

Tampak ketidakjujuran elit-elit melihat bencana ini. Ketika rakyat berteriak karena hutannya dibabat tanpa ampun, elit berbalas pantun agar hutan tetap dibabat lebih luas lagi.

Dengan demikian, maka pertanyaan tentang manusia menjadi penting. Mengapa manusia menjadi serigala untuk manusia yang lain? Mengapa korban tewas ratusan orang tidak menyadarkan para elit untuk menghentikan proyek pembabatan hutan dst? 

Pertanyaan tentang manusia adalah sebuah proses kembali kepada kesadaran diri. Kita sadar atas perbuatan kita yang merusak kehidupan orang lain. Orang kaya yang merusak, warga biasa yang kena dampaknya. Dimanakah Tuhan?

Jangan bertanya tentang Tuhan. Sebab ini bukan tanggungjawab Tuhan melainkan manusia. Sama halnya dengan situasi batas kematian manusia. Jika kia ingin hidup lebih lama, maka rawatlah tubuh kita dengan baik. Jangan konflik dengan sesama agar tidak kena pelet atau sihir ilmu hitam. 

Jangan ngebut-ngebutan di jalan agar terhindar dari kecelakaan maut dan seterusnya. Dalam situsi batas ini, kita bertanya kepada diri sendiri bukan kepada Tuhan apalagi mempersalahkanNya. Sebagai orang beriman, kita hanya berdoa dan jawabanNya adalah misteri.

Post a Comment for "Bencana di Aceh dan Pertanyaan tak Penting tentang Tuhan"