Makna Teologis di Balik Ritus Tunu (Bagian 1)
MASYARAKAT LASIOLAT DAN RITUS TUNU
Oleh Marianus Fahik; Mahasiswa STFK Ledalero
Sembelih babi sebagai Hewan Kurban pada Ritus Tunu |
2.1 Gambaran Umum
Masyarakat Lasiolat
Lasiolat merupakan
salah satu kecamatan yang terletak di bagian utara Kabupaten Belu-Provinsi NTT,
Indonesia dengan luas wilayahnya 64,44 km2 dan kepadatan penduduknya mencapai 104 jiwa/km².[1] Kecamatan ini terdiri dari tujuh desa
dengan luas wilayahnya sebagai berikut:[2]
Tabel
2.I.
Jumlah Desa di Kecamatan Lasiolat dengan Luas Wilayahnya
No
|
Desa
|
Ibu Kota
|
Luas Desa
(Km2)
|
Persentase
|
01
|
Lasiolat
|
Wefia
|
9,20
|
14,27
|
02
|
Maneikun
|
Motaain
|
9,10
|
14,11
|
03
|
Fatulotu
|
Fatubesi
|
9,25
|
14,34
|
04
|
Lakan Mau
|
Haliren
|
9,00
|
13,96
|
05
|
Raiulun
|
Wefauk
|
9,00
|
13,96
|
06
|
Dualasi
|
Wehasan
|
9,01
|
13,96
|
07
|
Baudaok
|
Mahein
|
9,93
|
15,40
|
Jumlah
|
xxx
|
64,48
|
100
|
Secara tradisional, Lasiolat merupakan
bagian dari wilayah kerajaan Fehalaran dengan Fatulotu
sebagai pusat kerajaannya. Fehalaran berasal dari
bahasa Tetun dan terdiri dari dua suku kata fehan
dan laran. Fehan artinya luas dan laran
artinya dalam. Secara etimologis, Fehalaran berarti alam yang luas dan kaya
akan hasil alamnya.
Namun secara kultural dan sesuai warisan tradisi, Fehalaran diterjemahkan sebagai hati yang lurus. Lasiolat, karena itu, selain dikenal
karena alamnya yang indah dan luas tetapi juga memiliki
penduduk yang berhati lurus dan ikhlas serta mampu berbuat baik.[3]
Masyarakat
Lasiolat memiliki sistem kepercayaan atau agama tertentu. Umumnya, mayoritas masyarakat Lasiolat
menganut agama Kristen Katolik dan sebagian kecil lainnya menganut agama Kristen Protestan.
Selain menganut
kedua agama tersebut, masyarakat Lasiolat juga sebenarnya memiliki sistem
kepercayaan tradisional yang sudah ada sebelum
kedua agama tersebut hadir. Bahkan sistem kepercayaan
tradisional tersebut masih bertahan hingga sekarang. Tentang sistem kepercayaan ini, masyarakat Lasiolat memandang segala sesuatu yang ada di dunia termasuk manusia diciptakan oleh Wujud Tertinggi yang mereka sapa sebagai Nai Luli Waik Nai Manas Waik.[6]
Sebagai bentuk penghormatan terhadap Nai Luli
Waik Nai Manas Waik, maka dilangsungkan berbagai ritus keagamaan termasuk di sini ritus tunu. Keberadaan dan kepercayaan terhadap Nai Luli Waik Nai Manas
Waik ini terjadi karena masyarakat Lasiolat percaya
bahwa segala kejadian baik yang mereka alami, hasil panen yang melimpah, curah
hujan yang kondusif, dan kehidupan yang harmonis dalam masyarakat berasal dari Nai Luli Waik Nai Manas
Waik. Sebaliknya bencana alam seperti gempa bumi, tanah longsor, dan gunung
meletus yang mendatangkan malapetaka berasal dari kekuatan
yang jahat atau setan.
Negara Indonesia memiliki masyarakat yang majemuk dan multikultural yang
tersebar dari Sabang sampai Merauke. Sebagai masyarakat multikultural yang berasal dari
berbagai budaya, etnis dan agama yang berbeda-beda, masyarakat Indonesia
disatukan oleh bahasa persatuan yakni bahasa Indonesia. Tanpa memiliki suatu
bahasa persatuan, masyarakat Indonesia yang berasal dari latar belakang yang
berbeda-beda dan dengan jumlah penduduknya yang hampir mencapai tiga ratusan juta jiwa, pastinya masyarakat Indonesia tidak saling mengenal, memahami, dan
berkomunikasi satu sama lain. Bahasa Indonesia, karena itu, menjadi jembatan yang
menghubungkan dan
mempersatukan masyarakat dari suku Batak, suku Madura, suku Flores, suku Ambon, dan lain sebagainya.
Masyarakat Belu umumnya dan masyarakat Lasiolat khususnya juga
merupakan sebuah masyarakat yang beranekaragam. Ditilik dari suku atau etnis, masyarakat Lasiolat terdiri atas
suku Tetun dan suku Welaun. Bahasa
persatuan yang terdapat di sana adalah bahasa Tetun. Bahasa ini digunakan
pada hampir seluruh wilayah Kecamatan Lasiolat.
Selain
digunakan dalam kehidupan sehari-hari,
bahasa Tetun juga digunakan saat acara-acara adat, seremonial keagamaan, acara pernikahan (tama husu no tara horak), acara penerimaan penjabat pemerintahan
atau pimpinan keagamaan (haseahawaka),
upacara penghormatan leluhur (tunu ba we,
tunu ba fatu no ai hun), dan upacara
kematian (lakuk merin). Selain bahasa persatuan tersebut, masyarakat Lasiolat juga memiliki
beberapa tarian daerah seperti tarian
likurai dan tebe.
Pertama,
likurai. Likurai berasal dari bahasa
Tetun yang secara harafiah terdiri atas dua suku kata yaitu liku: mengitari dan rai: bumi atau tanah. Likurai, karena itu, berarti tarian
mengitari bumi.[9]
Secara realis, likurai adalah tarian syukur orang Lasiolat. Tarian ini dibawakan oleh kaum perempuan dan kaum laki-laki, baik anak-anak,
kaum remaja maupun orang
dewasa. Jumlah kelompok perempuan yang memperagakan tarian ini harus genap, begitupun juga dengan jumlah kelompok laki-laki.
Biasanya kelompok perempuan berjumlah sepuluh orang
sedangkan kelompok laki-laki berjumlah dua orang. Tarian ini biasanya dibawakan dengan iringan alat
musik genderang (tihar).
Bahan dasar dari genderang ini bisa diambil dari pohon kapuk, kemiri, dan
pohon-pohon lainnya yang ringan dan bertahan lama. Dengan berbusana adat dan liukan badan lunglai dan
hentakan kaki yang seragam, tarian ini akan kelihatan indah dan menarik saat
dibawakan.
Pada zaman dahulu tarian ini dibawakan pada saat upacara-upacara dan ritual adat teristimewa ketika menyambut
pahlawan suku yang disebut meo,
bersama anak buahnya yang baru kembali dari medan
perang. Selain itu tarian ini juga dibawakan untuk
mengiringi antaran upeti ke istana atau untuk menyambut tamu agung yang
berkunjung ke istana.[10]
Namun dewasa ini tarian likurai sudah kehilangan nilai ritualnya. Ia lebih sering
ditampilkan untuk mengisi acara-acara dan keramaian-keramaian lainnya sebagai
dampak perkembangan budaya modern. Selain itu dalam
rangka inkulturasi budaya-budaya lokal ke dalam liturgi Gereja sesuai konsili
vatikan II, tarian likurai juga dibawakan pada saat perayaan ekaristi teristimewa
saat perarakan masuk dan perarakan persembahan ke altar Tuhan.
Kedua, tebe. Tebe berasal dari bahasa Tetun yang berarti tandak. Tarian
ini bisa dibawakan oleh kelompok laki-laki atau
perempuan secara
sendiri-sendiri tetapi pada umumnya tarian ini melibatkan perempuan
dan laki-laki sekaligus. Tarian ini beranggotakan belasan hingga puluhan orang
dan biasanya dibawakan secara
khusus pada malam hari. Kelompok perempuan membentuk
lingkaran luar dan kelompok laki-laki membentuk lingkaran dalam. Sambil
bergandengan tangan mereka menghentakkan kaki dan secara bersahut-sahutan
melantunkan pantun yang sifatnya sindir-menyindir.[11]
Dalam pekembangannya, irama pergerakan tebe sudah semakin bervariasi dan sudah
dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga kehilangan bentuk aslinya. Alat
musik
yang mengiringi tarian ini juga tidak lagi hanya gong atau suara
manusia tetapi sudah dicampur dengan
alat-alat musik modern dan kadang pula dibawakan dengan instrumen musik yang
diputar melalui VCD atau flash disk.
2.2
Ritus Tunu
Masyarakat Lasiolat
merupakan sebuah masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai budaya
yang diwariskan oleh para leluhur mereka. Selain itu, sebagai masyarakat yang
beragama,
mereka pun hidup dalam semangat nilai persatuan dan keanekaragaman. Hal ini
ditandai dengan relasi yang selalu harmonis dan tidak saling memecah belah antar
mereka.
Namun relasi yang
dibangun ini tidak hanya merupakan relasi dengan dan di antara mereka yang
masih hidup, tetapi lebih dari itu juga dengan nenek moyang mereka yang telah
meninggal dunia (mate bian). Dari
relasi dengan orang yang sudah meninggal itu, berkembang sebuah kepercayaan
bahwa roh leluhur memiliki peranan yang cukup berpengaruh dalam kehidupan
mereka.[13]
Mereka percaya
dan yakin bahwa leluhur yang telah
meninggal dapat membantu mengatasi berbagai kesulitan dalam hidup demi memperoleh
kebahagiaan. Terhadap kepercayaan dan keyakinan yang kuat mengakar dalam diri
mereka ini tidak berlebihan jika masyarakat Lasiolat menjadikan para leluhur
sebagai pelindung dari berbagai macam kejahatan.
Mereka yakin bahwa selama relasi yang dibangun dengan para leluhur
berjalan dengan baik, harapan-harapan mereka dapat menjadi kenyataan. Namun apabila
mereka melakukan perbuatan yang
menyimpang dari niat dan kehendak leluhur, maka relasi mereka akan menjadi tidak lagi harmonis dan
leluhur tidak lagi menjadi pelindung, tetapi sebaliknya menjadi ancaman dalam hidup.
Untuk mengatasi
ancaman dan akibat buruk yang akan menimpa mereka sebagai konsekuensi dari
relasi kurang harmonis yang telah dibangun dengan para leluhur ini, masyarakat
Lasiolat lalu melakukan ritual adat dan atau praktik keagamaan tertentu untuk kembali menghormati roh leluhur, bertobat, dan memohon pengampunan.
Hal ini sekali lagi dimaksudkan
agar para leluhur dapat kembali melindungi mereka baik dalam untung maupun
malang dan tidak menjadi tantangan dan ancaman bagi
kelangsungan hidup mereka. Bentuk ritual keagamaan yang berkaitan dengan
penghormatan terhadap para leluhur dan kepercayaan tradisional ini
dikenal dengan nama Ritus Tunu.
2.2.1
Pengertian Ritus Tunu
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
mendefinisikan ritus sebagai sebuah tata cara dalam upacara keagamaan.[14]
Dalam tata cara atau ritual
keagamaan ini, orang-orang beragama mempersembahkan korban tertentu
sebagai bentuk penghargaan terhadap keberadaan Wujud Tertinggi. Selain
untuk menghormati Wujud Tertinggi, tata cara keagamaan ini juga menjadi sebuah
bentuk penyerahan diri yang total karena keterbatasan manusiawi yang tidak bisa
dielak. Mereka yang menjalankan tata cara keagamaan ini, karena itu,
membutuhkan bantuan dari Wujud Tertinggi untuk keluar dari berbagai
keterbatasan manusiawi yang dihadapi dan berbagai kekuatan alam yang sekali
waktu dapat menghancurkan mereka. Tata cara keagamaan seperti ini juga menjadi
esensi dari ritus tunu dalam sistem
kepercayaan tradisional masyarakat Lasiolat.
Secara harafiah,
tunu berasal dari kata bahasa Tetun[15]
yang berarti
panggang. Secara ritualistik,
ritus tunu diartikan sebagai sebuah
upacara penyembelihan. Dalam konteks masyarakat Lasiolat, ritus ini umumnya
dikenal sebagai ritual mempersembahkan kurban kepada roh leluhur. Sebagai upacara mempersembahkan kurban, term tunu dekat sekali dengan laku atau hakserak yang berarti “mempersembahkan.” Hakserak is usually performed and expressed
through offering ceremonies including the offerings of victims.[16]
Oleh karena itu, baik tunu, laku, maupun hakserak dapat dipakai secara bergantian, karena sama-sama memiliki
kesamaan arti yakni sebagai sebuah ritual mempersembahkan korban kepada para
leluhur.
2.2.2
Sejarah Ritus Tunu
Sebelum
agama Kristen Katolik tiba dan berkarya di bumi Lasiolat (1515),[17]
ritus tunu telah menjadi sistem kepercayaan masyarakat Lasiolat. Ritus
tunu merupakan tradisi lokal
yang lahir dari pengalaman mistis yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang. Pengalaman mistis biasanya terjadi ketika seorang
atau sekelompok orang berjumpa dengan objek
tertentu berupa manusia, hewan, atau benda-benda asing dan aneh lainnya.[18]
Pengalaman mistis ini bisa terjadi melalui pertemuan fisik ketika orang sedang
berburu di hutan, sedang bekerja di kebun, atau sedang menggembalakan ternak
peliharaan. Selain pertemuan secara fisik, pengalaman mistis juga dapat dialami
lewat mimpi. Dalam pengalaman mistis tersebut,
seorang atau sekelompok orang menjumpai objek-objek tertentu yang kehadirannya
tidak pernah diduga sebelumnya. Secara kasatmata objek-objek itu berbeda dengan
objek-objek yang ada di dunia manusia, misalnya manusia berbulu, binatang
bertanduk besar dan panjang, atau sebuah batu besar yang bercahaya.
Masyarakat
Lasiolat memandang pengalaman mistis sebagai pengalaman
luar biasa selain karena pengalaman
ini hanya dialami oleh orang-orang tertentu dan
berada di luar dugaan, tetapi juga karena objek-objek yang dijumpai itu hadir
dalam bentuk misterius. Terhadap
objek-objek misterius yang memiliki kekuatan melampui keterbatasan duniawi ini,
manusia lalu membuat penghormatan khusus terhadap
objek-objek tersebut.
Masyarakat Lasiolat percaya bahwa selain memiliki kekuatan luar biasa,
objek-objek tersebut juga merupakan jelmaan para leluhur mereka.[19]
Sebagai bentuk penghormatan
kepada arwah para leluhur, masyarakat Lasiolat membuat
altar (foho) persembahan dengan bahannya berupa batu yang disusun
secara teratur. Altar ini dapat dibuat dan ditempatkan di
bawah batu besar, pohon-pohon
besar maupun di
dekat mata air atau di
tempat manapun bila terjadi perjumpaan antara manusia dengan objek-objek
misterius tersebut. Foho
sendiri
akan digunakan sebagai tempat untuk mempersembahkan korban bakaran bagi para leluhur.
Biasanya
penghormatan terhadap para leluhur ini akan diwariskan dan diteruskan secara
turun temurun karena pribadi atau sekelompok
orang yang mengalami langsung peristiwa itu selalu mendapatkan hal-hal yang
tidak terduga seperti sebuah kehidupan yang lebih baik, umur yang panjang,
kesehatan yang baik, hasil panen yang melimpah, hewan peliharaan yang semakin banyak, dan sebagainya.
Upaya mewariskan penghormatan terhadap roh-roh leluhur dengan alasan-alasan tersebut dimaksudkan agar semua
orang dapat mengalami hal yang sama.
Lebih lanjut, apabila objek yang
dijumpai itu, misalnya
seekor binatang, maka binatang itu akan dijadikan totem dan dagingnya tidak
akan dimakan seumur hidup oleh pribadi terkait. Pantangan ini pun akan
diwariskan dan dihidupi secara turun temurun atau dari generasi ke generasi
agar semua orang dalam suku dapat mematuhinya.
Dalam perkembangannya, masyarakat Lasiolat yakin
bahwa setelah orang atau sekelompok orang yang mengalami kejadian itu meninggal
dunia, jiwanya akan bersatu dengan objek yang ia jumpai itu dan hidup bersama
di sebuah alam yang berbeda dengan alam manusia biasa. Hal ini memperjelas
alasan dilakukannya upacara
penghormatan terhadap roh leluhur di bawah pohon besar, batu besar, atau di
mata air tertentu.
Objek-objek ini diyakini
kuat sebagai manifestasi kehadiran roh leluhur. Dalam
perkembangan selanjutnya, ritus ini selalu mengalami perubahan-perubahan, baik
dalam bentuk keterlibatan,
bahan-bahan yang digunakan saat ritus ini
berlangsung, juga pemaknaan
terhadapnya.
Pada zaman
pra-modern,
jalannya upacara ritus ini diketahui oleh semua orang Lasiolat, mulai dari yang
berusia remaja hingga yang berusia dewasa.[20] Namun seturut
perkembangan zaman, ritus ini hampir punah dan tidak diketahui oleh anak-anak
muda Lasiolat. Hal ini dapat
dilihat dari keterlibatan mereka saat ritus ini
dijalankan. Mereka memang terlibat
secara fisik tetapi secara rohaniah
keaktifan mereka sangat diragukan.[21]
Bahan-bahan
yang digunakan dalam ritus ini
pun berubah dari zaman ke zaman. Misalnya pertama,
beras yang dimasak menjadi nasi untuk dipersembahkan kepada leluhur. Pada zaman
sebelum abad ke-20, beras yang digunakan adalah ‘beras jagung’[22] sesuai dengan makanan
khas waktu itu, tetapi pasca abad ke-20, beras yang digunakan adalah beras padi.
Kedua,
uang. Menurut kesaksian bapak Yonatas Besin, salah seorang ketua
suku di Lasiolat, sebelum negara Indonesia merdeka dan menjadikan rupiah
sebagai mata uang resmi negara, uang yang digunakan saat ritus ini dijalankan
adalah mata uang Belanda atau mata uang Jepang. Saat ini uang yang digunakan saat ritus tunu dilangsungkan
adalah mata uang resmi negara Indonesia yakni rupiah. Secara praktis, materi-materi
yang digunakan dalam ritus tunu selalu
berubah dan disesuaikan
dengan perkembangan zaman. Hal yang masih
bertahan dan tidak mengalami perubahan hingga saat ini adalah makna dan nilai
yang terkandung di dalamnya.
Pada saat misionaris barat yang membawa ajaran Katolik
tiba di bumi Fehalaran-Lasiolat,
para misionaris melihat ritus tunu sebagai ritual kafir. Bagi mereka praktik ritual yang dijalankan di
bawah pohon besar, batu besar, atau di mata air adalah salah satu bentuk penyembahan
berhala. Pasalnya, pohon,
batu, dan air pada hakekatnya tidak memiliki jiwa dalam dirinya sendiri,
sehingga tidak pantas untuk dihormati. Bapak
Markus Mau Halek mengatakan
bahwa: “ketika
ema mata makerek[23] tiba, mereka dengan seenaknya menghancurkan
semua foho (tempat peribadatan dalam
ritus tunu) yang ada di Lasiolat
tanpa bertanya terlebih dahulu alasan di balik pelaksanaan ritus ini. Banyak
pohon besar terpaksa ditebang, batu-batu besar dihancurkan dan digulingkan
serta beberapa mata air ditutup begitu saja. Padahal bagi orang Lasiolat, objek
penyembahan dan
tempat yang
menjadi lokus upacara ritus tunu dijalankan bersifat sakral.”[24]
Pada kesempatan lain, bapak Andreas Talo bercerita bahwa: “pada saat pastor
mata makerek tiba di Lasiolat, orang
Lasiolat begitu takut dan merasa segan untuk bertemu apalagi sampai membangun
komunikasi dengan mereka. Air
muka mereka begitu bengis dan ajaran yang
mereka bawakan sangat berbeda dengan ajaran budaya kala itu. Atas pertimbangan
mengenai sejumlah alasan tersebut, maka kehadiran
pastor mata makerek tidak diterima oleh orang-orang Lasiolat.”[25]
Hal ini terjadi karena para misionaris
masih sangat kuat dipengaruhi oleh adagium extra
ecclesiam nulla salus (di luar Gereja tidak ada keselamatan). Gereja membangun sikap
eksklusivisme yang membentengi diri terhadap semua bentuk keyakinan yang berada
di luar dirinya. Satu-satunya
ajaran yang benar hanyalah ajaran agama Kristen Katolik. Oleh karena itu, ritus tunu yang berada di luar Gereja pada akhirnya lebih dilihat
sebagai salah satu bentuk kepercayaan yang keliru dan harus
dihilangkan dari kehidupan masyarakat.
2.2.3 Alasan
dan Tujuan Pelaksanaan Ritus Tunu
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, relasi antara orang
yang masih hidup dengan orang yang sudah meninggal dalam kebudayaan masyarakat
Lasiolat merupakan sebuah relasi yang intim. Namun apabila orang yang masih hidup
berbuat dosa atau melakukan
praktik hidup yang menyimpang dari hadapan roh
leluhur maka roh leluhur akan marah dan bersatu dengan kuasa jahat untuk
mengganggu kehidupan manusia.
Adapun musibah-musibah itu seperti:[26]
bencana alam (musim kemarau berkepanjangan, longsor, banjir); sakit tanpa
penyebab yang pasti (tidak bisa diselesaikan dengan bantuan medis); kematian
pada ternak tanpa sebuah alasan yang jelas; dan kehidupan dalam suku yang
selalu menuai konflik. Bencana-bencana tersebut disebabkan oleh sejumlah dosa,
antara lain[27]:
Ø
La
hamos bei sian rate (tidak membersihkan kuburan nenek
moyang yang sudah meninggal)
Ø
La
sera misa (tidak mempersembahkan intensi misa untuk semua
arwah dalam suku)
Ø
La
sunu Lilin ba sian rate (tidak pernah menyalakan lilin di kuburan)
Ø
La
hare bei sian manfatin (tidak memperhatikan barang-barang
peninggalan orang yang sudah meninggal yang disimpan di rumah adat)
Ø
Terjadinya perkelahian antara anggota
dalam suku.
Kesadaran atas
dosa yang telah dilakukan menggerakkan
masyarakat Lasiolat untuk melakukan ritus tunu.
Sampai pada titik ini, maka dapat dikatakan bahwa ritus tunu sesungguhnya bertujuan memohon
pengampunan atas dosa yang telah dibuat serentak meminta berkat dari para
leluhur untuk menjalankan sebuah kehidupan baru yang lebih layak. Selain itu, ritus
tunu juga bermaksud agar bencana alam
yang berkepanjangan bisa berakhir; mereka yang sakit dapat disembuhkan; ternak
tidak lagi mati; dan berbagai konflik dalam suku tidak lagi terjadi.
2.2.4
Penentuan Tempat, Waktu, Peserta, dan
Korban Persembahan
Ritus tunu hanya bisa dijalankan jika
masyarakat Lasiolat terlebih dahulu mempersiapkan dan menentukan berbagai hal
penting, seperti tempat dan waktu pelaksanaan, peserta yang hadir dan jumlah
korban yang hendak dipersembahkan. Persiapan bahan dan penentuan tempat dan
waktu sangat dibutuhkan untuk memperlancar jalannya ritus tunu. Sebaliknya, tanpa persiapan yang matang maka ritus tunu tidak akan berjalan dengan lancar.
2.2.4.1 Tempat
Dalam menjalankan sebuah acara, upacara dan
ritual-ritual keagamaan tertentu, tempat acara tentu menjadi hal yang sangat
dibutuhkan juga. Hal yang sama terjadi juga dalam ritual agama-agama
tradisional, termasuk di
sini ritus tunu dalam kebudayaan
masyarakat Lasiolat.
Tempat
melaksanakan ritus tunu biasanya berlangsung di bawah pohon,
di bawah batu besar, atau di mata air.
Di sini, hal
yang menarik adalah bahwa
masing-masing suku dalam
Lasiolat memiliki tempat
yang berbeda untuk menjalankan ritus tunu.
Hal ini sesuai dengan tempat di mana suku yang bersangkutan bertemu dengan
objek-objek mistis seperti disebutkan di muka. Bagi
masyarakat Lasiolat, batu besar, pohon besar, mata air yang dijadikan tempat
pelaksanaan ritus tunu adalah tempat
yang sakral dan kudus. Oleh karena itu, tempat-tempat itu harus dihormati dan
dijaga.
2.2.4.2 Waktu
Selain tempat, waktu pelaksanaan juga sangat
menentukan kesuksesan ritus tunu. Waktu untuk melaksanakan ritus tunu biasanya dibuat setelah anggota dalam
suku atau masyarakat luas mengalami
penderitaan hebat akibat bencana yang mengerikan. Kejadian buruk ini diakibatkan
oleh dosa yang dilakukan
masyarakat sehingga
membuat para leluhur marah.
Untuk mengatasi penderitaan dan mendamaikan kembali relasi
antara masyarakat dan roh lelulur, maka ketua suku atau
ketua adat mulai mengumpulkan semua anggota dalam suku atau masyarakat lalu membuat sebuah musyawarah bersama demi menentukan waktu yang tepat agar ritus tunu dapat
segera dilaksanakan.
Dalam penentuan
waktu, ketua suku akan
mendengarkan semua pendapat dari para peserta yang hadir. Ia tidak bisa mengambil keputusan secara pribadi sebab dalam musyawarah ini pun akan dibicarakan hal-hal
penting lainnya teristimewa bahan-bahan yang akan dipersembahkan pada saat ritus tunu berlangsung.
Oleh karena itu, pendapat peserta yang hadir
dalam musyawarah akan
didengarkan, sehingga setiap orang akan diberikan kepercayaan dan waktu untuk
mempersiapkan segala sesuatu
yang dibutuhkan dalam pelaksanaan ritus.
Hal ini dilakukan demi suatu tanggung jawab moral: “biar
sedikit asal ditanggung
bersama.”[28]
Ada pihak yang harus membawa beras, ayam, babi, sirih pinang, dan ada yang harus
menyiapkan hanek matan,[29]
belak mean,[30] tikar,
kain adat dan peralatan-peralatan
dapur. Untuk hewan korban seperti babi biasanya disiapkan oleh keluarga yang
tertimpa musibah. Setelah
diminta pendapat dari semua peserta yang hadir maka ditentukan waktu yang tepat
untuk pelaksanaan
ritus tunu. Umumnya waktu yang
disepakati untuk menjalankan ritus tunu
tidak diulur hingga berbulan-bulan atau bertahun-tahun, paling lama dua minggu
dihitung dari hari musyawarah bersama itu dilaksanakan.
2.2.4.3 Peserta: Pemimpin Ritus dan Anggota yang Terlibat
Untuk
menjalankan ritus tunu dibutuhkan
seorang pemimpin yang dianggap memiliki kemampuan yang baik, dikenal masyarakat, dan berwibawa. Pemimpin
ritus adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan roh leluhur dan juga Wujud
Tertinggi. Umumnya, pemimpin ritus adalah ketua adat, ketua suku, matas uma mane.[31]
Ketiga pemimpin ini
tidak harus hadir
secara bersamaan. Jika ada
yang mewakili maka ritus tersebut sudah bisa dilaksanakan.
Ketua adat adalah
seorang yang berwawasan luas dan
memiliki
status sosial yang
diakui dalam masyarakat (odan dikin au lain). Biasanya pemimpin adat adalah seorang
laki-laki yang sudah berusia lanjut serta memiliki banyak pengalaman. Dalam kehidupan sosial
bermasyarakat, ia berperan sebagai pemimpin sekaligus hakim yang tugasnya
mengadili setiap orang yang melakukan masalah atau konflik sosial.
Salah satu
kebiasaan yang terjadi di Lasiolat adalah bahwa ketika terdapat konflik dalam
masyarakat seperti kasus perebutan
tanah (tan rai),
pencurian
(hana’o), perzinahan (mane sala an no feto sala an) dan sebagainya, maka konflik pertama-tama akan diselesaikan secara adat.
Jika secara adat konflik tak dapat diatasi maka konflik diperbolehkan
dibawa ke meja pengadilan. Di saat inilah ketua adat menjalankan peranannya. Perlu
diketahui bahwa tidak semua ketua suku adalah ketua adat tetapi semua ketua
adat adalah ketua suku.
Selain menjadi
pemimpin dalam urusan adat istiadat, ketua suku juga bisa menjadi pemimpin
dalam urusan ritual keagamaan termasuk ritus tunu. Ketua
suku adalah pemimpin dalam suatu suku tertentu. Seperti ketua adat, ketua suku
adalah seorang laki-laki berusia lanjut yang mempunyai banyak pengalaman tentang suku.
Dalam kehidupan
bermasyarakat tidak semua ketua suku memiliki peranan yang sangat besar. Peran
ketua suku hanya terbatas pada sukunya sendiri. Tugas mereka sebagai ketua suku
adalah menghimpun semua anggota suku agar kehidupan anggota sukunya tidak terpisah-pisah
satu dengan yang lain; mendorong semua anggota suku agar terlibat aktif dalam
kegiatan kesukuan; menyadarkan semua anggota suku agar menghindari hal-hal yang
merendahkan moralitas seperti mencuri, berzinah, merampok, dan membunuh. Selain
itu tugas ketua suku adalah menjadi pemimpin di saat terjadi acara masuk minang
atau upacara perkawinan dan upacara keagamaan seperti ritus tunu.
Apabila ketua
suku dan ketua adat tidak memiliki waktu dan tidak bersedia memimpin upacara
maka status kepemimpinan bisa dipercayakan
kepada matas uma mane.
Dalam hubungan dengan kekerabatan
masyarakat Lasiolat dikenal beberapa jenis hubungan kekerabatan dan salah
satunya adalah hubungan kekerabatan dengan pihak uma mane. Artinya ketika si pendosa hendak melakukan ritus tunu, ia bisa meminta seorang yang
berusia lanjut dari pihak keluarga ibunya untuk menjadi pemimpin upacara.
Merekalah yang disebut uma mane,
pemberi istri (the wife-giver clan).[32]
Artinya mereka adalah pihak yang ‘menyerahkan’ ibu si pendosa untuk masuk ke
dalam suku ayahnya dengan mahar berupa uang dan hewan.
Selain para pemimpin upacara yang akan memimpin ritus tunu, akan ditentukan anggota yang harus hadir dan
terlibat pada saat ritus ini dilaksanakan. Biasanya anggota yang harus hadir saat
tunu adalah mereka yang terdampak bencana dan mengalami
penderitaan. Ketika
dinyatakan oleh para dukun (mata roman) bahwa penderitaannya
merupakan akibat dari kemarahan para roh leluhur maka ritus sudah harus dilangsungkan.
Namun mereka tidak hadir sendirian. Mereka
akan mengundang
semua keluarga inti dan juga anggota keluarga dalam suku. Selain pihak-pihak tersebut, juga
diundang orang-orang sekampung yang terdampak efek buruk akibat kejahatan dan dosa yang telah dibuat. Oleh karena itu, anggota-anggota yang
akan terlibat aktif dalam pelaksanaan ritus itu adalah: si pendosa, anggota
keluarga si pendosa, anggota suku, anggota lingkungan, dan bisa juga semua
masyarakat.
Alasan semua
anggota suku harus dihadirkan adalah sebagai berikut: pertama,
ritus tunu merupakan upacara komunal
bukan personal. Artinya semua orang dalam suku memiliki kewajiban yang sama
untuk terlibat dalam pelaksanaan ritus tunu.
Kedua, berkat. Tujuan dijalankan
ritus tunu adalah memohon turunnya
berkat. Dalam ritus tunu, semua orang
yang mengambil bagian akan memperoleh berkat dari leluhur yang telah meninggal sebagai
kekuatan yang sanggup melindungi kehidupan masyarakat. Selain mendapatkan
berkat, dengan pelaksanaan
ritus
tunu semua orang bisa mengetahui atau
mengantisipasi diri agar tidak jatuh pada kesalahan yang
sama.
2.2.4.4 Binatang Kurban
dan Bahan-bahan Lainnya
Ritus tunu secara harafiah berarti upacara
penyembelihan
atau pembakaran hewan kurban. Binatang yang layak dijadikan kurban menurut kebudayaan Lasiolat
adalah babi dan ayam.[33]
Keduanya merupakan kurban utama
yang selalu digunakan dalam
upacara-upacara keagamaan atau upacara adat di lingkungan masyarakat Lasiolat.
Selain untuk dijadikan lauk saat acara
makan bersama, kedua jenis
binatang ini juga memiliki makna simbolis. Babi dan ayam dianggap masyarakat sebagai
binatang yang paling bersih dari antara semua binatang lain yang terdapat di
Lasiolat. Oleh karena
itu, kehadiran kedua hewan kurban
ini melambangkan ketulusan dan kebersihan hati
masyarakat dalam
menyelenggarakan ritus tunu.
Babi dan ayam yang akan
dijadikan hewan kurban adalah babi berwarna putih dan ayam berwarna merah atau putih. Selain itu, kedua binatang ini harus
memiliki anggota tubuh yang lengkap; memiliki telinga yang utuh (tilun tomak), tidak buta (matan at), memiliki ekor yang puntung (ikun but) dan tidak terdapat bekas luka
di pantat. Apabila terdapat cacat dalam anggota tubuhnya, maka ritus yang telah
dijalankan dianggap sia-sia belaka karena masyarakat yakin bahwa roh leluhur
tidak akan merestuinya. Pernyataan ini dibenarkan oleh komentar Bapak Matius
Mau yang mengungkapkan bahwa: “nenek moyang kita bukanlah seorang yang tilun diu (tuli), matan at (buta), kidun kanek
(pantat luka); mereka memiliki anggota tubuh yang utuh seperti kita. Mereka
adalah manusia yang normal seperti kita dan memiliki anggota tubuh yang
lengkap.”[34]
Selain babi dan ayam yang dibawa
saat ritus tunu,
masyarakat
Lasiolat juga membawa serta bahan-bahan lainnya,
seperti pertama, kain adat (tais adat). Tais adat
merupakan pakaian khas masyarakat Lasiolat. Tais
adat terdiri dari dua ragam
yakni tais feto
untuk yang berjenis kelamin perempuan dan tais
mane untuk yang berjenis kelamin laki-laki.
Tais adat
biasa digunakan saat berlangsungnya upacara-upacara adat atau upacara-upacara
keagamaan di lingkungan masyarakat Lasiolat. Selain digunakan pada momen-momen itu, tais adat juga dikenakan saat seseorang hendak menyampaikan berita
kematian pada sanak saudara, saat
melayat
orang yang sudah meninggal, saat membawakan tarian likurai dan tebe dan saat
acara penerimaan orang-orang terkemuka seperti tokoh pemerintah dan tokoh
agama. Pada saat ritus tunu, tais adat digunakan sebagai kain altar
yang dibentang di atas meja persembahan (foho).
Tais adat yang biasa digunakan pada
acara ritus tunu adalah tais mane.
Kedua, hanek matan.
Dalam
ritus tunu, hanek matan digunakan sebagai wadah untuk menyimpan belak, daging, beras, nasi, sirih pinang, dan uang, yang hendak dipersembahkan
kepada roh leluhur. Dengan kata lain hanek matan
merupakan pengganti piring atau disebut juga dengan piring milik leluhur.
Ketiga, sirih pinang (takan no buah).
Seperti
kain adat, takan no buah juga memiliki multifungsi. Bagi orang
Lasiolat takan no buah secara simbolis merupakan “norma masyarakat”. Pada dasarnya takan no buah dikunyah layaknya jenis makanan
lainnya. Namun ia memiliki makna lebih dari sekadar makanan biasa. Dalam
kebudayaan Lasiolat, sirih pinang memiliki dua fungsi yakni sebagai simbol keakraban
dan penyalur berkat.
Secara simbolis, sirih pinang dimaknai sebagai mediasi
untuk membangun keakraban. Hal ini dapat ditemukan misalnya pada saat orang
Lasiolat menerima tamu entah dari keluarga sendiri (uma laran) atau dari pihak lain yang belum dikenal. Pada awal pertemuan, pertama-tama
tuan rumah akan menyuguhkan sirih pinang sebelum masuk pada tahap makan dan
minum. Apabila tamu bersangkutan berasal dari daerah yang tidak mengenal sirih pinang (suku-suku di luar timor seperti
Flores, Madura, Batak, Papua) mereka tidak diwajibkan untuk makan takan no buah. Mereka cukup menerima dan
membawanya pulang ke rumah masing-masing. Bila hal ini dilakukan,
maka dengan sendirinya orang Lasiolat merasa bahwa budaya mereka dihargai dan
kehadiran mereka sudah diterima.
Sedangkan
sebagai penyalur
berkat, sirih pinang
selalu dipakai ketika seseorang ingin bepergian ke suatu tempat yang jauh entah dengan tujuan menimba ilmu atau
mengais rezeki.
Pada saat pelepasan atau perpisahan, pribadi bersangkutan
akan dikaba (diberkati) dengan
menggunakan sirih
pinang. Sirih pinang
yang dipakai di sini adalah sirih pinang yang sudah
dipersembahkan dalam rumah adat.
Sirih
pinang tersebut dioleskan pada
dahi orang yang akan berpergian dan diyakini bahwa para
leluhur akan melindunginya.
Keempat, beras. Dalam ritus tunu beras juga dijadikan sebagai bahan sesajian untuk dipersembahkan
kepada roh leluhur. Saat dilaksanakan ritus tunu,
beras disimpan dalam hanek matan. Setelah upacara berakhir, beras
akan dibawa pulang. Beras
tersebut bisa dimasak dan dimakan tetapi juga bisa dipakai untuk memberi makan hewan
peliharaan seperti ayam, bebek, dan itik.
Kelima, nasi. Nasi merupakan makanan khas orang
Lasiolat di samping
makanan-makanan tradisional
lainnya seperti: singkong, ubi jalar, dan jagung. Pada saat ritus tunu dijalankan, nasi menjadi makanan
yang dipersembahkan dan mewakili semua makanan pokok lainnya. Setiap hanek matan akan diisi dengan porsi nasi
yang sama.
Keenam, belak
mean. Besi
plat berwarna keemasan ini digunakan sebagai alas yang disimpan dalam hanek matan sebelum diisi beras, sirih pinang, dan daging. Atau dengan kata lain, sebelum sirih pinang,
beras, daging, dan uang disimpan dalam hanek matan,
belak mean harus disimpan
terlebih dahulu. Belak mean itu sendiri secara simbolis melambangkan
keagungan dan kebesaran.[35]
Ketujuh, sepotong bambu. Sepotong
bambu merupakan wadah untuk menampung air yang akan digunakan oleh pemimpin
ritus untuk memberkati
semua orang
yang hadir pada waktu
ritus tunu berlangsung.
Namun bambu hanya digunakan apabila ritus tersebut berlangsung
di mata air. Bambu ini juga
digunakan oleh masyarakat Lasiolat untuk menimba air yang
terdapat di dekat
foho (altar) untuk dibawa pulang ke rumah. Air
yang dibawa kembali ke rumah tersebut bisa dijadikan sebagai obat di saat sakit
dan bisa juga digunakan untuk menyiram tumbuh-tumbuhan, atau benih yang siap
ditanam.
Kedelapan, uang. Uang termasuk salah satu bahan yang perlu
dipersiapkan pada saat
berlangsungnya ritus tunu.
Uang adalah simbol kekayaan
yang pada saat melakukan ritus demikian harus dipersembahkan sepenuhnya kepada
roh leluhur dan Wujud Tertinggi. Pada
zaman dahulu teristimewa sebelum mata uang rupiah digunakan sebagai mata uang
resmi negara Indonesia, masyarakat Lasiolat menggunakan mata uang Belanda atau
Jepang ketika menjalankan ritus tunu.
Namun setelah masyarakat menggunakan
mata uang rupiah,
mata uang penjajah itu perlahan-lahan tidak digunakan lagi. Bahkan hingga hari ini mata
uang penjajah sudah menjadi sangat langka dan tidak ditemukan lagi di bumi
Lasiolat.
Bahan Persembahan |
2.3
Tahap
Pelaksanaan Ritus Tunu
Ritus tunu dapat dikatakan sebagai salah satu
ritus kebudayaan tradisional yang memiliki tahap pelaksanaan yang panjang dan
rumit. Dalam penjelasan ini akan dipaparkan sembilan tahap penting dalam
pelaksanaan ritus tunu. Banyaknya
tahap pelaksanan ritus tunu
melambangkan kesakralan nilai dalam ritus tersebut dan tuntutan untuk
mempersiapkannya secara matang.
2.3.1 Tahap
Mohon Restu Roh Leluhur (Katak Hasara Bei
Sia)
Sebelum menjalankan ritus tunu pada batu besar, mata air dan pohon
besar sesuai dengan kebijakan suku masing-masing, hal pertama yang harus
dilakukan adalah melakukan upacara memohon restu leluhur atau katak hasara bei sia. Acara meminta izin
roh leluhur ini dipimpin langsung oleh ketua suku dan berlangsung di rumah adat
yang diyakini sebagai tempat berkumpulnya roh leluhur.
Upacara ini biasanya dilaksanakan pada malam hari
sebelum acara puncak keesokan harinya. Pemilihan malam hari sebagai waktu yang
tepat dikarenakan adanya kepercayaan dalam masyarakat bahwa bagi para leluhur,
malam hari adalah siang bagi mereka. Pada malam hari semua roh leluhur sedang
beraktivitas, sehingga mereka bisa mendengarkan permohonan dari orang yang
masih hidup.[36]
Tujuan
dari acara ini adalah agar roh leluhur membuka jalan (loke dalan) dan memberikan restu agar ritus yang akan dijalankan
keesokan harinya dapat berjalan dengan baik. Pada kesempatan ini, ketua suku
cukup mempersembahkan satu ekor ayam jantan merah dan beberapa buah sirih dan beberapa pinang sambil
mengucapkan doa singkat:
Eee....Haun bei sia emi iha kakuluk hasan ri timir, emi
rona hola hatene hola te, ne ami hoi loke emin lamak no katak hasara emi awan
loron ami atu ba iha itan suman no mosu, ba hola hikar matak malirin mai lai
ami.[37]
Arti dari doa di atas adalah:
Eeee semua kamu
(roh leluhur) yang tinggal di dalam rumah adat ini, dengarkanlah dan
ketahuilah, kami datang mempersembahkan kepada kamu apa yang menjadi bagian
kamu dengan tujuan lindungilah kami yang besok akan pergi ke tempat kudus kita
untuk memohonkan rahmat pengampunan dan berkat yang baru.
Setelah
melaksanakan acara demikian semua keluarga mulai mempersiapkan segala sesuatu yang
akan dibawa pada keesokan harinya.
2.3.2
Tahap Mohon Restu dari Ina Rai (Tanah,
air, udara)
Setelah melewati
tahap pertama, maka pada
tahap selanjutnya akan
diadakan permohonan restu dari ina rai di
“pintu
utama” tempat
berlangsungnya acara. Permintaan izin akan dibuat lebih kurang beberapa meter dari
tempat utama (foho) dan dipimpin secara langsung oleh sang pemimpin upacara.
Di tempat inilah, pemimpin upacara mulai menyembelih binatang yang telah
disiapkan dan umumnya hewan yang disembelih adalah ayam jantan berwarna merah.
Pemimpin upacara membunuh ayam jantan dengan tangannya sendiri dan dibantu oleh
beberapa laki-laki
dewasa. Lalu ia
akan mengambil darah ayam yang masih segar dan mengoleskannya pada tumpukan batu
ceper yang telah disusun. Setelah itu ketua suku mulai berdoa (tera):
Ama no bei sia, no foho bot rai bot no Nai Luli Waik Nai Manas Waik a… iha leten ba iha as ba ita fo tun
mai,
ita deha tun mai tian, ami hodi ra matak ida ne mai hosi
knokar ne katak hasara foho bot rai bot niabe fo is mai lai, fo beran mai lai, be ami hodi liu matak bot
malirin bot.[38]
Yang berarti:
Bapa, nenek, opa, dan batu, kayu, tanah, air, yang Kudus
dan yang Ilahi, segala sesuatu yang tinggal di atas sana, ke sini dulu kami
datang dengan darah segar ini seraya meminta izin kepada anda sekalian supaya
kalian memberikan berkat kepada kami supaya kami dengan hati yang bebas
berjalan menuju tempat di mana kami akan mempersembahkan kurban yang paling
berharga kepada kamu.
Tujuan
dari tahapan ini adalah agar semua mereka yang
menempati alam, baik yang jahat maupun yang baik memberikan restu supaya ritus tunu
bisa dijalankan sesuai dengan keinginan bersama. Pada saat itu, seluruh peserta
akan menerima jawaban dari permohonan izin secara
langsung melalui penggunaan
bahasa simbolis. Bahasa simbolis tersebut khususnya terlihat pada salah satu usus
dari ayam jantan yang dibunuh. Apabila pada usus ayam terdapat sebuah urat yang
berdiri lurus, hal itu berarti tuan tanah memberikan izin dan ritus boleh
dijalankan. Sebaliknya bila tidak ada tanda demikian, maka permintaan izin
tidak dikabulkan dan semua peserta yang hadir boleh kembali ke rumah
masing-masing.
Selain
itu bila permohonan izin tidak dikabulkan maka semua yang hadir wajib
mematuhinya tanpa mengeluh. Apabila tidak dipatuhi oleh seluruh peserta maka
akan ada musibah
yang berat seperti sakit, gagal panen, kematian pada ternak
bahkan kematian pada manusia sendiri. Namun sejauh ini belum ada pengalaman
yang membuktikan bahwa para tuan tanah tidak memberikan izin.[39]
Pada umumnya permohonan izin selalu dikabulkan. Apabila mereka tidak memberikan
izin maka proses awalnya telah salah dan kesalahan itu harus diperbaiki.
Setelah mendapat izin
dari tuan tanah, semua
orang yang
hadir boleh berarak menuju tempat utama; tempat di mana ritus tunu akan dijalankan.
2.3.3 Tahap
Membersihkan Meja Altar (Hamos Niakan Foho) dan Sekitarnya
Ketika
semua orang yang
terlibat dalam ritus hadir di tempat sakral tersebut,
pemimpin upacara mulai memerintahkan
mereka
untuk membersihkan area di sekitar altar yang akan dipakai untuk mempersembahkan
korban. Orang yang bertugas membersihkan altar korban adalah pemimpin upacara.
Ia tidak membersihkannya dengan tangan atau sapu lidi, melainkan dengan
menggunakan belak mean. Hal ini hendak menunjukkan bahwa altar yang
hendak digunakan
untuk mempersembahkan hewan kurban adalah benar-benar suci.
2.3.4
Tahap Menyembelih Binatang Kurban (Ho’o
Ra Matak Malirin)
Setelah
membersihkan sekeliling meja altar-persembahan, pemimpin upacara mulai menyembelih
babi yang akan dikurbankan. Ia dibantu oleh laki-laki dewasa. Darah segar yang
tumpah pertama akan diambil dan diteteskan pada belak mean dan disimpan di atas foho. Darah
tersebut melambangkan
penyerahan diri secara total kepada kehendak roh leluhur dan Wujud Tertinggi.
2.3.5 Tahap Menyiapkan Piring (Loke
Hanek Matan)
Bahan-bahan
seperti nasi, daging, sirih
pinang dan
uang yang akan
dipersembahkan di atas altar disimpan pada hanek
matan. Jumlah hanek matan
tergantung banyaknya jumlah pribadi yang akan disebutkan saat pembacaan mantra
atau pada saat pemimpin menghaturkan doa. Jumlah hanek matan yang disiapkan sering berjumlah ganjil.
Masyarakat Lasiolat percaya bahwa mereka
harus mempersembahkan ‘yang ganjil’ dengan maksud agar ‘yang genap’ akan
kembali pada mereka.
Lebih dari itu mereka
percaya bahwa kehidupan manusia selalu genap dan tidak pernah
ganjil.[40] Hanek matan yang hendak disiapkan
berjumlah tujuh atau
sembilan dan isi dari setiap hanek matan
berbeda-beda.
Struktur Tata Urutan Hanek Matan
Adapun urutan hanek matan yang digunakan adalah
sebagai berikut:
Pertama,
Nai Luli Waik Nai Manas Waik. Hanek matan pertama ini dipersembahkan
khusus untuk Nai Luli
Waik Nai Manas Waik. Sesuai kepercayaan setempat, roh
leluhur dilihat sebagai perantara yang menghubungkan manusia yang masih hidup
dengan Wujud Tertinggi. Wujud Tertinggi menjadi fokus utama masyarakat Lasiolat
memohonkan pengampunan. Ia adalah Yang Kudus dan Yang Ilahi sehingga semua
kurban, baik berupa daging maupun bahan lainnya harus memiliki kualitas yang
baik.
Kedua,
foho bot rai bot. Hanek matan kedua ini dipersembahkan
khusus untuk foho
bot rai bot (tanah, bumi dan air). Masyarakat
Lasiolat percaya bahwa sebelum Wujud Tertinggi menciptakan manusia, Ia terlebih
dahulu menciptakan tanah, air, dan udara. Manusia hidup dan bertumbuh dari
ketiga unsur ini. Ketiganya disebut ina rai.[41] Untuk itu pada
acara ini, ketiganya berhak mendapatkan bagian. Mereka menempati posisi kedua
setelah Wujud Tertinggi sebagai pencipta alam semesta.
Ketiga,
bei feto bei mane (nenek moyang pertama). Hanek matan
ketiga ini dipersembahkan khusus untuk bei feto bei mane. Setelah
Wujud Tertinggi menciptakan langit dan bumi beserta isinya, pada hari terakhir Ia
menciptakan manusia sebagai
ciptaan yang paling mulia. Manusia pertama yang diciptakan adalah Adam dan
Hawa. Dari manusia pertama ini lahirlah manusia-manusia lain yang memenuhi
seluruh dunia. Nenek moyang orang Lasiolat termasuk di dalamnya.
Masyarakat yang bermata pencaharian sebagai
petani dan peternak percaya bahwa nenek moyang mereka adalah bei feto no bei mane. Ketika ritus tunu berlangsung, bei
feto no bei mane berhak mendapatkan bagiannya. Mereka
ditempatkan pada posisi ketiga. Karena ada dua pribadi maka pada hanek matan
yang ketiga ini disimpan dua buah hanek matan,
satu untuk bei mane dan yang lain
untuk bei feto.
Keempat,
uma manaran (rumah suku). Setelah Wujud
Tertinggi menciptakan manusia pertama, manusia terus beranak cucu hingga menghasilkan
nenek moyang orang Lasiolat. Nenek
moyang orang Lasiolat hidup dalam kelompok-kelompok dan
membentuk rumah mereka secara
mandiri serta membentuk
kebudayaan dan pola hidup sesuai kebutuhan mereka. Masing-masing
kelompok membuat sebuah rumah khusus, tempat semua orang berkumpul. Rumah
itulah yang disebut oleh orang Lasiolat sebagai rumah suku atau uma manaran.
Selain
menjadi simbol perhimpunan bagi orang-orang dari suku yang sama, uma manaran juga dijadikan sebagai tempat penyimpanan
barang-barang peninggalan atau tanda mata (ko’e
no nian manfatin) dari orang
yang sudah meninggal. Selain itu uma manaran
juga digunakan sebagai tempat untuk melangsungkan acara kesukuan atau acara
adat misalnya, musyawarah bersama, urusan adat, urusan belis, dan lain
sebagainya termasuk membaringkan orang yang telah meninggal. Karena uma manaran memiliki fungsi yang cukup penting,
maka ia juga mendapatkan bagian dari hanek
matan.
Kelima, lulik
uma no lulik rai luan.[42]
Lulik uma dan lulik rai
luan mencakup
pertama, lulik uma.
Masing-masing suku yang tersebar di Lasiolat memiliki rumah adatnya sendiri.
Rumah adat ini dibuat dengan tujuan untuk mengumpulkan semua anggota dalam suku
agar tetap bersatu dan menjunjung tinggi nilai persaudaraan. Dengan kata lain uma suku
merupakan simbol persatuan. Biasanya pada rumah adat ini disimpan barang-barang
antik kesukuan.
Selain
itu disimpan pula barang-barang peninggalan roh leluhur berupa pedang, anting,
cincin, salah satu ruas gigi, rambut, kuku jari atau tangan. Semuanya disimpan
dalam satu wadah bernama ko’e dan
digantung pada tiang utama dari rumah adat. Barang-barang itu sangat dihormati
dan dijunjung tinggi. Kedua, lulik rai
luan.
Selain memiliki lulik uma,
setiap suku dalam wilayah Lasiolat juga memiliki lulik rai luan yang berarti barang-barang kudus
yang terdapat di luar rumah suku. Barang-barang sakral tersebut, termasuk di sini
mata air, pohon besar dan
batu
besar yang dijadikan sebagai
tempat
untuk melaksanakan ritus tunu. Dalam
ritus tunu, kedua lulik di atas patut mendapat perhatian agar
mereka tetap mendapat tempat
dalam hati dan kehidupan masyarakat Lasiolat.
Keenam,
srin krau (kandang ternak). Hampir semua masyarakat Lasiolat memiliki binatang
peliharaan seperti babi, kuda, sapi, ayam, bebek, dan lain sebagainya. Dalam keseharian
hidup, binatang-binatang peliharaan ini tidak dilepaskan berkeliaran begitu
saja dan tanpa arah tetapi selalu dikandangkan (krau laluan). Kandang binatang peliharaan inilah yang disebut
dengan srin. Selama ritus ini berlangsung, srin juga
mendapatkan perhatian.
Perhatian pada srin dimaksudkan agar ia
tetap menjadi pelindung bagi semua hewan peliharaan dari berbagai serangan roh
jahat dan menjadi tempat
beristirahat yang aman.
Ketujuh,
bilan baku (hasil ladang). Selain
hidup sebagai peternak, masyarakat Lasiolat juga hidup sebagai peladang.
Beternak dan berladang merupakan mata pencaharian mereka setiap hari. Pada umumnya
mereka berladang di lahan kering dan bukan di lahan basah. Dalam ritus tunu, segala jenis ladang juga turut disebut dan didoakan agar memperoleh
perlindungan. Persembahan
ini disebut
sebagai bilan baku.
Acara ini dibuat agar ladang mereka
tetap
subur dan selalu menghasilkan
panenan yang berlimpah sesuai harapan mereka.
Selain kesembilan hanek matan
di atas, ada sebuah hanek
matan
lain yang dipersembahkan khusus untuk setan atau roh-roh jahat (diabu). Hanek matan
ini tidak dihitung bersama
jumlah bilangan hanek matan yang lain
dan umumnya disimpan terpisah. Isi dari hanek matan
ini dipersembahkan khusus untuk setan (diabu)
dengan tujuan agar roh-roh jahat tidak lagi menjadi parasit yang mengganggu
kehidupan mereka.
Adapun
isi dari hanek matan
untuk diabu adalah sisa-sisa kotoran
hewan yang dikorbankan seperti usus,
tali
perut, kaki, telinga, dan ekor
binatang.
Mereka juga mengisinya dengan nasi basi, sirih pinang yang sudah tampak kusut
dan uang yang sudah robek dan atau tidak dipakai lagi. Praktisnya diabu merupakan sisa-sisa bahan yang tidak lagi dipakai dan dibutuhkan
dalam ritus tunu.
2.3.6 Tahap Daku Fos Hodi
Dale
(Berdoa)
Selain mempersembahkan korban
bakaran, masyarakat
Lasiolat melalui ritus tunu juga mempersembahkan
syukur sebagai ungkapan hati atas penyelenggaraan dan kasih dari Wujud
Tertinggi. Wujud syukur ini disampaikan oleh ketua suku atau pemimpin ritus.
Pada saat pemimpin ritus mengucapkan syukur dan berdoa, ia mengambil beras sebanyak gumpalan tangan
dan menyiramnya ke atas sebanyak tujuh kali. Aktivitas ini disebut sebagai tetar.
Doa yang dibawakan pada
upacara tersebut adalah
sebagai berikut:
Ida o…rua, rua o… tolu, tolu o…hat, hat o…lima, lima o… nen, nen o… hitu, hitu o… hitu leten ba o.. hitu as ba
Nai Luli Waik Nai Manas Waik Neè
fitun fohon ba, nee fulan fohon ba nee kbetak hitu ba, nee ktan hitu ba lolo
liman la toò, bii ain la dai. Ba loron ida neeè, ba oras ida neè e no teki-tekis, no tu-tur, ami mai buka ita
mak hatun itan kneter dato, itan ktaek datoba ama sia, ba bei siaba bei tata
sia, bei ubu sia ba ama Leowes, ba bei Leowes mak tutur dato nola, naksaen dato
nola mamfatin kmurak, lia fua kmurak. Hoi ho o oan, ho o beine ami mai buka,
ami mai kewamatak inan, malirin inan nee Baiboke, nee We Knuk nodi kuru dato
nola, niìt dato nolanodi nisk an, nodi baku an nodi simu matak, nodi simu
malirin nodi wai mata-matak duùk, maliri - lirin duùk nodi nalo toòs, nodi koÃ
tua nodi kari manu, nodi nahan fahi nalo toòs isin, nalo tua wen nodi nein
fetsawa, nein uma mane. Ama no be sia nee kukun ba, nee kalan ba bei ubu sia, bei tata sia ami
ibun la toò arumak, lian la toò arumak e iha o kan uma metan dato, ri mean dato
mesa klor tià n, mesa bonu fuan tià n temi la toò, seti la toò keta halo teki,
keta halo fani. Tan o oan, tan o bein ne mai buka, no kewa nalo kneter dato,
nalo ktaek dato nodi natetu, nodi nanesan halo ba luli waik nian, ba manas waik
nian tuir agama nian, Nai Yesus nian. E
ami ibun la toò aruma, ami lia la toò aruma ami hanini ba nee ona, harohan ba
nee na keta halo teki, keta halo fani. Ibu mak neè - lia mak ne.[43]
Yang berarti:
Satu o… dua, dua o… tiga, tiga o…
empat, empat o… lima, lima o… enam, enam
o… tujuh, tujuh o… tujuh di atas, tujuh yang tertinggi. Yang Maha Kudus, Yang
Maha Kuasa di atas bintang-bintang, di atas rembulan, di kamar ke tujuh, di langit ke tujuh, tak tersentuh dengan
tangan terulur dan kaki dijinjit di hari ini, di saat ini, tiba-tiba, tak
terencana, kami datang mencarimu. Engkau yang menurunkan hukum mulia adat istiadat luhur kepada para
leluhur kami, leluhur tertua, nenek moyang kami leluhur Leowes. Mereka telah menerima dan menjaga Sabdamu yang mulia,
kata-kata luhur. Dengan anak dan cucumu kami datang untuk mencari dan mengais, rahmat
yang besar, berkat yang agung, di sini di Baiboke, di Weknuk untuk menimba dan mengambil dengan meriah untuk mereciki, untuk memberkati,
agar dapat menerima berkat dan rahmat biarkan dia tetap berkembang tetap
dipenuhi berkat untuk mengerjakan kebun, untuk mengiris tuak, untuk memelihara
ayam, untuk menjaga babi, agar kebun berbuah, tuak berair, untuk menanti
Fetosawa dan Uma mane.
Hai leluhur kami, di dunia yang kejauhan dan kedalaman
malam. Kamu leluhur yang tertua, seandainya kata dari mulut dan bahasa kami
tidak mencukupi kami yang mendiami istana agung bertiang emas, kami mirip
anjing tua, laksana pohon berusia, kami tidak dapat berdoa, tidak bisa memohon
lagi. Jangan biarkan cicak berbunyi, jangan biarkan kami
bersin. Karena anak dan cucumu datang hendak mencari dan mengais,
agar hukum dan peraturan kamu, mereka hormati dan muliakan, untuk dikuduskan dan diilahikan, disesuaikan dengan agama dari Tuhan Yesus.
Meskipun kata dari mulut dan bahasa kami tidak mencukupi kami mohon pamit, kami
hendak mengakhirinya. Jangan biarkan cicak berbunyi, jangan biarkan kami
bersin.
Inilah kata-kata dan permohonan kami.
2.3.7
Tahap Makan Bersama (Ha Hamutu)
Setelah
semua sesajian dipersembahkan di atas meja altar, para hadirin mengambil sikap
diam beberapa menit. Tidak ada satu orang pun yang boleh berbisik apalagi
berbicara. Pada momen seperti ini roh leluhur dan Nai Luli Waik Nai Manas Waik diyakini
hadir dan menyantap kurban persembahan. Selanjutnya, semua peserta yang hadir
boleh mengambil bagian dalam acara makan bersama.
2.3.8
Tahap Membersihkan Segala Kotoran
Setelah makan bersama, semua orang yang
hadir diminta untuk membersihkan sisa-sisa kotoran yang terdapat di sekitar foho dan menyimpan kembali segala
perlengkapan yang ada
pada tempat semula. Apabila foho
belum dipagari maka laki-laki dewasa diminta untuk membuat pagar mengelilingi foho itu. Tujuan pembuatan pagar adalah supaya
foho tidak diganggu oleh binatang
peliharaan yang lewat atau orang yang memiliki niat jahat. Tugas pemimpin
upacara pada tahap ini adalah mengumpulkan semua makanan yang ada di hanek matan dan menyimpannya pada sebuah
wadah. Ia akan mengambil sirih
pinang yang sebelumnya disimpan pada hanek
matan ketiga (hanek matan uma)
dan mengunyahnya. Air dari sirih
pinang itu akan digunakan pada saat pemberkatan (kaba).
2.3.9 Kaba
No Hisik (Pemberkatan)
Kaba
no hisik merupakan puncak ritus tunu.
Semua orang yang
hadir akan membentuk barisan dan menghadap ketua suku atau pemimpin upacara.
Orang pertama dalam barisan adalah dia yang disebut sebagai inisiator utama
jalannya ritus tunu atau dengan kata
lain dia yang sedang menghadapi masalah dan datang memohon berkat dari Nai Luli Waik Nai Manas Waik lewat roh
leluhur. Ketua suku akan mengeluarkan air sirih pinang yang sudah dikunyah dari
dalam mulutnya dengan menggunakan tangan dan mengolesnya pada dahi dari setiap
orang lalu meniup ubun-ubun orang bersangkutan.
2.4
Kesimpulan
Secara historis ritus tunu
lahir dari pengalaman-pengalaman
mistis yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap objek-objek yang dianggap
kudus. Objek-objek tersebut dianggap kudus karena kehadirannya tidak pernah
diduga sebelumnya dan memiliki kekuatan melampaui manusia.
Sebagai bentuk
penghormatan terhadap
objek-objek sakral tersebut, dibuatnyalah upacara-upacara
keagamaan tertentu. Kebiasaan penghormatan itu lalu diwariskan secara
turun temurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Masyarakat Lasiolat yakin dan percaya bahwa
ketika orang
yang mengalami pengalaman mistis itu meninggal
dunia, jiwanya akan bersatu dengan objek yang ia temui dan hidup bersama objek sakral tersebut
di suatu dunia yang lain yang
bersifat kekal.
Objek-objek
tersebut
diyakini masyarakat Lasiolat sebagai jelmaan para leluhur dan nenek moyang
mereka yang telah meninggal dunia. Oleh karena itu,
keberadaan roh nenek moyang sangat diakui
oleh semua masyarakat Lasiolat.
Roh nenek moyang bahkan dianggap masih hidup tetapi dalam suatu dunia lain yang melampui
dunia manusia.
Penghormatan terhadap objek-objek sakral tersebut, karena itu, dianggap sebagai
salah satu bentuk penghormatan terhadap para leluhur dan nenek moyang
mereka juga.
Dalam
perkembangan selanjutnya, masyarakat Lasiolat menjadi sadar bahwa segala
sesuatu yang dilakukan selama pengembaraan di dunia tidak pernah terlepas dari pantauan para leluhur mereka.
Kepercayaan semacam ini lalu melahirkan keyakinan bahwa segala macam kesulitan
dan tantangan dalam hidup tidak terlepas dari campur tangan para leluhur. Demi
menjaga agar hidup mereka tidak jatuh dalam kesulitan yang makin hari makin
berat, masyarakat Lasiolat lalu membuat ritus tunu.
Ritus
tunu biasanya diadakan di bawah pohon
besar, batu besar atau di mata air tertentu sesuai dengan tempat di mana foho didirikan oleh nenek moyangnya. Demi
terlaksananya ritus ini berbagai hal perlu disiapkan. Waktu, tempat, para
peserta yang harus hadir, binatang kurban dan berbagai perlengkapan lainnya
harus disiapkan sebaik mungkin sesuai dengan persyaratan yang telah ditetapkan
dan kesepakatan yang dibuat secara bersama-sama. Satu hal yang menarik dari
ritus tunu adalah bahwa persembahan
korban yang mereka lakukan tidak hanya ditujukan kepada para leluhur tetapi
juga kepada Wujud Tertinggi yang mereka sapa sebagai Nai luli waik Nai manas Waik. Hal ini dapat dilihat dari hanek matan pertama yang mereka persembahkan. Selain itu dapat
dilihat juga pada rumusan doa yang dibawakan saat mempersembahkan kurban
bakaran.
[1] Badan Pusat Statistik
Kabupaten Belu, Kecamatan Lasiolat dalam
Angka (Kantor Camat Lasiolat: 2017), hlm. 1.
[6] Secara harafiah Nai Luli Waik Nai Manas Waik berarti Dia
yang bercahaya, terbesar dan yang tertinggi. Bapak Fransiskus Ipe, Kepala Suku Datoklaran
Lasiolat, wawancara per telepon seluler, 20 September 2019.
[9] Herman Yoseph Seran, Ema Tetun: Kelangsungan dan Perubahan dalam
Kebudayaan dan Kehidupan Sosial Suatu Masyarakat Tradisional di Pedalaman Pulau
Timor, Indonesia Bagian Timur (Kupang: Gita Kasih, 2010), hlm. 201.
[13] Alex Jebadu,
“Penghormatan Kepada Leluhur dan Kemungkinan Pengintegrasiannya ke dalam Iman
dan Bakti Kristen”, Jurnal Ledalero,
6:1 (Ledalero, Juni 2017), hlm. 126.
[14]
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Edisi keempat. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2008), hlm. 751.
[15] Bahasa yang digunakan
oleh orang-orang Lasiolat dalam kehidupan mereka setiap hari (bahasa ibu).
Selain digunakan dalam keseharian hidup, bahasa Tetun juga digunakan sebagai pengantar dalam urusan-urusan
adat dan ritual-ritual keagamaan.
[16] H.J. Seran, “Hakserak:
The Rites of Sacrificial Offerings among the Belunese on Timor”, Jurnal CNWS Publications, 42:2
(Cambridge, February 1996), hlm. 246.
[17] Puplius Meinrad Buru
Berek (ed.), Mengenang 125 Tahun Ziarah
Gereja Katolik Paroki Lahurus (Kupang: Penerbit Gita Kasih, 2012), hlm. 3.
[18] Hasil wawancara
dengan Yonatas Besin, Ketua Suku Mahakbas Lasiolat, pada 22 Juni 2019 di
Lasiolat.
[20] Bapak Yohanes Besi,
Kepala Suku Leoklaran Lasiolat, wawancara per telepon seluler, 13 November
2019.
[21] Bapak Fransiskus Ipe, Kepala
Suku Datoklaran Lasiolat, wawancara per telepon seluler, 14 November 2019.
[23] Kata bahasa Tetun yang
disematkan kepada imam-imam Katolik yang berasal dari Eropa yang berperawakan
tinggi dan berwarna kulit cerah. Hasil wawancara dengan Markus Mau Halek, Tokoh
Adat Lasiolat, pada 22 Juli 2019 di Lasiolat.
[27] Hasil wawancara
dengan Blasius Siri, Ketua Suku Datoalin, pada 11 Juli 2019 di Lasiolat.
[29] Hanek matan merupakan sebuah piring berbentuk kerucut yang dianyam
dari daun lontar dan digunakan sebagai alat penutup sesajian atau jamuan
khusus bagi tamu.
[30] Belak mean berasal dari
bahasa Tetun yang berarti besi plat berwarna keemasan. Selain digunakan pada
saat mempersembahkan korban bakaran kepada roh leluhur dapat digunakan juga
dalam acara-acara adat lainnya seperti acara tunangan, upacara pernikahan, atau
digunakan saat membawakan likurai dan tebe.
[31] Dalam hubungan
ikataan kekerabatan, Uma Mane adalah
pihak pemberi istri. Herman Yoseph Seran, op.
cit., hlm. 90.
[34] Hasil wawancara dengan
Matius Mau, Ketua Suku Lontolus Maneikun, pada 7 Juli 2019, di Lasiolat.
[36] Hasil wawancara dengan
Romanus Yosep Atok, Anggota Suku Mamulak Bei Kores Bei Bau, pada 20 Juli 2019,
di Lasiolat.
[39] Bapak Yohanes Besi,
Kepala Suku Leoklaran Lasiolat, wawancara per telepon Seluler, 13 November
2019.
[41] Ina rai merupakan ibu
bumi yang menerima kuasa Tuhan dan menumbuhbesarkan manusia. Ia yang menyuburkan
tumbuhan bagi manusia, menyediakan air bersih untuk digunakan sebagai pemuas
dahaga manusia dan menyediakan udara segar untuk proses pernapasan manusia.
[42] Bahan-bahan yang
disakralkan seperti pedang, tombak, tanduk rusa, tanduk kerbau, kaki ayam,
tempat sirih pinang dari orang yang sudah meninggal, batu besar, mata air,
pohon besar, dan lain sebagainya.
Post a Comment for "Makna Teologis di Balik Ritus Tunu (Bagian 1)"
Komentar