Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Musyawarah Besar Rakyat Lembata (Relevansi, Pesan, Semangat, Kepekaan dan Kearifan#Bagian 1)




Oleh Pius Kulu Beyeng



Saya memandang map snelhecter lusuh di atas meja di depan saya. Baik map maupun isinya sudah mencapai usia pancawindu. Entah sudah kali yang ke berapa map itu saya keluarkan dari laci meja kerja. Hampir setiap bulan April setiap tahunnya map itu saya keluarkan. Saya berniat menurunkan sebuah tulisan yang sarat dengan pesan-pesan kearifan dari para pini sepuh. Namun, setiap kali ada niatan menulis, setiap kali pula saya mengurungkan niat saya. Di samping faktor-faktor lain, ada hambatan psychologis juga bagi saya. Menuliskan sesuatu dimana penulisnya sendiri berperan aktif sebagai pelaku, mempunyai konsekwensi tersendiri, misalnya soal subjektivitas sehingga dapat mengurangi objektivitas dari sebuah penuturan sejarah.
Kali ini map itu, saya keluarkan lagi. Tepat pada usianya yang ke-40. Antara keinginan dan keengganan. Namun tanpa diduga, seorang teman, mengirim pengirim pesan kepada saya. Pada tahun yang lalu, malah menelepon saya. Ia seorang jurnalis, pemimpin redaksi majalah dan tabloid, dan terakhir memfokuskan diri pada penulisan buku-buku sejarah antropologi dan budaya. Ada bukunya terpampang di perpustakaan Universitas Leiden Belanda. Untuk kesekian kalinya, dia meminta saya walau kedengarannya halus tapi isinya cukup keras. “Kalau pak Pius tidak menulis, pak Pius sebagai seorang pelaku dalam momentum Mubesrata, bisa menghilangkan sebuah peristiwa penting dalam babakan sejarah panjang perjuangan Otonomi Lembata sejak 7 Maret ’54 hingga anti klimaksnya Lembata mencapai daerah otonom pada tahun 1999.” Memang benar kata teman itu. Walau saya bukanlah penanggungjawab atau penyelenggara Mubesrata. Saya berperaan aktif sebagai ketua Stering Komite yang bertugas menyiapkan semua materi yang akan dibahas dalam penyelenggaraan Mubesrata, sejak persiapan hingga dengan persidangan dalam musyawarah besar itu.

Dan saya menuliskannya di sini, sebagai sebuah titipan pesan kepada para penyelenggara pemerintahan di Lembata dengan segenap aparatur pemerintahannya serta juga para generasi muda Lembata, yang mengecapi hasil perjuangan para founding fathers Lembata, baik yang bernama ataupun tidak, agar memiliki kepekaan dan kecintaan kepada tumpah darah Lepan Batan. Menghadapi semua persoalan apapun yang ada di Lembata dengan semangat kebersamaan yang berkearifan. Sebaliknya, saya juga mohon maaaf atas hal-hal yang kurang, yang mungkin terdapat dalam tulisan ini.

Peristiwa besar bersejarah itu hampir tertelan sejarah dan terlupakan. Tiga hari penuh dari tanggal 26-28 April 1977, ibukota desa dan kecamatan di Lembata nyaris vacum pimpinan. Para pimpinan itu semua, baik kepala desa, Ketua 1 LKMD, para camat, Bupati dan ketua DPRD Kabupaten Flores Timur, Gubernur dan ketua DPRD Provinsi Nusa Tenggara Timur, sedang berada di Lewoleba, ibukota Pembantu Bupati Flores Timur Wilayah Lembata, guna menghadiri acara Musyawarah Besar Rakyat Lembata. Semua pemuka pemerintahan itu berkumpul di Lembata. Bagi yang berusia di bawah enam puluh tahun mungkin tidak mengikuti keadaan di Lembata sekitar akhir enam puluhan hingga paruh pertama tahun tujuh puluhan. Ketika itu ada dua situasi yang nyaris tidak bersinggungan tapi dapat saling dimanfaatkan. Dua situasi itu adalah kondisi lingkungan hidup dan sosial politik. Era akhir 60-an sampai dengan paru ke dua tahun70-an, Lembata menghadapi suatu masalah lingkungan yang serius yakni kebakaran hutan hampir di seluruh wilayah Lembata mulai dari Tanjung Leur hingga Tanjung Suba.



Tanjung Baja dilihat dari Arah Sekitar Balauring


Sejak mulai bulan Juli hingga Oktober sepanjang waktu itu hampir sebagian wajah kawasan Lembata nampak bagaikan bentangan kain hitam. Padang rumput dan ilalang mengalami kebakaran, oleh karena perilaku baik disengaja maupun tidak. Si jago merah dan asap hitam mengepul dimana-mana baik siang maupun malam hari, merupakan pemandangan yang biasa. Lawan-lawan politik Lembata menertawakan dan mengejek Lembata dan mengakronimkan Lembata sebagai Lembakar. Status pemerintahannya yang berada di bawah Kabupaten Flores Timur, aparat kehutanan yang sangat terbatas, prasarana dan sarana yang buruk, fasilitas yang minim, seakan ikut mendukung masalah lingkungan yang terjadi. Para pelaku yang ditangkap dan dijebloskan ke dalam tahanan tapi tidak menciutkan nyali mereka untuk menghentikan perilaku membakar hutan yang buruk itu. Perilaku buruk itu sebagian karena ketidaksengajaan sewaktu membakar kebun atau membuang puntung rokok, tetapi sebagian terbesar disebabkan oleh kesengajaan karena ingin membuka lahan baru untuk berladang atau sekadar ingin mendapatkan rumpun muda untuk berburu di samping sekadar perbuatan iseng.
Bukan itu saja. Ada masalah lingkungan lain yang juga serius adalah perilaku penebangan kayu secara liar, penebangan dan pembukaan hutan secara liar dalam rangka perladangan yang berpindah-pindah (nomaden), serta pengrusakkan kawasan hutan di seputar kawasan mata air dalam rangka pembukaan kebun, yang mengancam keberlangsungan mata-mata air untuk masa depan. Sementara di era yang sama, situasi sosial-politik di Lembata, sedang berbenah yang memanfaatkan kesemrawutan situasi sosial-politik pemerintahan nasional pascaperistiwa G30S. Bermula dari penghapusan wilayah Mantri Kabupaten Lomblen (MKn) dan pembentukan dua Kecamatan di Lembata pada tahun 1961, menjadi tiga kecamatan pada tahun 1963 dan enam kecamatan pada tahun1967. Kemudian dilanjutkan dengan koordinator Persiapan Kabupaten Lembata, pembentukan koordinatorshap Lembata, dihidupkannya kembali peringatan hari “7 Maret” pada setiap tahun pada masa Koordinator Lembata Bapak Drs Bonefasius Lega Boli Tobi dan Soemarmo SH, hingga pembentukan pembantu bupati Flores Timur untuk wilayah Lembata, yakni penyesuaian kembali semua lembaga pemerintahan di daerah sesuai dengan peraturan perundangan yang baru yakni Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan di Daerah.

Itulah sekadar gambaran situasi dan kondisi lingkungan hidup serta sosial-politik dan kemasyarakatan Lembata dalam bentangan waktu seperti disebutkan di atas.
salah satu Urgensi dan intisari Musyawarah Besar Rakyat Lembata adalah menyelamatkan ekosistem dan lingkungan hidup Lembata dari kehancuran dan bencana lingkungan di masa depan. Namun, perlu diketahui bahwa Mubesrata 1977, isu Lingkungan Hidup adalah teknik dan strategi pengalihan isu politik, ketika masyarakat dilanda kegalauan.


Masalah-masalah lingkungan hidup tersebut adalah pembakaran hutan, penebangan liar, perladangan liar dan penyelamatan sumber mata air dari pengrusakan. Itulah tema besar Mubesrata yang menghadirkan seluruh tokoh pemerintahan dan lembaga-lembaga Desa dan Kecamatan serta segenap aparatur pemerintahan tingkat pembantu Bupati Lembata, yang dihadiri dan didukung pula baik oleh pemerintah Kabupaten maupun Provinsi, dimana hadir juga bupati dan gubernur serta ketua DPRD Kabupaten dan Provinsi. Dalam hal ini, harus diacungi jempol bahwa Lembata yang kecil dan tidak berarti, secara visioner lebih dahulu melihat urgensi penyelamatan lingkungan dari pemerintah tingkat atasnya baik regional maupun pusat dalam memandang dan membahas masalah-masalah lingkungan hidup. Bersambung*....

Post a Comment for "Musyawarah Besar Rakyat Lembata (Relevansi, Pesan, Semangat, Kepekaan dan Kearifan#Bagian 1)"