Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

NENEK MOYANG KAMI BUAYA#Cerpen Rian Odel



          

“Buaya itu Nenek Moyang; kami sebut bapa iu.” Kata salah seorang molan ketika diwawancarai polisi Apol setelah kejadian itu. Musibah yang terjadi pada tanggal 28 januari 2020 di Pantai Natu merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup para nelayan atau bagi mereka yang bermatapencaharian ganda baik nelayan maupun petani. Apalagi jika seorang petani yang sebagian cita-citanya ingin menangkap ikan tapi tak profesional. Orang-orang seperti itu biasanya mencari ikan hanya untuk refresing dari kepenatan hidup maupun kacau-balau yang terjadi saban hari dalam rumah tangga mereka. Solusinya yaitu, rumah tangga harus memiliki kekuatan cinta yang kokoh sebelum sang suami bertualang di laut. Ya, laut yang indah tapi menyediakan maut yang pasti.

***

Apakah peristiwa ini akibat dari ulah sebagian nelayan yang mencari ikan dengan jalan meledakkan bom di dasar laut atau ada kesalahan lain yang datang dari rasa benci orang-orang tertentu terhadap sang korban? Sebab ada satu kepercayaan setempat bahwa buaya atau sang nenek yang biadap itu tidak makan anak manusia atas inisiatif sendiri layaknya binatang buas lainnya melainkan diperintahkan melalui ritual adat oleh mulut manusia durhaka. Bisa saja manusia itu adik kandung korban atau tetangga terdekatnya bahkan pasangan hidup yang dicintainya. Ya, adat bisa membuat manusia beradab tapi juga bisa menjadi jalan bagi manusia biadap untuk menghilangkan nyawa sesamanya. Paling banyak kecemburuan sosial adalah motivasi kejahatan misterius seperti ini. Kadangkala dipicu oleh masalah sepele, misalnya bertengkar karena taman bunga di halaman belakang rumah. Semua latar belakang kejahatan seperti ini telah saya ketahui sejak masih hidup di kampung. Menurut kakek, manusia bisa menjadi baik sesuai kodratnya sebagai imago Dei tapi kadang-kadang berubah menjadi penjahat secepat kilat seperti angin menghantam menara gereja secara mendadak. Kadangkala kita tak tahu darimana asal kejahatan itu, layaknya peristiwa Yudas mencium Yesus. Saya menduga musibah yang menimpah Baran di pantai Natu tak pernah bebas dari latar belakang seperti yang saya ketahui sejak kecil di kampung halaman sebab menurut kakek, buaya biadap itu nenek moyang yang mengasihi anak-anaknya. Ia tidak sembarangan memangsa manusia. Ya, ada cerita bahwa kami memiliki hubungan darah dengan buaya biadap yang telah memangsa Baran. Konon, katanya ada dua bersaudara yaitu  Nuhan Loyo melahirkan keturunan yang berubah wujud menjadi buaya dan menetap di laut sedangkan Lia Loyo menjadi cikal bakal manusia penghuni kampung-kampung yang mengelilingi gunung Uyelewun, termasuk Baran. Apakah alasan-alasan yang saya duga tersebut benar atau karena Baran tidak memberinya sirih pinang? Sebab warna merah sirih pinang dapat mendinginkan amarah ganas buaya misterius itu tatkala dilakukan pada ritual-ritual adat memberi makan leluhur. Sirih pinang menjadi simbol rasa hormat terhadap para Leluhur. Karena itu, jika Baran berbuat salah, ia harus melakukan ritual pertobatan agar leluhur tak marah lewat taring buaya. Mungkin Baran mempunyai dosa berat sehingga nyawanya menjadi taruhan. Entahlah.

***

Bulan januari sampai Mei terkenal oleh orang-orang di kampung saya adalah bulan penuh rahmat bagi para pecinta laut dan segala isinya. Pada bulan-bulan ini, laut menjadi sangat akrab dan secara sangat gratis memberi isinya kepada para nelayan baik yang profesional maupun yang tertatih-tatih memancing ikan di malam hari. Dengan demikian, hampir saban malam, orang-orang di kampung saya berlomba-lomba ke pantai Natu yang secara harafiah berarti kirim. Leluhur mengirim banyak rezeki bagi mereka yang setia memancing ikan di pantai itu sehingga tak heran ada yang barusan sejam memancing, bisa membawa pulang puluhan ikan segar berukuran besar. Salah satu orang yang rajin memancing pada bulan Januari ini yaitu Baran yang baik dan rendah hati itu. Namun sial, kali ini Leluhur mengirim mala petaka. Buaya adalah mala petaka itu. Buaya biadap!

Pepohonan Natu yang berjejer di sepanjang pesisir pantai itu tiba-tiba dipenuhi burung gagak; menari-nari dan bernyanyi sebab mereka telah memenangi pertandingan itu. Burung-burung pemakan bangkai itu terbang dari gunung. Katanya dipelihara oleh seseorang yang tak bisa diketahui identitasnya secara pasti. Dia tinggal di tengah hutan dengan sebuah pondok sebagai rumahnya. Jenggotnya panjang dan giginya tak pernah sikat. Menurut cerita yang beredar, beberapa bulan sebelumnya, ia pernah ditegur oleh Baran lantaran ia dengan tahu dan mau kencing di dapur milik Baran. Yang pasti, ia biasa disapa Kopong.

                                                            *****

Baran yang saban hari menjabat sebagai kepala rumah tangga sekaligus kepala Desa memiliki beberapa pekerjaan sampingan. Selain sebagai pejabat Desa dan petani profesional, ia juga memiliki minat di bidang pekerjaan para nelayan. Sayur-sayuran dan buah-buahan yang ia tanam di kebun miliknya menjadi bukti bahwa Baran adalah lulusan sekolah tinggi pada bagian pertanian. Walaupun demikian, ia juga pandai mengolah otak dan tangannya menjadi seorang peternak babi, sebab di kampungnya, harga babi semakin melonjak tinggi dan lumayan untuk menambah pendapatan keluarga. Pada bulan Desember 2019, Baran berhasil menjual lima ekor babi dengan harga Lima Juta untuk masing-masingnya. Dari keuntungan itu, ia membeli lagi beberapa ekor babi dari Dinas Peternakan Kabupaten Lembata. Kini, ia dan tiga orang anak serta satu orang istrinya menekuni pekerjaan menjadi peternak babi selain pekerjaan utamanya sebagai kepala Desa. Mereka memelihara empat belas ekor babi hingga sekarang.

***

Pada suatu malam, sebelum kejadian itu, Baran bermimpi bahwa ada seorang wanita cantik yang tubuhnya lima kali lipat lebih seksi jika dibandingkan dengan istri yang nyenyak di sampingnya. Wanita itu berambut air dan panjang sampai di bagian bawah pantatnya. Wanita itu memanggil-manggil Baran agar segera bangun dan beranjak ke pantai Natu sebab di sana wanita itu sedang telanjang dada menantinya. Selain itu, di sekitar tubuh wanita itu, ada banyak wanita cantik lainnya. Mungkin mereka itu adalah para hamba milik perempuan tercantik itu. Baran pun secara spontan mengikuti panggilan wanita itu. Dia secara diam-diam pergi ke Pantai Natu dengan tujuan menjumpai wanita cantik itu. Tujuannya jelas, menyetubuhinya. Maka terjadilah demikian. Pada pertengahan aktivitas tak halal itu, tiba-tiba saja, wanita cantik itu berubah wujud menjadi seekor buaya jantan bertaring tajam, bermata merah ganas penuh nafsu dan haus darah. Riwayat Baran selesai! “Ah, ini hanya mimpi.” Kata Baran kepada istrinya. Istrinya yang prihatin terhadap mimpi buruk suaminya – walaupun seringkali keduanya saling bertengkar sampai baku ancam nyawa – meminta Baran untuk menceritakan mimpi aneh ini kepada tetua yang ahli menafsir mimpi. Keesokannya, keduanya menceritakan kejadian fiksi itu kepada Kopong. Kopong adalah seorang penafsir mimpi tapi harus dibayar dengan uang atau tubuh wanita. Mereka pun menceritakan kejadian dalam mimpi kepadanya. Kopong meminta imbalan uang satu juta rupiah. Mereka pun memenuhinya tapi anehnya ia belum puas dengan bayaran itu sehingga ia pun langsung kencing di dapur milik Baran dan istrinya. Baran marah dan mengusirnya keluar. Kopong merasa kecewa dan dendam dengan kejadian ini sambil mengingatkan Baran. “Tunggu waktunya akan segera tiba!”

***

Sebelum peristiwa semacam ini; kakek saya pernah memberi nasihat lisan lima tahun lalu sebelum tubuhnya kembali menjadi tanah. “Buaya itu nenek moyang kita bukan pemangsa manusia yang tak berbuat salah.” Apakah buaya itu nenek moyang atau binatang buas? Apakah kematian Baran karena sesuai logika buaya adalah binatang peminum darah segar atau karena ada rasa benci dari Kopong terhadapnya? Atau, bisa mungkin karena keluarga yang kadang-kadang tidak akur membuat Baran ingin mati di tangan buaya setelah menyetubuhinya sebagai seorang wanita cantik seperti dalam mimpi? Ah, semua ini penuh misteri. Lebih membingungkan lagi sebab di kampung saya, ada keyakinan mutlak bahwa warisan-warisan lisan dari Leluhur adalah sabda dari Lia Nimon Loyo Wala.

 

Keterangan:

Molan: imam adat di Kedang

Pantai Natu: sebuah pantai di Kedang, Kabupaten Lembata.

Uyelewun: Nama gunung di Kedang, Lembata, NTT.

Lia Nimon Loyo Wala: Tuan atas bintang dan pemilik bulan: Tuhan

Bapa Iu: dari bahasa Kedang yang berarti buaya


Post a Comment for "NENEK MOYANG KAMI BUAYA#Cerpen Rian Odel "