Ada Cinta di Atambua
Oleh Lusia Astuti Karwayu Mahasiswi Universitas Terbuka Waibalun, Flotim |
Atambua adalah ibukota
dari kabupaten Belu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Kota ini adalah
kota terbesar kedua di pulau timor setelah kota Kupang. Kota yang berluas 32,8
km2 ini adalah sebuah kota yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste.
Sehingga tidak asing lagi jika Atambua lebih dikenal sebagai kota perbatasan.
Dalam tulisan sederhana
ini saya mau berbagi sedikit pengalaman saya selama berada di kota ini. Pada 29
Januari 2019 saya diundang bersama teman-teman untuk mengikuti kegiatan
penguatan kapasitas bagi fasilitator Pendidikan Kecakapan Hidup dan Literasi
Keuangan atau disingkat PKHLK. Kota Atambua menjadi tempat berlangsungnya
kegiatan tersebut.
Dengan menggunakan
transportasi udara, saya bersama teman-teman akhirnya tiba di bandara El tari
Kupang dan melanjutkan perjalanan menggunakan mobil menuju kota Atambua. Selama
dalam perjalanan, kami disuguhkan dengan berbagaimacam pemandangan alam yang
indah dan memanjakan mata, yang berjejer dari kota Kupang hingga ke kota
perbatasan ini.
Selama kurang lebih 1
minggu saya bersama teman-teman berada di kota ini. Singkat saja, tentu ada hal
menarik yang membuat saya tertarik untuk bercerita tentang kota ini. Sore itu,
tepat tanggal 2 Februari 2019 adalah puncak dari kegiatan kami. Setelah
mengikuti upacara penutupan, saya bersama teman-teman langsung menuju pada
sebuah pasar yang letaknya berada di pusat kota.
Ada begitu banyak
pemandangan yang indah yang saya temukan saat itu. Salah satunya adalah
aktivitas anak muda yang jarang saya temui di kota saya. Banyak anak sekolah
SMP maupun SMA, perempuan maupun laki-laki yang saya temui saat itu. Mereka
hadir di situ bukan untuk sekedar meramaikan aktivitas pasar tapi juga sebagai
pelaku penyambung hidup keluarga.
Perbatasan Indonesia-Timor Leste |
Karena ini adalah hari
kedua saya melihat aktivitas mereka, akhirnya saya memberanikan diri untuk
bertanya tentang aktivitas yang mereka lakukan. Mereka adalah deretan
siswa-siswi SMP dan SMA yang setiap sore berjualan sayur di tempat itu untuk
membantu ekonomi keluarga. Kata mereka "kami lebih merasa sepi ketika kami
berada di rumah dan jika kami terus berada di rumah, bagaimana kami dapat
membantu orang tua menambah ekonomi keluarga dalam hal ini biaya pendidikan."
Sungguh, ini adalah
pengalaman yang menarik. Sontak saya terharu dengan cerita mereka yang nyata
saya temui di depan mata. Kisah ini berbanding terbalik dengan aktivitas anak
muda di kota saya. Anak muda seusia mereka lebih damai mengedepankan gengsi
dari pada berjuang melawan kerasnya hidup.
Saya paham jika orang
tua mempunyai peranan penting dalam proses pertumbuhan dan perkembangan anak,
termasuk memenuhi segala kebutuhan anak. Tapi kita sebagai anak muda juga
mempunyai tanggung jawab untuk membantu orangtua. Di tengah era globalisasi
yang semakin modern ini, kita dituntut untuk mengikuti perkembangan zaman.
Yah, zaman boleh
berubah, tapi kita harus tetap siap untuk menyikapi perkembangan zaman
tersebut. Kita sebagai anak muda, harus bisa membedakan mana yang merupakan
kebutuhan dan mana yang merupakan keinginan. So, jangan terlalu memaksa
kehendak orangtua untuk memenuhi segala keinginan kita. Ingatlah orang tua
sudah bersusah payah untuk memenuhi kebutuhan kita.
Panas, hujan bukan
menjadi alasan mereka untuk berhenti berjuang, bahkan di tengah ganasnya
covid-19 ini, mereka tetap berjuang untuk menyambung hidup keluarga. Mari
sebagai anak muda, kita berjuang bersama orang tua. Kebahagiaan keluarga adalah
tanggung jawab kita bersama. Lakukan hal-hal baik yang bisa kita lakukan.
Setiap kita mempunyai potensinya masing-masing.
Manfaatkan itu sebagai
alat untuk membuat orang-orang di sekitar kita tersenyum.
Salamπ
Baca Juga: dampak-kekerasan-dalam-rumah-tangga.
Terima kasih tataππ
ReplyDeleteSama-sama ade
Delete