Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Kepentingan Ekslusif vs Kepentingan Inklusif

 

KEPENTINGAN EKSKLUSIF VS KEPENTINGAN INKLUSIF

(Telaah Kritis Posisi Pemerintah Indonesia Terhadap Kontroversi UU No. I/PNPS 1965)

Oleh: Aris Kapu; Kontributor



Pendahuluan  

Negara Indonesia terkenal dengan diversitas suku, ras, etnis, sosial-budaya, dan agama. Hal tersebut membuat Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk dan multikultural. Pluralitas tersebut dirangkul ke dalam ideologi Pancasila, demi persatuan bangsa. Sebab, Pancasila menaungi segala realitas majemuk yang ada di Indonesia, agar terus berkembang dan bereksistensi.

Salah satu bagian yang tak kalah penting dari pluralitas tersebut ialah diskursus kehidupan beragama di Indonesia. Seperti diketahui bahwa, Indonesia memiliki enam agama resmi yakni, Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Dari keenam agama ini, Islam menjadi agama yang dominan. Keberadaan agama-agama ini membuka sebuah wacana yang urgen, yakni kebebasan seseorang atau warga dalam menjalankan agama atau kepercayaan yang diyakini.

Terhadap hal tersebut, pemerintah Indonesia memproduksi regulasi berupa jaminan hukum dan normatif untuk kebebasan beragama atau berkeyakinan b dengan Islam sebagai agama mayoritas. Hal ini membuat Indonesia sendiri tercatat sebagai negara yang banyak membuat peratiran mengenai agama.[1]

Dari banyaknya produk jaminan hukum dan jaminan normatif akan kebebasan beragama atau berkeyakinan yang ada di Indonesia, terdapat salah satu pasal yang hingga kini masih terasa janggal dan kontroversial, yakni UU No.1/PNPS Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (lebih lanjut diketik PPA). Asfinawati menerangkan bahwa, pasal tersebut dinilai cukup kontroversial karena teks hukum tidak menjelaskan secara rinci apa yang dimaksud dengan penodaan agama, dan bahwa kasus penodaan agama ini sangat terpengaruh oleh tafsiran publik dan penegak hukum.[2]

Pertanyaan yang mencuat kemudian ialah, bagaimana seharusnya posisi pemerintah terhadap problematika jaminan hukum dan normatif kebebasan beragama atau  berkeyakinan di Indonesia? Apakah pemerintah berpihak kelompok eksklusif berupa agama dominan, dan ikut mengakomodasi masalah keagamaan yang ada? Atau sebaliknya, pemerintah berdiri di garis netral permasalahan sebagai bentuk kepentingan inklusif soal kebebasan beragama atau berkeyakinan tanpa membela pihak atau kelompok tertentu?

Tulisan ini hendak mengupas secara kritis posisi pemerintah terhadap kontroversi penerapan UU No 1/PNPS/1965, khususnya pasal 156a KUHP. Tulisan ini juga merupakan bagian dari pengembangan ulasan Nicola Colbran tentang “Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” khususnya di bagian ke-IV kerangka penulisannya, yakni Penerapan Kitab Undang-undang Hukum Pidana: Pasal 156a Penodaan Terhadap Agama yang Dianut di Indonesia.

Telaah Historis Pasal 156a UU No. 1/PNPS/1965

Dalam ulasannya, Colbran menjelaskan bahwa pasal 156a tentang PPA telah digulirkan sejak masa orde lama. Adapun UU No. 1/PNPS/1965 mulanya merupakan Perpres yang dibuat oleh Soekarno hingga kemudian menjadi UU resmi pada 27 Januari 1965.[3] Seperti diketahui, tahun-tahun pemerintahan Soekarno banyak disertai gejolak dalam negeri, berupa usaha separatis dan pemberontakan secara gerilya di berbagai wilayah.

Salah satu peristiwa penting yang menjadi perhatian khusus di masa itu ialah ketegangan antara golongan Islam yang direpresentasi lewat Nahdhatul Ulama (NU) dan golongan Komunis dengan basis partainya yang dinamakan Partai Komunis Indonesia (PKI). [4]

Tensi yang muncul dari dua golongan tersebut memicu konflik yang cukup meluas. Adanya konflik ini membuat Soekarno mewujudkan cita-cita revolusi nasional dengan tujuan unifikasi daerah-daerah kepulauan di seluruh Nusantara.[5] Wujud konkret yang ia pakai saat itu ialah mengimplementasikan sistem Demokrasi Terpimpin, dengan dalil utama penanganan negara dan revolusi nasional terkait dengan pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama, dan alasan akan pengamanan revolusi dan ketentraman masyarakat.[6]

Terkait dengan dalil pertama, berupa penanganan demi pencegahan penyalahgunaan atau penodaan agama, ditilik dari situasi ketegangan antara Islam dan Komunis. Islam menganggap golongan Komunis sebagai kelompok ateis yang tak beragama.

Lebih jauh dari itu, pola ketegangan yang ditampilkan lebih condong pada orientasi politik agama, di mana Islam menjadi mayoritas yang mendeterminasi alur pemerintahan. Hal ini lazim disebut infiltrasi agama ke dalam ranah politik.[7] Menurut Soedarto, polarisasi antara Islam dan Komunis menimbulkan kekacauan yang heboh pada masa itu, yakni banyaknya kasus penodaan agama, seperti Al-Qur’an disobek-sobek dan diinjak-injak, pastor dihina karena tidak kawin, nabi Muhammad disebut sebagai “nabi bohong” , dan munculnya aliran-aliran kebatinan kecil yang menamakan dirinya agama tapi dalam praktik sangat menyimpang.[8]

Tak pelak bahwa, pemerintah membuat UU tersebut, dengan menyelipkan pasal 156a tentang PPA sebagai upaya mengamankan jalur cita-cita dan revolusi nasional di masa pemerintahan Soekarno sekaligus menghindari konflik antara dua kubu yang saat itu berseberangan, yakni Islam dan Komunis.

Dengan demikian, telaah historis munculnya UU No.1/PNPS/1965 pasal 156a tentang PPA bermula dari situasi penuh konflik di masa Orde Lama, antara Islam dan Komunis. Soekarno berupaya mengatasi konflik dengan tujuan memuluskan cita-cita revolusi nasional, saat usia kemerdekaan Indonesia masih baru.

Posisi Pemerintah Terhadap Kontroversi Pasal 156a KUHP

Sebagaimana telah dijelaskan, pasal 156a KUHP berbicara tentang PPA, yang berbunyi: “Dipidana dengan penjara selama-lamanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan; a. yang pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya tidak menganut agama apap pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”[9]

Bila dikritisi lebih jauh, ada sesuatu yang cukup mengambang dari bunyi pasal tersebut, yakni istilah agama. Dalam penjelasan yang diterima pada umumnya, istilah agama yang dimaksud hanya merupakan agama yang diakui di Indonesia. Lalu,bagaimana dengan eksistensi agama-agama yang belum diakui atau “sengaja” (by omission) tidak diakui karena ditopang oleh kepentingan eksklusif suatu kelompok tertentu?

Siapa pemilik agama, dan kalau yang dihina adalah agama, siapa yang berhak merasa dirugikan? Tentu, ini merupakan perosalan mendasar terkait rujukan istilah agama yang sangat parsial dan fragmental. Untuk itu, sebelum menelisik lebih jauh tentang posisi pemerintah, terlebih dahulu dijelaskan mengenai pendefinisian tentang agama di Indonesia.

Definisi yang Sektarian

Pendefinisian agama di Indonesia hingga saat ini tergambar secara sempit dan sangat sektarian. Agama dapat diakui bila memenuhi persyaratan seperti Ketuhanan yang Maha Esa (monoteistik), nabi, Kitab Suci, dan mendapat pengakuan internasional.[10] Jelas bahwa, definisi dan persyaratan seperti itu menghambat akses bagi agama-agama leluhur untuk diakui. Tegasnya, agama-agama leluhur dipinggirkan dan tidak mendapat pelayanan serta perlakuan yang setara dari pihak negara.

Persoalan definisi agama yang sempit dan sektarian bukanlah hal yang baru untuk diperbincangkan. Bila menelusuri sejarah, ternyata paradigma akan definisi agama yang sempit dan sektarian telah menjadi wacana di Eropa dan merupakan sebuah “produk” yang dikonstruksi dari dunia Barat. Terhadap hal ini, Dubuisson menerangkan bahwa, agama adalah kategori konseptual yang dibangun berdasarkan sejarah dan budaya Barat. Barat-lah yang menginvensi dan mengonstruksi agama, dan lebih dari itu, konstruksi agama yang dibangun berlandas pada teologi Kristen.[11]

Jelas bahwa, di masa lampau, agama Kristen menjadi prototipe definisi agama, karena formatnya yang monoteistik, adanya nabi, dan memiliki Kitab Suci. Hal ini pula didorong oleh fakta bahwa, kawasan Eropa pada masa itu hampir didominasi oleh Kristen. Imperium Kristen menegaskan, agama yang benar adalah Kristen. Selain Kristen (agama-agama leluhur), hal itu dianggap sebagai kaum kafir, primitif, paganis, dan politeis.

Paradigma inilah yang menjadi acuan bagi Indonesia dalam mendefinisikan agama. Bedanya ialah, jikalau di Eropa pada masa lampau menjadikan Kristen sebagai prototipe, Indonesia menjadikan Islam sebagai prototipe utama. Tak heran bila, Islam (sampai sekarang) tampil dominatif dan superior bagi agama-agama lain, bahkan segala bentuk kepercayaan atau keyakinan atau aliran, yang dinilai bertentangan dengan Islam, diperangi dan dipersekusi.

Posisi Pemerintah: Antara Kepentingan Eksklusif vs Kepentingan Inklusif

Kontroversi pasal 156a tentang PPA dapat dijadikan sebagai penelusuran utama posisi pemerintah terhadap kasus-kasus agama di Indonesia. Hal ini dapat dilihat lewat perjalanan sejarah pemerintahan Indonesia, mulai era Soekarno hingga Jokowi. Terhitung sejak Orde Lama hingga masa reformasi (1967-2012) ada 34 kasus yang adalah jerat dari pasal 156a.[12] Adapun di era pemerintahan Jokowi, kasus Ahok pada tahun 2017 merupakan titik didih siaran kebencian agama,di mana Ahok diseru-serukan oleh gabungan antara ormas atau massa sebagai penista agama Islam. Umumnya, upaya penindakan atas kasus PPA lebih karena hasutan dan diikuti dengan dorongan massa yang kuat. Terdapat beberapa poin penting yang mengganggu netralitas pemerintah terhadap masalah keagamaan.

Pertama, eksistensi ormas-ormas yang intoleran sebagai pemicu konflik. Biasanya ormas-ormas ini memobilisasi massa ormas yang paling kentara melakukan praktik ini ialah ormas Islam, seperti salah satunya Front Pembela Islam (FPI). Keberadaan ormas-ormas ini membuat pemerintah tak dapat memberikan garis netral yang tegas bila masalah keagamaan terjadi di ruang publik.

Sebab, ormas-ormas yang intoleran dari agama dominan membenarkan cara-cara yang anarkis dan penuh kekerasan untuk menolak bentuk “pelecehan” tehadap agama mereka. Bahkan dalam beberapa kasus, seperti kasus Saleh di masa Orde Baru[13], kelompok penekan dan intoleran ini sangat dominan dibandingkan unsur-unsur yuridis yang perlu dipertimbangkan dalam proses peradilan pidana, sehingga penegak dan aparat hukum terpaksa melayani amukan kelompok ini keamanan dan ketertiban umum. Hal ini terkesan sangat utilitaris, karena mementingkan kelompok atau agama dominan demi ketertiban umum dengan menelantarkan hak-hak kelompok atau agama minoritas.  

Kedua, kesimpangsiuran penafsiran atas substansi undang-undang. Ketidakjelasan penafsiran atas pasal 156a berujung pada kerentanan multitafsir, yang mudah dipolitisasi untuk kepentingan tertentu. Sebagaimana diulas Colbran, KUHP menempati posisi puncak, melebihi UUD 1945 dalam menafsir UU.[14]  Padahal, secara hierarkis, KUHP memiliki posisi di bawah UUD 1945.[15] Hal tersebut menjadi tanggung jawab pemerintah dalam menjaga kerangka normatif kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, agar pasal tersebut tidak rentan multitafsir yang berujung pada konflik agama. Namun, inkonsistensi posisi hierarkis dalam Peraturan Perundang-undangan menimbulkan sikap mayoritarianisme. Sebagaimana dikutip Burhani, Sydney Jones mengatakan bahwa sikap mayoritarianisme sangat berbahaya karena nasib bangsa hanya boleh dikendalikan dan ditentukan oleh sekelompok mayoritas, sementara kaum minoritas cukup berperan pasif, minimal, atau diam saja.[16]

Ketiga, intervensi lembaga-lembaga agama juga turut mempengaruhi posisi pemerintah. Dalam hal ini, lembaga agama Islam, khususnya Majelis Ulama Indonesia (MUI), amat mendominasi keputusan soal keagamaan lewat adanya fatwa, sebagai tolok ukur atau standar acuan dalam menentukan suatu pihak bersalah atau tidak bersalah, sah atau tidak sah.

Hal tersebut cukup berbahaya, karena fatwa dari lembaga agama Islam dapat saja menimbulkan kriminalisasi terhadap kelompok-kelompok tertentu, yang berujung pada eksklusi. Mirisnya, pemerintah berpegang pada fatwa tersebut tanpa memperhatikan kepentingan dan keutamaan yang lebih inklusif. Di sini, pemerintah melegitimasi kepentingan yang eksklusif, yang tanpa disadari, turut menjadi aktor dalam menyempitkan ruang hak kelompok minoritas.

Tiga poin yang telah dijelaskan sangat merepresentasikan posisi pemerintah yang pro dengan kepentingan eksklusif. Di sinilah letak kelalaian pemerintah Indonesia dalam mengatur jaminan normatif kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia, dengan mengutamakan hak-hak tiap orang secara adil. Posisi yang tidak seimbang merusak wibawa pemerintah, sehingga tak salah bila pemerintah itu sendiri rentan dipolitisasi.

Opsi Inklusif: Solusi Mengakhiri Dilema Posisi Pemerintah Indonesia

Kerentanan pasal 156a untuk dipolitisasi dapat berujung pada upaya kriminalisasi, tindakan yang diskriminatif, bahkan persekusi. Untuk itu, dibutuhkan netralitas yang tegas dan jelas dari pemerintah, guna mengakomodasi jaminan hak-hak kebebasan beragama atau berkeyakinan. Ada dua pokok yang harus dilakukan oleh pemerintah untuk menegakkan posisi netral di tengah arus konflik keagamaan.

Pertama, mendelegitimasi pasal 156a. Delegitimasi yang dimaksud bertolak belakang dari partisipasi Indonesia di lingkup internasional. Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Ratifikasi tersebut dilakukan karena isi ICCPR tidak berseberangan dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.

Tentunya, ini merupakan langkah yang positif dalam menjamin pelaksanaan kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Delegitimasi pasal 156a harus dilakukan, agar infiltrasi kepentingan tertentu tidak mnegaburkan posisi netral pemerintah, sehingga ruang hak-hak, perlindungan dan kebebasan oleh pemerintah dapat diakses oleh siapapun tanpa memandang bulu.

Kedua, perlu adanya revisi atau tinjauan kembali pasal 156a tentang PPA, agar tidak rentan multitafsir dan dipolitisasi oleh golongan tertentu, dengan membuat kebijakan yang inklusif. Sebab, selama ini bahaya utama multitafsir terhadap pasal 156a ialah meluasnya ujaran kebencian terhadap kelompok tertentu, adanya demonisasi berupa cemooh, stigmatisasi dan kriminalisasi. Sebagaimana Asfinawati, untuk menghindari kekacauan dalam menafsir pasal 156a,perlu diubah dengan pasal hate crime, siar kebencian dan diskriminasi berbasis agama, agar lebih tepat guna menghindari tindakan mengkriminalisasi kebebasan beragama atau berkeyakinan.[17]

Dua pokok ini dapat dijadikan sebagai opsi inklusif bagi pemerintah demi menjamin hak-hak kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia. Opsi ini sangat penting agar terhindar dari gejolak fantasi eksklusif kelompok tertentu, yang penuh sentimen dan primordialistis. Menurut Zizek, fantasi eksklusif itu seperti penolakan terhadap yang lain. Bila yang lain ditolak, maka kehidupan akan menjadi sempurna.[18] 

Tentu bahwa, pandangan yang eksklusif sangat bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, yang menghargai kemajemukan, baik itu suku, ras, maupun agama. Dengan demikian, opsi inklusif perlu dikembangkan lebih jauh sebagai “fasilitas” masyarakat, agar akomodasi hak-hak, perlindungan, dan kebebasan dapat dinikmati oleh semua orang.

 

Daftar Pustaka

Sumber Buku

Ali-Fauzi, Ihsan,Zainal Abidin Bagir, dan Irsyad Rafsadi (ed.), Kebebasan, Toleransi dan                            Terorisme, Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia. Jakarta, Pusat Studi Agama dan                       Demokrasi Yayasan Paramadina, 2017.

 

Colbran, Nicolo, “Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa                     dan Bernegara”. Dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham Jr, dan Bahia G. Tahzib Lie                 (ed.). Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? Sebuah Referensi                 Tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, terj. Rafael Edi Baskoro dan M. Rifa’I Abduh.                      Yogyakarta: Kanisius, 2010.

 

Dubuisson, Daniel. The Western Construction Of Religion: Myths, Knowledge, and Ideology.                       Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2003.

 

Maarif, Samsul. Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia.            Yogyakarta: CRCS, 2018.

 

Sihombing, Uli Parolian, dkk. Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasus-Kasus             Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia. Jakarta: ILRC,         2012.

 

Soedarto. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan             Hukum Pidana. Bandung: Sinar Baru, 1983.

 

Sutanto, Trisno S., dkk. Kertas Posisi: Menuntut Pemneuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat                 Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Jakarta: Human Rights Working Group,                   2011.

 

Wignjosoebroto, Soetandyo. Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Politik dalam                 Perkembangan Hukum di Indonesia. Jakarta: RajawaliGrafindo, 1994.

 

Jurnal

 

Christianto, Hwian. “Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Beragama: Kajian               Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009”. Jurnal Yudisial, 6:1, April,                     2013.

 

Internet

 

Bawono, Adi Condro. “Kedudukan KUH Pidana dan KUH Perdata dalam Hierarki Peraturan                       Perundang-undangan”. Hukum Online.com 25 Januari 2012,                                                  <https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f1e71d674972/kedudukan-kuh- pidana-dan-kuh-perdata-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/>, diakses pada 6                   Desember 2020.

 

Koran

Burhani, Ahmad Najib. “Kebhinekaan Kita”. Kompas 29 Agustus 2020.

 

Politik & Hukum, “Kasus Penodaan Agama Rentan Multitafsir,” dalam Media Indonesia 22             Agustus 2020.

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

           

 

           



[1] Ihsan Ali-Fauzi,Zainal Abidin Bagir, dan Irsyad Rafsadi (ed.), Kebebasan, Toleransi dan Terorisme, Riset dan Kebijakan Agama di Indonesia (Jakarta, Pusat Studi Agama dan Demokrasi Yayasan Paramadina, 2017), hlm. 2.

[2]Politik & Hukum, “Kasus Penodaan Agama Rentan Multitafsir,” dalam Media Indonesia 22 Agustus 2020, hlm. 4.

[3] Trisno S. Sutanto, dkk., Kertas Posisi: Menuntut Pemneuhan Hak-Hak Konstitusional Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (Jakarta: Human Rights Working Group, 2011), hlm. 6.

[4] Bdk. Nicolo Colbran, “Jaminan Secara Normatif dan Pelaksanaannya dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara,” dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham Jr, dan Bahia G. Tahzib Lie (ed.), Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan: Seberapa Jauh? Sebuah Referensi Tentang Prinsip-Prinsip dan Praktek, terj. Rafael Edi Baskoro dan M.Rifa’i Abduh (Yogyakarta: Kanisius, 2010), hlm. 702.

[5] Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Politik dalam Perkembangan Hukum di Indonesia (Jakarta: RajawaliGrafindo, 1994), hlm. 200.

[6] Hwian Christianto, “Arti Penting UU No. 1/PNPS/1965 Bagi Kebebasan Beragama: Kajian Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 140/PUU-VII/2009,” dalam Jurnal Yudisial, 6:1 (Jakarta:April, 2013), hlm. 3.

[7] Bdk. Samsul Maarif, Pasang Surut Rekognisi Agama Leluhur dalam Politik Agama di Indonesia (Yogyakarta: CRCS, 2018), hlm. 22-25.

[8] Soedarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm. 78-79.

[9] Lih. Colbran, loc.cit.

[10] Bdk. Ihsan Ali-Fauzi, Zainal Abidin Bagir, dan Irsyad Rafsadi (ed.), op.cit, hlm. 16-17.

[11] D. Dubuisson, The Western Construction Of Religion: Myths, Knowledge, and Ideology (Baltimore: Johns Hopkins University Press, 2003), p. 12.

[12] Uli Parolian Sihombing, dkk., Ketidakadilan dalam Beriman Hasil Monitoring Kasus-Kasus Penodaan Agama dan Ujaran Kebencian atas Dasar Agama di Indonesia (Jakarta: ILRC, 2012), hlm. 71.

[13]Nicola Colbran, op.cit., hlm 705-707.

[14]op.cit., hlm. 710.

[15] Adi Condro Bawono, “Kedudukan KUH Pidana dan KUH Perdata dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan”, dalam Hukum Online.com 25 Januari 2012, https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt4f1e71d674972/kedudukan-kuh-pidana-dan-kuh-perdata-dalam-hierarki-peraturan-perundang-undangan/, diakses pada 6 Desember 2020.

[16] Ahmad Najib Burhani, “Kebhinekaan Kita”, dalam Kompas 29 Agustus 2020, hlm. 15.

[17] Politik & Hukum, loc.cit.

[18] Ahmad Burhani, loc.cit.

Post a Comment for "Kepentingan Ekslusif vs Kepentingan Inklusif"