Terima Kasih Gus Miftah, Salam dari NTT
Terima Kasih Gus Miftah, Salam dari NTT
Gus
Miftah, sosok yang luar biasa, pluralis, toleran, humoris ketika menanggapi
segala sesuatu. Gus Miftah, bagi saya adalah salah satu tokoh panutan di negara
Pancasila ini. Ia bukan hanya bergaul dengan orang Islam (muslim) melainkan
juga menembus batas-batas agama, ia bergaul dengan semua orang dari latar
belakang agama berbeda.
Ia sangat hebat. Bukan hanya nyaman di dalam masjid, melainkan juga ia mengunjungi sesama saudara ciptaan Tuhan yang lain di tempat hiburan malam, maupun di gereja, rumah ibadah orang Kristen.
Beberapa waktu lalu, ketika ia menghadiri undangan peresmian gereja di Jakarta Utara, ia diberi kesempatan untuk memberikan sambutan kebangsaan. Sekali lagi Gus Miftah luar biasa.
Dengan keberanian dan keterbukaannya terhadap setiap perbedaan dan kekayaan yang ada di tanah air, ia tak jarang diolok-olok, dicap kafir oleh orang-orang tertentu yang mulutnya sudah berbisa dan lidah terbiasa mengkafir-kafirkan orang. Ia dicemooh dan seterusnya.
Namun,
sangat luar biasa, pimpinan pondok pesantren Ora Aji, Sleman,Yogjakarta tersebut tidak
pernah marah. Ia tersenyum menanggapi setiap tudingan tak humanis dari sesama
ciptaan Tuhan yang barangkali punya motivasi dan tujuan lain di balik semua
kata-kata yang mereka lontarkan. Ia tetap santai dan bahagia.
Mengapa
mereka menuding tokoh panutan tersebut dengan kata-kata yang negatif. Ya, barangkali
di dalam diri mmereka selalu saja ada energi negatif melihat setiap perbedaan. Hanya
dengan masuk ke dalam gereja, mereka menuding Gus Miftah yang bukan-bukan. Anehnya,
Gubernur DKI Jakarta yang juga turut serta hadir di dalam gereja bersangkutan
lolos dari hujatan dan tudingan negatif. Ada apa?
Mestinya,
dua tokoh besar tersebut mendapatkan kata-kata negatif yang sama. Ah, sampai
kapan kita berdebat tentang hal-hal sepele dalam membangun relasi harmonis
antaragama. Apakah, kita tidak bisa melampaui ego kita untuk saling mengunjungi
termasuk ke rumah ibadah agama lain?
Di NTT, Muslim dan Kristen Satu Rumah
Mengikuti
pekembangan media sosial, saya sampai saat ini sangat heran. Mengapa sebagian saudara-saudari
di Jawa tak pernah bosan berdebat tentang agama? Sampai kapan perdebatan
seputar relasi antaragama berakhir. Padahal hanya hal sepele.
Berbeda
dengan di Jawa, kami yang lahir di Nusa Tenggara Timur sudah sejak lama hidup
di tengah perbedaan itu. Di NTT, muslim dan kristen hidup satu rumah. Kakak kandung
muslim, adik kandung kristen, tidak ada masalah. Mengapa? Ya, karena iman
mereka sudah dewasa. Mereka tidak suka cengeng dan buang-buang waktu
memepersoalkan relasi antaragama yang sesungguhnya adalah contoh praktik
kebaikan dalam hidup bersama.
Di Jawa Gus Miftah masuk gereja mendapatkan kemarahan dari orang-orag tertentu, tetapi di NTT Muslim dan Kristen bekerja sama, bergotong-royong membangun mesjid dan gereja.
Di dalam kebersamaan itu, yang ada dalam pikiran mereka
adalah perdamaian, cinta kasih. Mereka sedang membangun kehidupan yang dewasa
bukan sibuk bicara iman.
Di NTT, Kepala Desa yang muslim memberikan sambutan peresmian gereja maupun sebaliknya. Mereka sudah mampu melampaui ego mereka. Iman mereka sudah sangat dewasa, tidak terpaku pada satu sudut pandang saja.
Sebab
di tengah dunia yang semakin maju ini, iman mesti dihayati dalam relasinya
dengan orang lain, khususnya mereka yang beragama lain. Iman mesti terlibat ke
tengah dunia, bukan sekadar nyaman di mulut.
Oleh
karena itu, mari saudara-saudara setanah air, kita belajar pada sosok Gus
Miftah tentang toleransi, tentang Pancasila, tentang keterbukaan, tentang
bagaimana cara melampaui ego kita.
Sekali
lagi terima kasih untuk Gus Miftah, salam dari Timur Nusantara. Maju terus, ajarkan kami tentang
persahabatan melampaui sekat-sekata agama, suku dan seterusnya. Salam.
(Admin)
Post a Comment for "Terima Kasih Gus Miftah, Salam dari NTT"
Komentar