Sejarah Singkat Kronologi Penyerahan Tanah untuk Lokasi Tambang di Kedang, Lembata (2007/2008)
Sejarah Singkat Kronologi Penyerahan Tanah untuk Lokasi Tambang di Kedang, Lembata (2007/2008)
Kronologi
Kasus Penyerahan Tanah oleh 6 Orang Kepala Suku dari Tua’ Mado, Desa Panama,
Kecamatan Buyasuri dan Reaksi Masyarakat Suku-Suku di Sekitarnya
Pengantar:
Tulisan ini sengaja diterbitkan pada blog ini sebagai upaya untuk proses mengingat
kembali sebuah peristiwa kelam hadirnya bisnis pertambangan di wilayah Kedang
dan indikasi munculnya konflik horizontal yang mengorbankan orang Kedang pada
tahun 2007/2008 silam.
Penulis menyadur ulang
tulisan ini agar mudah diakses oleh generasi muda Kedang sebagai bahan refleksi
sekaligus spirit yang bisa dipetik dari aksi perjuangan masyarakat Kedang bagi
kehidupan generasi Kedang zaman kini.
1.
pada Kamis, (21/2/2008), di Lopo Moting Lomblen, Bupati menyelenggarakan acara
penandatanganan berita acara penyerahan tanah Wei Puhe, dari 6 orang kepala
suku Tua’ Mado, Kedang, Kecamatan Buyasuri, kepada dirinya sebagai Bupati
Lembata, untuk kepentingan pembangunan industri pertambambangan oleh PT Merukh
Enterprise.
Berita acara penyerahan
tanah tersebut ditanda-tanganni oleh ke 6 kepala suku, sebagai pihak pertama,
yang menyerahkan tanah dan bupati Lembata, sebagai pihak kedua, yang menerima
penyerahan tanah. Ke-6 kepala suku tersebut yakni:
a) Ledo Ara (sebagai
pemegang/penguasa tanah ulayat suku Potiretu)
b) Anreas Abe (sebagai
pemegang/penguasa ulayat suku Lodo Laleng)
c) Benediktus Telu
(sebagai pemegang/penguasa ulayat suku Tua’ Mado)
d) Abdullah Beni (sebagai
pemegang/penguasa ulayat suku Lelangrian)
e) Sadi Lari (sebagai
pemegang/penguasa ulayat suku Laa Wayang)
f) Kornelis Kopaq
(sebagai pemegang/penguasa ulayat suku Watang Wala).
Ada dua pihak lain,
yang ikut menandatangani berita acara penyerahan tanah ulayat tersebut adalah, pertama, pihak yang disebut sebagai
“yang turut memberikan dukungan”, dan kedua,
“saksi.”
Tercatat
6 orang turut memberikan dukungan atas penyerahan tanah ulayat tersebut yakni:
a)
Lambertus Lawe (ketua basis Tuamado dalam Paroki Aliuroba)
b)
Naya Mudin (Imam Masjid Tuamado)
c)
Yusuf Muda (Tokoh Masyarakat Tuamado)
d)
Petrus Wutun (Tokoh adat Tuamado)
e)
Yosephat Sudarso Dolu (Tokoh pemuda Tuamado)
f)
Kristina Kewa (Tokoh perempuan Tuamado).
Sedangkan
yang bertindak sebagai saksi adalah Camat Buyasuri dan 16 orang Kepala Desa,
Yakni:
a)
Muchtar Sarabiti : Camat Buyasuri
b)
Rachmat Wulakada : Kepala Desa Bean
c)
Ruslan Huraq : Kaur Umum Benihading II
e)
Gabriel P. Buyanaya : Kepala Desa Tubung Walang
f)
Petrus Lating : Kepala desa Roho
g)
Yeremias Huraq : Kepala Desa Loyobohor
h)
Antonius Likuwatan : Kepala Desa Leuburi
i)
Abdullah Roda Mude : Kepala Desa Kaohua
j)
Paimudin Hibaratu : Kepala Desa Umaleu
k)
Ibrahim Lamawulo : Kepala desa Tobotani
l)
Umar Ledo S Making : Kepala desa Rumang
m)
Yusuf Paokuma : Kepala desa Kalikur WL
n)
Yoseph Sumatantra : Kepala Desa Buriwutung
o)
Petrus Pua Ubawala : Kepala desa Mampir
p)
Abdul Malik Peuohaq : Kepala Desa Leuwohung
q)
Hasan Liliweri : Kepala Desa Bareng
r)
Sulaiman Syarif : Kepala Desa Kalikur.
Dalam acara yang sama,
Gabriel Raha, lebih dikenal dengan nama Gaba Raha, salah seorang warga Peumole,
Benihading II, Buyasuri, ikut membacakan pernyataan dukungan terhadap kebijakan
tambang, dan kesediaan menyerahkan tanah sukunya, untuk dijadikan lokasi
tambang. Bahkan apabila lokasi tersebut tidak terdapat kandungan emas atau
tembaga, dapat dijadikan lokasi perkantoran, atau bascamp PT Merukh Enterprise.
Kejanggalan dalam kasus
penyerahan tanah Tuamado antara lain:
·
Penandatanganan berita acara penyerahan
tanah dilakukan pada Kamis (21/2/2008) di Lopo Moting Lomblen Lewoleba, oleh
Bupati dan beberapa kepala suku, tetapi di dalam berita acara tertulis tanggal
13 Desember 2017 di Tuamado. Berdasarkan hasil investigasi FKTL, pada 13
Desember 2007, tidak terjadi peristiwa penyerahan tanah ulayat di Tuamado, yang
dihadiri Bupati, dan para saksi dan pendukung sebagaimana tercantum dalam
lembaran berita acara.
Dicurigai,
penggunaan tanggal “mundur” tersebut, sengaja dilakukan untuk menjaga keabsahan
saksi, yang terdiri atas kepala desa di Kecamatan Buyasuri, yang pada peristiwa
penandatanganan berita acara oleh bupati, tanggal 21 Februari 2008, sebagian
besar di antaranya telah berhenti dari jabatannya dan digantikan oleh kepala
desa yang baru terpilih.
Itu
berarti, penandatanganan berita acara oleh para saksi, telah dilakukan
mendahului penandatanganan yang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan.
Berarti camat dan ke 15 kepala desa, telah dengan sengaja membuat penipuan di
dalam berita acara penyerahan tanah tersebut.
· Secara hukum, substansi penyerahan tanah tersebut mengandung kelemahan, karena tidak secara jelas, mencantumkan objek penyerahan tanah tersebut. Berita acara tidak mencantumkan secara jelas dimana letak lokasi tanah yang diserahkan, berapa luasnya, batas-batasnya, di atasnya melekat hak apa dan siapa saja, dan berapa banyak orang yang sedang mengelola tanah tersebut, dengan beragam hak yang mereka miliki (hak milik, hak garap, bagi hasil, dll).
Hanya
disebutkan dalam butir 1 berita acara: hamparan tanah ulayat di titik tambang
Wei Puhe dan sekitarnya.
Itu berarti pemerintah kabupaten Lembata, yang terdiri atas bupati sendiri, Camat Buyasuri, dan ke 15 kepala desa tersebut telah dengan gegabah terlibat di dalam suatu transaksi tanah, yang berisiko sosial tinggi. Dalam suasana masyarakat kedang menolak rencana investasi tambang, yang diekspresikan secara tegas sekali di dalam bentuk demo damai (24-25 Juli 2007), dan polemik di media masa selama ini, pemerintah kabupaten lembata, telah dengan sadar terlibat di dalam sebuah transaksi tanah, yang berisiko pada terjadinya konflik horizontal antarsuku-suku di Kedang.
· Lebih fatal lagi, Pemkab, terutama camat buyasuri dan bupati sama sekali tidak mempertimbangkan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut. Mereka tidak mempertanyakan apakah ke 6 orang tersebut memang berwewenang atas tanah ulayat tersebut ternyata kemudian, menimbulkan reaksi kegelisahan, kecemasan, kemarahan, keresahan, di tengah masyarakat kampung-kampung di sekitar Tuamado, dari Hobamatan-Leu hapu, Benihading Leu Pitu, Waq Lupang, Leu Tubung, dan Leu Walang.
Reaksi
tersebut berkembang karena berdasarkan realita dan bukti-bukti sejarah hak atas
tanah suku-suku di Kedang, Tuamado, dengan ke 6 kepala suku tersebut, sama
sekali tidak berkuasa atas tanah ulayat yang diserahkan. Mereka telah dengan
berani sekali menyerahkan tanah ulayat yang bukan merupakan hak suku mereka,
melainkan hak ulayat dari komunitas adat Benihading dan Nala’ Hading.
2.
Tanggal 22 Februari 2008, harian Flores Pos pada Desk Lembata, membuat berita
dengan judul, “Disesalkan Sikap Bupati Manuk, Dua Suku Serahkan Tanah untuk Tambang”.
Alwi Murin, anggota DPRD asal daerah pemilihan Kedang, dari Benihading Leu Pitu,
dari suku Etoehaq, menegaskan, pristiwa penyerahan tersebut patut dicurigai
sebagai sebuah rekayasa oleh pihak tertentu yang mau memperdayai dan
memprovokasi masyatakat Kedang. Ia ingatkan, penyerahan tersebut seolah-olah
telah meniadakan keberadaan suku-suku lain di Benihading Leu Pitu, dan menegaskan
sikap tersebut sangat membahayakan persatuan dan kesatuan masyarakat Kedang, khususnya
di tanah ulayat Komunitas Adat Benihading Leu Pitu.
3.
Tanggal 23 Februari 2008, media menurunkan berita dengan topik, “Bupati Manuk
Harus Bertanggung Jawab”, berisi kecaman Stanis Kapo, tokoh masyarakat Kedang,
di Lewoleba, yang dengan tegas, menuntut pertanggung-jawaban Bupati, apabila
kasus penyerahan tanah tersebut berakibat pada terjadinya konflik antarsuku,
dan pertumpahan darah di Kedang.
Eman Ubuq, Ketua Baraksatu
menegaskan, peristiwa penyerahan tanah tersebut merupakan sebuah provokasi.
4.
Peristiwa penyerahan tanah oleh ke 6 kepala suku dari Tuamado dan Gaba Raha
dari Peumole tersebut, mengagetkan dan menggemparkan masyarakat Lembata, baik
yang berada di Lewoleba sendiri, maupun masyarakat yang berada Kedang, setelah
informasi tentang penyerahan tanah tersebut beredar ke tengah masyarakat.
Reaksi bermunculan. Pada tanggal 24 Februari 2008, tercatat dua kejadian di 2
tempat berbeda.
*
Di Peumole, pagi-pagi masyarakat berkumpul dalam suasana “panas” akibat
mendengar berita penyerahan tanah pada tanggal 21 Februari 2008 di Lopo Moting
Lomblen tersebut, melalui siaran radio. Beberapa warga yang mendengar siaran
berita tersebut meledak kemarahannya, dan memaki-maki. Kejadian itu mengundang
perhatian warga tetangga, dan semakin lama semakin banyak warga yang berkumpul,
untuk mengetahui apa yang terjadi. Mereka ingin “mengadili” Gaba Raha di
rumahnya, tetapi beberaa tokoh masyarakat menenangkan dan mereka bersepakat
mengirimkan Poliarpus Leuwayan dan seseorang lagi untuk mendapatkan informasi
tentang apa sesungguhnya yang terjadi di Moting Lomblen, pada 21 Februari 2008
tersebut, di Lewoleba.
* Di
Hobamatan, Desa Mahal I, desa tetangga Tuamado, yang masuk wilayah kecamatan
Omesuri, tua-tua suku Odel Wala mengadakan musyawarah adat, membahas dengan
serius kasus penyerahan tanah di lokasi wei puhe tersebut, karena mereka
mengetahui dengan pasti, tanah di lokasi tersebut merupakan bagian dari hak
ulayat mereka dan sama sekali bukan merupakan hak ulayat dari ke 6 suku di
Tuamado. Musyawarah suku Odel Wala memutuskan membatalkanpenyerahan tanah
tersebut. keputusan tersebut tertuang dalam surat bernomor 01/SO/2008,
tertanggal 24 Februari 2008, yang ditandatangi oleh Stephanus Matur Odel,
kepala suku, dan dua tetua suku odel lainnya yakni Leonardus Leu Odel dan
Mikael Sabon Odel.
5.
Pada tanggal 25 Februari 2008, 20 tokoh masyarakat Peumole berkumpul di rumah
bapak Edmundus Pala Lelangrian. Pertemuan mendengarkan laporan dari Polikarpus
yang bertugas mengumpulkan informasi tentang kejadian penyerahan tanah. Karena
Gaba raha tidak hadir di dalam pertemuan itu, disepakati, perlu diselenggarakan
pertemuan lagi, untuk meminta penjelasan dan pertanggungjawaban dari Gaba raha.
6.
Rabu, 27 Februari 2008, 2 orang utusan suku odel yaitu, Leonardus Leu Odel dan
Mikael Sabon Odel, datang ke kantor bupati dengan tujuan membatalkan penyerahan
tanah ulayat mereka oleh ke 6 kepala suku Tuamado, dengan membawa surat
pembatalan tersebut. Dengan alasan sedang sibuk, Bupati menolak menerima
mereka. Demikian juga wakil bupati. Wakil bupati melalui pramutamu hanya
menyuruh mereka menemui Kabag Ekonomi.
Mereka menemui Kabag
Ekonomi, Longginus Lega Ladoangin. Longgi menyatakan akan melanjutkan pernyataan
sikap suku odel kepada Bupati dan Wakil Bupati, dan meminta kedua utusan suku odel tersebut untuk kembali ke kampung
dan menunggu informasi lebih. Tetapi karena merasa tidak puas dengan perlakuan
tersebut, mereka memutuskan untuk nginap untuk bertemu dengan bupati pada hari
berikutnya.
7.
Kamis, 28 Februari 2008, kedua utusan suku Odel, Leo dan Mikael Odel kembali ke
kantor bupati. Tetapi mereka tidak berhasil menemui bupati karena bupati
dikatakan tidak berada di tempat. Ketika diminta bertemu wakil bupati, sekali
lagi wakil bupati menolak untuk menemui mereka. Mereka kembali dengan perasaan
sangat kecewa dan marah, karena merasa tidak dihargai.
8.
Pada hari yang sama, Kamis (28/2/2008), 3 orang penasehat dewan stasi Aliuroba,
Paroki St. Maria Pembantu Abadi Aliuroba, yakni Aloisius Rupa, Mikael Aba, dan
Vinsensius Lewo, mendatangi gaba Raha di rumahnya di Peumole, untuk
mengklarifikasi berita penyerahan tanah oleh Gaba Raha di Moting Lomblen, untuk
lokasi tanah di sekitar Bean. Gaba Raha menjelaskan bahwa dia tidak menyerahkan
hak ulayat, melainkan hanya menyatakan sikap netral, tidak pro dan tidak juga
kontra tambang.
Ke 3 anggota dewan
penasehat menawarkan kepada Gaba raha untuk memberikan penjelasan kepada umat
katolik di dalam gereja pada hari minggu, tanggal 2 Maret 2008, tetapi ia
menolaknya, karena merasa berat hati dan khawatir, dan meminta kesediaan dewan
penasehat untuk menyampaikan penjelasan, bahwa Gaba Raha tidak pernah
menyatakan dukungan terhadap kebijakan tambang atas nama umat katolik,
sebagaimana informasi yang beredar di tengah masyarakat.
9.
Minggu, 2 Maret 2008, jam 11.00 dewan stasi aliuroba dan 10 ketua basis
mengadakan rapat di ruang SDK Aliuroba. Rapat menyepakati memberhentikan Gaba
Raha dari jabatannya sebagai ketua dewan stasi yang baru dijabatnya selama
sebulan, dan belum sempat juga dilantik.
10. Minggu, 2 Maret
2008, jam 11.00-18.18, 5 suku dari Aliuroba, desa Benihading I menyeleggarakan
musyawarah adat menanggapi kasus penyerahan tanah oleh ke 6 suku di Tuamado. Ke
5 suku tersebut yakni: Hu’ungehaq, Etoehaq, Beniehaq, Wulakada, dan Peutula.
Pertemuan dihadiri oleh ratusan warga suku yang berasal dari Benihading Leu
Pitu. Pertemuan berlangsung di Ebang suku Etoehaq di Aliuroba. Musyawarah adat
tersebut mengecam dengan keras perbuatan ke 6 suku tersebut dan menyesalkan
sikap bupati lembata, yang bertindak ceroboh, menerima penyerahan tanah ulayat
tanpa menyelidiki kebenaran dan keabsahan penyerahan tanah ulayat tersebut,
karena berimplikasi terhadap terjadinya keresahan, dan berpotensi menimbulkan
konflik berdarah antarsuku di Kedang.
Musyawarah ke 5 suku
tersebut menyepakati:
·
Membuat surat pernyataan suku atas
peristiwa penyerahan tanah tersebut, dan ditandatangani/dicap-jempol warga
masing-masing suku.
·
Mengutus 9 warga mewakili 5 suku
menyerahkan surat pernyataan tersebut kepada bupati di Lewoleba.
11.
Pada hari yang sama, minggu, 2 Maret
2008, sore, jam 15.00 berlangsung pertemuan warga Peumole di rumah Gaba Raha.
Pertemuan ini bertujuan meminta klarifikasi Gaba Raha. Andreas Leunamang,
kepala suku “sulung”, mengecam perbuatan Gaba Raha sebagai tindaan sepihak. dia
mempertanyakan, mengapa pernyataan itu tidak didahului musyawarah adat di dalam
kampung Peumole. Pertemuan berlangsung alot. Gaba Raha sengaja mengalihkan perhatian
peserta, untuk hanya membahas soal ulayat.
Pernytaan dukungan
terhadap tambang dan penyerahan tanah oleh Gaba Raha, dengan tegas ditolak dan
dinyatakan batal. Gaba Raha juga berjanji untuk membuat surat pernyataan
penarikan kembali atas surat pernyataan dukungan terhadap tambang di Moting
Lomblen tersebut.
12.
Tanggal 2 Maret 2008, jam 11.30-14.00, di Leu Nahaq, Desa Panama, warga Leu Nahaq
dan Waqio menyelenggarakan musyawarah adat menanggapi kasus penyerahan tanah
oleh 6 suku di Tuamado. Mereka menyepakati membuat pernyataan kecaman terhadap
penyerahan tanah, dan meminta membatalkan penyerahan tanah di Wei Puhe
tersebut, dengan alasan ke 6 suku tersebut, tidak berhak atas tanah di Wei
Puhe.
Warga juga menyepakati
untuk mengutus 3 orang warga menemui bupati dan menyerahkan pernyataan
tersebut. ke 3 orang tersebut yakni, Anton Ado Lelangwayan, Anton Laba AI dan
Donatus Dato. Menurut rencana ke 3 utusan tersebut akan menemui bupati, pada
hari senin, 10 Maret 2008.
13.
Senin, 3 Maret 2008masing-masing dari ke 5 suku dari aliuroba tersebut membuat
surat penyataan kecaman dan penolakan terhadap penyerahan tanah tersebut, yang
ditujukan kepada bupati Lembata. utusan kelima suku dari Aliuroba datang
menyerahkan sendiri surat pernyataan tersebut kepada pemkab. Utusan diterima
wakil bupati lembata, senin, 3 maret 2008, di ruang rapat bupati. Wakil bupati
menerima penyerahan pernyataan sikap kelima suku tersebut, tanpa komentar.
Hanya menyatakan “terimakasih” dan “pemerintah telah menerima pernyataan ini
dengan ikhlas”. Wakil bupati juga menolak tawaran untuk membuka dialog.
14.
Selasa, 4 Maret 2008, bertempat di halaman depan Balai Desa Panama, Buyasuri,
diselenggarakan musyawarah luar biasa Masyarakat adat Benihading Leu Pitu
(Benihading 7 Kampung), Leu-hapu (Mahal II), Hobamatan (Mahal I), Waq-lupang
(Atulaleng), Leu Tubung, Leu Walang (Tubung Walang), menanggapi keresahan dan
kegelisahan masyarakat akibat penyerahan tanah yang dilakuakan ke 6 kepala suku
dari Tuamado dan Gaba Raha. Musyawarah dihadiri 600-an warga masyarakat,
tua-muda, laki dan perempuan, berlangsung selama 8 jam, dari jam 11.15-19.15
Wita.
Subastansi pembicaraan:
·
Penjelasan tentang alasan mengapa
musyawarah adat diselenggarakan
·
Pembacaan Berita acara penyerahan tanah
21 Februari 2008 di Moting Lomblen.
·
Analisis sosial politik, hukum (hukum
negara dan hukum adat: dari stanis Kapo Lelangwayan, SH, Pius Kulu Beyeng, BA,
Paulus Isa Leuweheq: para tokoh tua Kedang yang berdomisili di Lewoleba).
·
Penuturan sejarah asal-usul tanah ulayat
dari 3 tokoh adat yakni Leonardus Leu Odel (Leu hapu-hobamatan), Lorensius Waka
(Benihading Leu Pitu), dan Hendrik Tehe (Waq-lupang), untuk menelusuri dan
menegaskan hak-hak sejarah atas ulayat di Wei Puhe dan sekiatrnya. Sejarha suku
dan tanah suku yang terukir di dalam syair-syair adat Kedang, yang dituturkan
oleh ke 3 orang ini, menegaskan benihading-Nalahading yang memiliki kuasa atas
tanah ulayat wei puhe dan sekitarnya, dan bukan ke 6 suku di Tuamado tersebut.
·
Dioalog tentang kasus penyerahan tanah,
akibat hukum dri penyerahan tanah tersebut bagi masyarakat Kedang dan kaitannya
dengan rencana investasi tambnag.
·
Musyawarah tentang jalan keluar dari
persoalanpenyerahan tanah serta implikasi hukum, politik dan sosial, bagi
masyarakat. Meski suasana panas, tetapi para tua adat berhasil meredahkan
keresahan dan kemarahan massa, dan menuntun masyarakat menyepakati 17 butir
kesepakatan. (Lihat lampiran berita acara).
15.
Rabu, 5 Maret 2008, ke 12 tua adat, yang dipilih dalam musyawarah adat tanggal
4 maret 2008, untuk menyelesaikan secara damai kasus penyerahan tanah melalui
mekanisme adat, sangat kecewa dengan sikap ke 6 kepala suku dari Tuamado, yang
tidak menepati kesanggupan mereka untuk hadir di Balai Desa Panama,
menyelesaikan kasus tersebut, sesuai janji mereka pada 4 Maret 2008, kepada ke
3 utusan.
Setelah menunggu selama
3 jam, pada pukul 11.00 ke 12 tua adat memutuskan mengirimkan tiga utusan lagi
untuk menemui dan memastikan kedatangan ke 6 kepala suku Tuamado tersebut. ke 3
utusan tersebut yakni Thomas Toda Odel, Daswan Wulakada dan Benediktus Beni
Leuwayan. Ketiga utusan tersebut bertemu dengan Abdullah Beni, Benediktus Telu
dan terakhir kepala Dusun Tuamado, Aloysius Watang.
Abdulah Beni dalam
dialog dengan ke 3 utusan membantah telah menyerahakan tanah ulayat di Moting
Lomblen. Ketika diminta bukti berupa berita acara penyerahan tanah tersebut,
Abdulah Beni tidak bisa memberikannya, katanya ada di kantor bupati. Ketika
diminta untuk hadiri pertemuan musyawarah adat menyelesaikan kasus sebagaimana
telah disepakati sebelumnya, Abdulah Beni menolak untuk hadir. Dia beralasan
jika lokasinya di Balai Desa Panama, situasi tidak aman bagi mereka.
Benediktus Telu
m,embungkam selama pertemuan dengan utusan tersebut. Sedangkan Kepala dusun
Tuamado, Aloysius Watang, kembali menegaskan apa yang telah dikatakan oleh
Abdulah Beni. Bahwa jika pertemuan di Balai Desa Panama, situasinya tidak aman
bagi mereka. Mereka menyatakan siap berhadapan dengan masyarakat Benihading Leu
Pitu, Nalahading, Waq-lupang, Leutubung dan Leu Walang di kantor mana saja
(maksudnya kantor polisi, pengadilan atau kantor pemerintah lainnya).
Ke 12 tua adat dan
warga yang hadir merasa resah, kecewa dan menjadi berang terhadap sikap ke 6
kepala suku Tuamado tersebut. tua adat kembali berupaya dan berhasil meredahkan
kemarahan warga Benihading Leu Pitu terhadap sikap ke 6 kepala suku, yang tidak
menepati kesepakatan sehari sebelumnya. Mereka merasa dipermainkan oleh sikap
tersebut. Musyawarah adat kemudian memutuskan:
·
Melanjutkan proses penyelesaian kasus tersebut
melalui jalur hukum, dan untuk itu berangkat menuju Lewoleba, Kamis, 6 Maret
2008. Utusan ke Lewoleba terdiri atas 13 tua adat dari Benihading Leu Pitu,
Nalahading, Waqlupang, Leu Tubung dan Leu Walang.
·
Menerbitkan maklumat pembatalan
penyerahan tanah ulayat wei puhe dan sekitarnya (lihat lampiran), yang
direncanakan akan diserahkan kepada bupati Lembata, oleh 12 tua adat, dengan
didampingi warga masyarakat dari 12 Kampung di Benihading Leu Pitu, Nalahading,
Waq-lupang, Leu Tubung, dan Leu Walang.
16.
Kamis, 6 Maret 2008, tua-tua adat dari Benihading Leu Pitu, Leu Hapu-Hobamatan,
Waq-Lupang, Leu Tubung dan Leu Walang sebanyak 13 orang, didampingi 2 anggota
Baraksatu, Berangkat menuju Lewoleba, untuk menempuh jalur hukum, memproses ke
6 kepala suku dari Tuamado. Pada petang hari, jam 17.00-23.30, berlangsung
musyawarah para tua adat, anggota Baraksatu dengan tokoh-tokoh masyarakat
Kedang di Lewoleba, anggota FKTL, di Rumah Kediaman Bapak Stanis Kapo
Lelangwayan.
Musyawarah menyepakati:
·
Memproses secara hukum (pidana) ke 6
kepala suku ke Polres Lembata,
·
Memberi kuasa khusus kepada Stanis
Lelangwayan untuk mendampingi masyarakat di dalam proses hukum.
17.
Jumat, 7 Maret 2008, para tua adat menandatangani surat kuasa Khusus kepada
Stanis Lelangwayan, sebagai pendamping hukum masyarakat adat Benihading,
Nalahading, Waq-lupang, Leu Tubung, dan Leu Walang.
Lewoleba,
Jumat, & Maret 2008
Dibuat
bersama oleh:
Para
Tua Adat:
·
Hobamatan : Leonardus Leu Odel
·
Leu Hapu : Muhamad Amin Ea Pu’en
·
Leu Nahaq : Remigius Nuba, Benediktus
Beni
·
Waqio : Anton Ado Lelang Wayan
·
Wulakada : Yohanes Bubun Wulakada
·
Aliuroba : Aloysius Rupa Etoehaq
·
Peumole : Andreas Leu Namang
·
Leudawan Kobar : Lorens Waka Peuleu
Barak
Satu:
·
Ketua : Eman Ubuq
·
Anggota Johni Lelang Uneq
·
Anggota Theresia Peni Wulakada
Anggota
DPRD Lembata Daerah Pemilihan Kedang:
·
Anggota : Aloysius U Uri Murin Etoehaq
Forum
Komunikasi Tambang Lembata:
·
Koordinator : Bediona Philipus
·
Divisi Investigasi dan Publikasi : Anton
Pati Liman
Post a Comment for "Sejarah Singkat Kronologi Penyerahan Tanah untuk Lokasi Tambang di Kedang, Lembata (2007/2008)"
Komentar