Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Kasus Semau: Pejabat Berpesta, Rakyat Susah Cari Uang untuk Rapid Test


Ketika Bupati Lembata, Almarhum Yentji Sunur meninggal dunia karena dijemput senjata maut dengan peluru Covid-19, masyarakat Lembata, Nusa Tenggara Timur diingatkan untuk serius mematuhi protokol kesehatan. Masyarakat selalu diingatkan untuk mengikuti vaksinasi dan rapidtest yang memakan biaya Rp. 150.000. Hampir di setiap lorong ada poster ajakan untuk mematuhi Prokes. Tentu semua itu demi kebaikan nyawa manusia.


Hal yang sangat mengecewakan ialah Pemerintah atau para elit tidak memberi teladan tingkah laku yang bisa dijadikan panutan. Mereka leluasa melakukan pesta-pora di tengah Covid-19. Mereka bernyanyi dan berjoget di tengah kematian orang kecil karena serangan virus ganas tersebut. Barangkali, menurut mereka, Covid-19 takut dengan pejabat negara. Atau jangan-jangan Covid-19 ini jenis penyakit yang hanya meyerang dan membunuh orang yang tidak punya uang.


Baca Juga:

Murtadin Ini Ajak MUI Berdebat

Lebih memalukan lagi, jika masyarakat kecil melanggar Prokes, Pihak keamanan bahkan tidak tau malu melakukan tindakan kekerasan. Seolah-olah, pelanggaran Prokes menjadi kesempatan emas bagi Pol PP untuk belajar cara yang baik menumbuk wajah orang kecil. Sungguh, teladan pejabat negara, khususnya di NTT sudah mati karena keangkuhan mereka sendiri. Lantas, untuk apa kita memercayai mulut manis mereka?


Kasus Semau: Memalukan!


Berita yang sedang panas didiskusikan saat ini yakni adanya kegiatan besar yang diselenggarakan di Semau, NTT. Menurut informasi valid, Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat pun terlibat di dalamnya.


Kegiatan resmi yang disebut sebagai pengukuhan Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) Kabupaten dan Kota se-Provinsi NTT itu tak lebih dari sebuah pesta pora. Ada konser musik dan joget-jogetan massal yang dilakukan oleh para pejabat negara yang tidak tahu malu. Mereka telah menjilat ludah sendiri.


Namun, pertanyaanya ialah, mengapa Pihak keamanan tidak membubarkan pesta a la pejabat negara tersebut? Apakah, pihak keamanan yang adalah pelindung masyarakat juga terlibat di dalam pesta itu sehingga otak dan hati menjadi tumpul melihat pesta yang jelas-jelas melanggar Prokes?


Bisa kita bayangkahn, seandainya, masyarakat kecil di Besipae menyelenggarakan pesta, pasti banyak di antara mereka dipukul atau ditumbuk wajahnya. Ya, inilah ketidakadilan yang terjadi di NTT.


Para pejabat dibiarkan berpesta sambil bernyanyi sedangkan masyarakat menjerit karena tidak punya uang untuk “membeli” surat rapid dari Rumah sakit. Sungguh terlalu. Ini sebuah fakta yang membuka mata masyarakat NTT agar tidak mudah percaya dengan omongan para poitisi.


Masyarakat diingatkan untuk tetap kritis dan melawan ketidakadilan yang dibuat oleh pejabat. Lihatlah wajah para pejabat yang terlibat dalam pesta itu dan beri jempol terbalik untuk keteladanan mereka.


Para pejabat sangat menikmati hidup di tengah Covid-19. Punya banyak uang yang mempermudah mereka membeli obat, membayar Rumah sakit dan “membeli” surat rapid. Bisa berpesta secara massal sambil bernyanyi. Bahkan matipun sangat dipermudah oleh aturan yang mereka buat sendiri.


Almarhum Yentji Sunur misalnya, yang seharusnya dikuburkan di Kupang, namun lagi-lagi dengan alasan pejabat negara, ia harus dipulangkan dan dikuburkan di Lembata. Sedangkan masyarakat yang pulang dari perantauan harus menumpuk beberapa hari di Flores Timur larantuka, sebelum diberi izin kembali ke tanah leluhurnya sendiri.


Sungguh, memalukan. Akibat dari nihilnya teladan pejabat negara, tentu akan membuat masyarakat menjadi “kepala batu” dalam mematuhi Prokes. Bisa jadi masyarakat pun akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh para pejabat. Jika demikian, usaha kita untuk melawan Covid-19 barangkali tidak mencapai hasil maksimal. Lalu, siapa yang salah?

 

Post a Comment for "Kasus Semau: Pejabat Berpesta, Rakyat Susah Cari Uang untuk Rapid Test"