Pilkada Lembata 2024, Jangan Ada Lagi Jepang Pergi Nipon Datang
RAKATNTT.COM – Sepenggal kalimat multitafsir ini, mulai ramai dipakai oleh warga net yang menghuni grup facebook Bicara Lembata New (BLN): Jepang Pergi Nipon Datang. Apa maksudnya?
Tentu setiap orang memiliki rumus tafsir yang berbeda tentang
ungkapan tersebut. Namun, sudah menjadi pengetahuan umum bahwa ungkapan
tersebut menggambarkan sebuah harapan baru, harapan akan perubahan yang lebih
baik di suatu wilayah tertentu. Jangan ada lagi penjajahan, penindasan gaya
lama maupun baru dan lain-lain.
Kata jepang dan nipon
menggambarkan akan kekuatan penjajahan. Maka, dalam kaitan dengan kesejahteraan
bersama, hal yang diinginkan ialah tidak ada lagi bentuk kekuasaan yang
menyimpang, yang berakibat buruk pada kemajuan sebuah daerah.
Tulisan singkat dengan
bahasa sederhana ini akan fokus pada situasi terkini menjelang pesta demokrasi –
pesta berarti menghambur-hamburkan uang kan? – di Lembata yang akan berlangsung
2024 mendatang. Persiapan menjelang momen menghambur-hamburkan uang negara
tersebut, sudah mulai ramai diperbincangkan publik Lembata baik secara online
maupun sebaliknya.
Di kampung-kampung
misalnya, sudah ada isu-isu tokoh politik dan karya politiknya yang menjadi
buah bibir masyarakat. Rivalitas ide mulai dibangun oleh beraneka macam kubu
dengan tujuan yang berbeda pula. Tahu to
orang kampung. Bukan hanya itu, lebih ramai dan kacau lagi, jika kita
memantau komentar-komentar warga net yang menghuni BLN.
Ada istilah akun palsu
dan asli. Di sana kita akan temukan banyak sekali komentar; ada perang
argumentasi untuk menjagokan tokoh politik tertentu maupun untuk menjegal dan
mencari kesalahannya sebagai referensi untuk menjatuhkannya. Itu biasa dalam
politik. Sebab pemimpin politik, menurut keyakinan kuno orang Yunani berarti
dewa yang kelihatan di dunia. Artinya, ia harus benar-benar bersih.
Untuk menghindari makna
ungkapan Jepang pergi nipon datang (di Lembata), maka masyarakat, partai
politik dan komponen politis lainnya yang terkait mesti sadar bahwa pemimpin
yang akan diusung maupun dipilih adalah sosok yang mampu membawa prospek
perubahan yang lebih baik.
Karena itu, mesti ada
kesadaran komunal bahwa pemimpin harus bersih dari latar belakang politik yang
kotor, misalnya tak pernah terlibat dalam proyek-proyek mangkrak di Lembata. Mengapa?
Jawabannya adalah proyek mangkrak menjadi salah satu bukti kekuasaan yang
merugikan Lembata. Maka, yang terlibat dalam misi proyek mangkrak mesti dinilai
sebagai orang yang tak bertanggung jawab dan turut mendukung kehancuran politis
di Lembata. Apakah orang-orang model itu layak disanjung-sanjungkan menjadi
orang nomor satu Lembata 2024 mendatang? Bukan hanya ketokohannya melainkan kritis
juga terhadap kendaraannya alias partai politiknya.
Tentu saja, kesadaran
ini mesti juga berawal dari para politisi terlebih dahulu, dari nurani
terdalam. Ia mesti mampu mengatakan kebenaran (parrhesia). Parrhesia berasal
dari kata bahasa Yunani “Pan” yang berarti segala sesuatu (everything) dan “Rhema”
yang berarti yang dikatakan (Kondrad Kebung, 1997). Istilah parrhesia berkaitan
erat dengan pemikiran Michel Foucault. Orang yang mengatakan kebenaran disebut
parrhesiast.
Pertanyaan sekarang
ialah; apakah para pemain politik mampu menjadi parrhesiast? Tidak mudah
tentunya. Sebab, dalam politik yang salah seringkali dinilai sebagai yang
benar, apalagi kalau sudah ada duit. Sementara
itu, masyarakat di kampung-kampung tidak mendapat edukasi yang baik tentang
politik itu sendiri. Pertanyaan lanjutannya; siapa yang memberikan edukasi
politik? Apakah dari para politisi? Eh,
bukannya mereka suka berbohong? Pembohong kok mau jadi guru politik!
Akibatnya, Masyarakat dibiarkan
menjadi objek politik yang mudah digiring dengan slogan-slogan politik palsu
untuk memenangkan turnamen politik. Ada isu SARA yang mulai dibangun. Di Lembata,
isu seputar ini sudah lama terdengar. Masyarakat kemudian digiring untuk
memilih pemimpin satu suku atau daerah, bukan lagi melihat pemimpin dari aspek
kemampuannya.
Hal-hal terkait seperti
inilah, menurut penulis sulit membuat masyarakat menjadi cerdas berpolitik dan
menentukan pemimpin yan tepat. Masyarakat masih terpaku pada isu kewilayahan,
memilih partai bukan melihat ketokohan dan hal-hal lain. Dengan demikian; apakah
jepang pergi nipon pun pergi ataukah sebaliknya jepang pergi nipon datang?
(Admin)
Post a Comment for "Pilkada Lembata 2024, Jangan Ada Lagi Jepang Pergi Nipon Datang"
Komentar