Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Senyum Manis Ino-Ino Edang di Hutan Natu



RAKATNTT.COM – Orang yang tak suka memberi senyum identik dengan terik panas di tengah hari, membuat mata sakit dan pedih. Orang yang tidak suka memberi senyum akan membuat dirinya ditakuti dan bisa juga dijauhi oleh teman dekatnya. Sebab, senyuman adalah salah satu gambaran akan ketulusan jiwa, keterbukaan hati untuk saling menyapa.

Di tengah hutan natu yang hijau daun dan sejuk udaranya, Kamis (12/5) segenap Orang Muda Katolik (OMK) yang berasal dari Stasi Santo Petrus Hobamatan menikmati alam bebas di hutan yang memiliki cerita legenda asal-usul unik. Konon katanya buah Natu (Sawo Kecik) tersebut, berasal dari kacang merah yang kemudian berubah bentuk menjadi Natu. Legenda ini, diakui kebenarannya oleh masyarakat lokal setempat.

Hutan Natu yang masih sangat alamiah ini luasnya sekitar 2 Hektar. Pada bagian selatan area hutan Natu, anda dapat langsung menjamah pasir pantai yang putih dan bersih juga ombak laut Sawu yang tak bosan bernyanyi lewat alunan gemuruhnya. Di sana, bukan hanya pepohonan Natu, melainkan juga ada jejeran pohon pandan di sepanjang pantai, layaknya pagar pembatas antara area hutan Natu dan pasir pantai. Tak jauh dari situ, ada pemandangan lainnya yakni batu melang yang menjorok jauh ke arah laut layaknya sebuah pelabuhan laut yang kokoh.

Di tengah hutan Natu, pada Kamis itu, terlihat pemandangan yang amat cantik memesona yakni senyum Ino-Ino Edang atau “perempuan-perempuan Kedang” yang masuk dalam barisan OMK Hobamatan. Mayoritas mereka adalah para gadis yang masih jomblo alias belum memiliki pasangan resmi yang diberkati Pastor di depan Altar Tuhan. Ada In Inang, Esta, Vivi, Donce, Itha, In Orolaleng, Nona dan masih banyak Ino Edang lainnya yang memberikan senyum usai air mata mereka mengering, Kamis itu.

Latar belakang terlihat pemandangan batu melang

Ya, ada sebuah pristiwa yang layak anda ketahui. Saat mereka disuruh oleh pemimpin doa untuk merefleksikan jati diri mereka, tak lama berselang, ada di antara mereka yang meneteskan air mata. Entah apa gerangan, penulis belum menggali informasi tersebut secara pribadi pada mereka. Penulis hanya bisa fokus membaca senyuman bibir mereka yang aduhai membuat mata bersinar dan jiwa tak tenang.

Di tengah-tengah mereka ada juga seorang Biarawati asal kampung Leuhapu, Desa Mahal II, Kecamatan Omesuri. Biarawati yang bertugas di Italia tersebut, biasa disapa Suster Blandina Derang Leuhapu. Ia amat rendah hati, berkerudung dan berkaca mata.

Saat momen mengabadikan kegiatan dengan berfoto bersama, Suster Blandina dikelilingi oleh Ino-Ino Edang. Mereka tampak bahagia. Hal itu terbaca gampang dari raut wajah dan senyuman yang mekar dari bibir mereka.

Terlepas dari senyuman molek Ino-Ino Edang tersebut, kegiatan di hutan yang sangat dijaga kemurniannya oleh warga lokal setempat itu, paling kurang menyodorkan dua catatan penting untuk dimaknai.

Kepala Desa Mahal II, Kecamatan Omesuri, Lembata, Yohanes Guido Tua (berdiri) saat membawakan sambutan

Pertama, Menjaga Hutan

Hutan itu sumber oksigen. Tanpa hutan, umur manusia tak sampai satu jam lamanya. Oleh karena itu, keakraban dengan alam, khususnya hutan Natu mesti ada nilai positif lain yang disadari secara komunal yakni menjaga alam. Jangan memotong pohon sembarangan, jangan membakar hutan, khususnya saat berburu binatang hutan seperti rusa dan babi.

Kedua, Maksimalkan Potensi Alam

Yang dimaksudkan ialah pariwisata. Hutan Natu bukan sekadar tempat untuk menimbah inspirasi melalui kegiatan rohani melainkan ada prospek yang mesti disusun ke depan oleh warga dua Desa yakni Mahal dan Mahal II yakni menjadikan hutan Natu sebagai obyek wisata. Mengapa tidak? Pertanyaan selanjutnya, kapan Dua Desa “kakak beradik” mengeksekusi konsep-konsep cemerlangnya untuk menjadikan hutan Natu bermanfaat secara finansial untuk kesejahteraan masyarakat Desa? Apakah menunggu sampai setelah Pemilu Legislatif 2024? (Admin)

 

 

Post a Comment for "Senyum Manis Ino-Ino Edang di Hutan Natu"