Tak Ada Raja Buyaq Abe di Kedang , Penulis Harus Kritis Baca Sejarah
![]() |
Ilustrasi pexel |
RakatNtt - Masyarakat Kedang di Lembata masih berdebat tentang status atau kedudukan raja Kedang atau kerajaan Kedang. Artinya, sampai saat ini belum ada bukti valid yang menegaskan bahwa ada raja di Kedang atau ada kerajaan Kedang. Dengan kontroversi seperti ini, seorang penulis sejarah Kedang harus mampu membaca setiap tuturan dan bukti-bukti secara kritis dengan pendekatan yang bisa diterima. Bukan sebaliknya mencatat saja apa yang didengar - layaknya seorang sekretaris kerajaan.
Sebagai orang Kedang, tentu saya punya tanggung jawab moral untuk mendalami sejarah Kedang tatkala muncul banyak klaim versi lisan yang terkesan saling memaksa. Dari semua pendalaman, baik versi lisan maupun bukti-bukti tertulis dan bukti fisik sejarah, saya dapat menyimpulkan bahwa tak ada raja di Kedang. Apalagi ada yang menulis bahwa raja pertama di Kedang bernama Buyaq Abe; ini adalah kesimpulan tanpa data dan terburu-buru.
Selain mengapresiasi tentu saya juga melalui tulisan ini berusaha mengkritisi versi bahwa pernah ada konferensi Kedang untuk mengangkat Buyaq Abe sebagai raja Kedang yang memerintah kerajaan Kedang.
Kedang tak Kenal Raja
Sampai saat ini orang Kedang tak mengenal raja, yang mereka kenal adalah Rian Baraq Kalikur yang bermula dari Sarabiti Lawe sejak tahun 1850 - yang juga ditulis oleh Barnes. Rian Baraq tak berdiri sendiri, melainkan ada di bawah kekuasaan raja Sagu yang ditopang oleh kolonialisme Belanda. Hal ini dipertegas misalnya melalui upeti-upeti berupa hasil bumi maupun upeti gading yang terkumpul selalu dibawa ke Sagu. Mengapa harus ke Sagu? Pembaca yang kritis silahkan simpulkan sendiri.
Kemudian ada yang mengklaim, sebelum beraliansi dengan Sagu, sudah ada raja Kedang. Pertanyaan saya raja siapa? Sejak kapan jadi raja? Siapa yang memilihnya menjadi raja untuk Kedang dan apa bukti-bukti peninggalannya?
Dari beberapa pertanyaan ini saja, kita sudah bisa mematahkan versi lisan yang menyatakan bahwa Buyaq Abe adalah raja Kedang pertama diangkat saat konferensi Kedang di Aliuroba. Versi lokal ini, harus dikritisi secara kritis. Sebab mayoritas orang Kedang tak pernah mengenal Buyaq Abe sebagai raja. Bahkan turunan Ribu Roman di Aliuroba sendiri tak pernah mengenal adanya raja Buyaq Abe di Aliuroba. Buyaq Abe adalah leluhur orang Kedang yang melakukan dorong dopeq dari Uyelewun.
Namun, ia tak pernah diangkat sebagai raja Kedang bahkan tak pernah ada catatan sejarah valid bahwa Buyaq Abe tinggal di kampung lama Aliuroba sekarang. Yang jelas bahwa Ribu Roman dan Rahaq Roman punya kampung lama di Aliuroba.
Selanjutnya, perpindahan Rahaq Roman dari Aliuroba ke Aliur disebabkan oleh bencana alam bukan perpindahan wilayah pemerintahan. Pada zaman tersebut, manusia Kedang masih nomaden, hidup di hutan dan di kampung lama mereka masing-masing. Artinya, mereka belum mengenal yang namanya raja tunggal, apalagi bersepakat memilih Buyaq Abe sebagai raja. Ini adalah kesimpulan tanpa pedalaman dan penelitan yang kritis.
Oleh karena itu, dengan kontroveri sejarah Kedang, kita membutuhkan penulis profesional dan berpengalaman dengan menggunakan data-data dan pendekatan ilmiah yang bisa diterima secara masuk akal.
Sarabiti Lawe
Dari catatan antropolog Sosial R.H. Barnes, dan versi lokal yang dominan sama, sebenarnya sudah cukup membantu kita mendalami sejarah kekuasaan di Kedang. Kesimpulan yang lebih bisa diterima adalah Sarabiti Lawe menjadi Rian Baraq pertama di Kalikur. Namun, ia bukanlah pemimpin tunggal untuk wilayah Kedang. Dari beragam perang lokal di Kedang, sudah menegaskan bahwa pada zaman tahun 1800-an belum ada yang namanya Rian Baraq tunggal di Kedang apalagi pengklaiman tentang raja Kedang.
Perang lokal yang melibatkan orang Meo dari Timor dan perang-perang saudara lainnya menegaskan tak ada pemimpin tunggal. Masing-masing kampung sudah punya pemipinnya yang disebut mukur meker (sulung) yang bertugas mengatur adat-istiadat kampung bukan hegemoni wilayah kekuasaan. Namun, harus diakui bahwa Sarabiti Lawe adalah Rian Baraq Kalikur pertama.
Mengapa dia disebut Rian Baraq kalikur? Jawaban yang paling logis karena ia sudah mengenyam pendidikan agama islam sehingga wawasannya sudah cukup luas. Dengan demikian, dapat kita sepakati bahwa islam sudah ada di Kalikur sebelum tahun 1850. Setelah zaman Sarabiti Lawe dan sampai pada zaman Rian Baraq berikutnya yang membangun kandang kerbau - pemberian dari Meo Timor - di Rumang, mulai munculah hegemoni kekuasaan.
Dari tulisan Barnes - diperkirakan kandang kerbau itu milik Musa Sarabiti atau Lawe Sarabiti. Pada zaman inilah kerbau terlepas dan merusak tanah-tanah subur dan tanaman di sepanjang wilayah selatan Kedang dari Tobotani sampai Atenila. Warga lokal tentu tak puas dan harus melawan, maka bangkitlah kemarahan Sili Laka. Dari catatan ini, menegaskan orang pedalaman belum dipimpin oleh seorang Rian Baraq tunggal. Bahkan Sili Laka sendiri pada zaman itu bukan seorang pemimpin tunggal orang pedalaman.
Sili Laka baru mulai berjuang (pendukungnya dari Leuhapu sampai Leutoher dan Demong) dan melawan untuk mempertahankan hak-hak tanah orang Kedang pedalaman yang diklaim sebagai milik sepihak Rian Baraq, melalui tanda bekas kaki kerbau. Jadi harus dicatat bahwa Sili Laka melawan bukan karena persaingan kekuasaan melainkan berjuang untuk menjaga hak-hak tanah milik para petani pedalaman. Namun demikian, Sili Laka akhirnya dibunuh dengan beragam versi hingga saat ini. Ia layak dikenang sebagai pahlawan bukan pembangkang.
Justru setelah kematian Sili Laka, Rian Baraq secara gampang memperluas wilayah kekuasaan ke pedalaman. Namun, harus diingat bahwa pada zaman ini, orang Kedang belum pernah mengadakan konferensi untuk mengangkat seorang Raja tunggal di Kedang. Rian Baraq memang ada tetapi tidak diangkat oleh orang Kedang secara keseluruhan. Rian Baraq berdiri sendiri di kampungnya Kalikur, kemudian selalu meminta bantuan dari Meo maupun orang Leuhoeq dan Leuwayan. Dengan demikian, jika teman-teman di Kalikur ingin menyebut Raja, maka lebih tepat adalah Raja Kalikur, sedangkan untuk konteks Kedang disebut Kapitan Kedang.
Nah, pada zaman Sarabiti Musa-lah, bisa kita sepakati tanpa bantahan bahwa ia menjadi Rian Baraq tunggal di Kedang bertepatan dengan terbentuknya persatuan 44 kampung sesuai dengan jumlah upeti gading yang terkumpul dan diserahkan kepada raja Sagu yang didukung oleh tentara Belanda. Lagi-lagi, kita bertanya, mengapa gading harus diserahkan ke raja Sagu? Pembaca sejarah yang kritis, silahkan jawab sendiri. Orang-orang Leuwayan dan sekitarnya harus menyerahkan hasil bumi dan diantar ke Sagu menggunakan perahu Sirin Totoq milik Sarabiti Musa. Ia disebut sebagai Kapitan oleh Belanda.
Pada tahun 1903-1904, terjadilah perang Hinga dan raja Sagu pun meminta bantuan Rian Baraq Kalikur. Rian Baraq mengundang mi'er-mi'er atau panglima perang setiap kampung yang dianggap mampu untuk ikut berperang di Hinga, Adonara. Artinya, pada awal tahun 1900-an, setelah kematian Sili Laka (sebelum terbentuknya persatuan 44 kampung), dominasi kekuasaan Rian Baraq di seluruh Kedang sudah mulai terlihat. Hal ini ditandai dengan dukungan panglima perang Kedang kepada Rian Baraq untuk terlibat dalam perang Hinga.
Proses terbentuknya persatuan 44 kampung baru dimulai saat Raja Araking Kamba dan Belanda mengancam akan membakar Kalikur sekitar awal tahun 1900-an. Dari beragam versi, bisa diperkirakan proses terbentuknya persatuan 44 kampung berakhir sampai tahun 1915. Hal ini didukung pula dengan terbentuknya sekolah Belanda (sekolah rakyat) di Kekar.
Pada sekitar tahun ini pula, para Rian Leu dibentuk dan dipilih oleh Rian Baraq sebagai perwakilannya di 44 kampung. Jadi proses terbentuknya persatuan 44 kampung tidak sekali jadi. Ia berproses bertahap-tahap dan diperkirakan berpuncak pada 1915.
Masing-masing kampung juga membawa lapaq mi’er (batu gaib) untuk diletakkan di Kalikur sebagai bukti persatuan sekaligus mengakui adanya Rian Baraq tunggal untuk memimpin 44 kampung - kecuali Dolulolong dan mungkin masih ada yang lain? Namun, perlu kita catat bahwa proses terbentuknya persatuan 44 kampung melalui ancaman dan pemaksaan oleh Belanda dan raja Sagu melalui Rian Baraq Sarabiti Musa, sang pemilik perahu Sirin Totoq.
Bahkan setelah Sarabiti Musa, sampai yang terakhir pada zaman Mas Sarabiti, perlawanan para petani masih berlanjut. Apakah sejarah perlawanan ini tak boleh kita catat?
Kalikur adalah Pasar
Walaupun saya bukan orang Kalikur, tetapi saya juga satu turunan dengan orang Kalikur. Karena itu, saya pantas memberikan pikiran untuk mendalami masa lalu di Kalikur. Nama Ai li’ur atau Kalikur diambil dari nama ai leur. Versi-versi lokal juga demikian. Namun, apakah Kalikur ini diambil dari nama aliuroba oleh Rahaq Roman ataukah sebelum Rahaq Roman sudah ada nama Kalikur sekarang?
Sebab selain Aliuroba, ada juga nama tempat Aliur di daerah Leuhoeq yang dulunya juga pernah menjadi tempat tinggal leluhur suku Leu Werung. Pertanyaannya, apakah Kalikur ini diambil dari Aliuroba atau dari Aliur di Leuhoeq oleh leluhur dari Leu Werung? Silahkan digali lagi masa lalu sebelum Rian Baraq.
Sekadar untuk menghubungkan dengan versi lain, orang Pantar juga mengenal Kedang dan Kalikur pada zaman kerajaan Munaseli. Bahkan ada sebuah sumber menjelaskan pasar Munaseli, Lepan batan dan Kedang di Kalikur sebagai saling berhubungan. Sehingga ketika pecah perang kerajaan Munaseli dan Pandai, leluhur saya yang bernama Lako Bori, yang waktu itu tinggal di Hunaero-Kalikur terlibat dalam perang tersebut.
Jika diurutkan sesuai silsilah mulai dari saya sudah 16 lapis dan kemungkinan terjadi sekitar tahun 1000/1100. Berarti kampung Kalikur sudah ada pada zaman itu. Maka pertanyaan kita apakah pada zaman itu Rahaq Roman sudah dorong dopeq ke Kalikur sekarang? Jika dihubungkan dengan silsilah mulai dari Sarabiti Lawe yang memerintah tahun 1850, maka bisa diprediksi Rahaq Roman ke Kalikur sekitar tahun 1300-an. Silsilahnya: Sarabiti Lawe - Lawe Datoq - Datoq Lawe - Lawe Erung - Erung rahaq - Rahaq Roman.
Hal lain yang tak perlu dibantah, Kalikur adalah pelabuhan dan pasar. Hal ini kemudian mendorong orang China ke Kalikur tahun 1910. Kalikur juga adalah rumah pendidikan awal mula orang Kedang. Artinya, Kalikur sudah punya cerita luar biasa di masa lalu sebelum adanya Rian Baraq Sarabiti Lawe.
Apa yang Harus Kita Buat?
Dengan demikian, kita tak boleh terlalu cepat menyimpulkan bahwa ada raja di Kedang. Yang paling penting adalah menelusuri prosesnya, bukti-bukti fisik dan data-data lisan maupun tertulis secara komprehensif. Baru kemudian, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa orang Kedang punya raja atau tidak! Bukan sebaliknya menyimpulkan dulu baru menelusuri prosesnya.
Raja bukan sekadar disinonimkan dengan pemimpin! Sebab dengan demikian, akan ada banyak orang mengklaim diri sebagai raja Kedang. Status raja adalah simbol harga diri. Karena itu, tentu kita mesti menelusuri apa saja syarat-syarat seseorang disebut sebagai raja Kedang.
Selain itu, menulis sejarah kekuasaan di Kedang harus jujur dan berimbang agar tak ada warisan menyimpang bagi generasi. Bahwa tak dimungkiri zaman kekuasaan Rian Baraq dari periode ke periode selalu ada cerita miring dan juga positif. Ada kolonialisme, feodalisme, pembunuhan, penjarahan hasil bumi dll.
Semua ini harus dicatat sebagai bahan refleksi bagi generasi Kedang. Setiap peradaban besar dunia, selalu punya cerita buram hukum rimba; Jakarta yang dulunya Batavia selalu berawal dari kolonialisme Belanda. Namun kini menjadi peradaban besar. Namun, para peneliti sejarah mencatatnya secara jujur. Lalu bagaimana dengan kita di Kedang? Yang harus kita lakukan pertama adalah menerima dengan pikiran terbuka dan mengakui sejarah buram masa lalu leluhur kita! Kemudian, dtulis secara obyektif dan komprehensif sebagai ilmu sejarah untuk kita.
Meneladani Rian Baraq
Pada tulisan lain, saya juga menulis hal-hal besar dari Rian Baraq yang patut kita teladani. Anda bisa baca DI SINI
Post a Comment for "Tak Ada Raja Buyaq Abe di Kedang , Penulis Harus Kritis Baca Sejarah"
Komentar