Bisakah Mengubah Budaya Buku Dese’ Telu di Kedang, Lembata?
![]() |
Buku Dese' Telu (Sumber Foto: Facebook) |
RAKATNTT.COM – Budaya sebagai hasil refleksi dan karya manusia selalu bersifat dinamis. Ia tidak bereksistensi sebagai sesuatu yang baku, melainkan selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu, dari konteks yang satu ke konteks yang lain. Dengan demikian, sebuah budaya bisa diubah.
Salah satu budaya ketat yang masih terus diwariskan yakni buku dese’ telu. Budaya ini, dipraktikkan
oleh masyarakat suku bangsa Kedang (Edang) di Kabupaten Lembata. Terlihat bahwa
masyarakat setempat sungguh-sungguh menghayati budaya ini pada momen
pesta-pesta rakyat, misalnya maten-bitan
(mati-bangkit, orang meninggal), pesta sambut baru, kitanan, pernikahan, hading mesang dan lain-lain.
Walaupun dianggap tabu untuk diubah oleh masyarakat setempat, tetapi
melihat kembali budaya ini secara kritis patut dipertimbangkan. Secara sosial,
tentu buku dese’ telu sangat
membantu. Sebab tuan pesta tidak akan merasa sendiri dan kekurangan. Semua kalangan
atau kerabat-keluarga yang datang pasti membawa buku dese’ telu yang didalamnya berisi beras, jagung giling, jagung
titi, ikan kering, kopi dan gula. Namun, secara ekonomis patut dilihat kembali.
Dalam wawancara dengan beberapa orangtua perempuan di Kedang, mereka
mengatakan, buku dese’ telu memakan
biaya sekitar Rp. 150.000. Bayangkan jika dalam satu hari terdapat dua atau
tiga kali pesta rakyat. Orang Kedang juga rata-rata bekerja sebagai petani biasa, tentu budaya ini patut dipertimbangkan kembali, kalau bisa.
Pemikiran ekonomis seperti ini, barangkali tak pernah dibayangkan oleh
masyarakat setempat karena aspek budaya sosial lebih diutamakan. Jadi entah
rugi atau untung tidak penting, intinya bisa membantu sesama keluarga dalam
momen pesta rakyat. Orang yang mengkritik budaya ini juga seringkali dicap “sombong”
– barangkali penulis juga akan mendapat kata yang sama, hehehe.
Hal lain yang perlu dipikirkan juga bahwa dalam pesta rakyat, yang
diundang hadir bukan hanya satu marga melainkan juga marga-marga dan sanak
keluarga yang lain. Dengan demikian, tentu semuanya bahu membahu, tolong
menolong dalam pesta ini. Artinya, buku
dese’ telu dalam momen ini sudah lebih dari cukup.
Maksud tulisan ini bukan memaksa orang Kedang untuk mengubah budaya buku dese’ telu melainkan mengajak untuk
berpikir kembali tentang budaya ini dengan pertanyaan; apakah budaya buku dese’ telu (3) bisa diubah? Misalnya
menjadi buku dese’ sue (2) atau ude’ (1)?
Jika bisa, maka prosesnya seperti apa? Apakah bisa melalui kesepakatan
bersama semua tokoh adat Kedang? Kalau tidak bisa diubah, anggap saja tulisan ini tidak berguna! (RO/Red)