Perempuan dan Kericuhan El Tari Memorial Cup Lembata 2022
![]() |
Potret Kericuhan di Gelora 99 Lembata, El Tari Memorial CXup 2022, Jumat (23/9/22) di Kabupaten Lembata, NTT |
Setelah meluapkan
amarah di “rumah orang,” berseliweran informasi di media sosial terkait sumber
awal dari kericuhan yang terjadi saat Perse Ende versus Perseftim Flores Timur
berlaga merebut tiket semifinal EL Tari Memorial Cup (ETMC) Lembata 2022. Ada yang
mengatakan, amarah para suporter meledak karena aparat keamanan memukul salah
seorang suporter perempuan.
Informasi ini, kemudian
dimuat media detikdata. Walaupun begitu, pihak kepolisian belum memberikan
informasi resmi terkait penyebab awal dari kericuhan tersebut. Mayoritas warga
NTT yang tak respek terhadap ulah buruk tersebut mengambil kesimpulan bahwa
ledakkan amarah membabi buta itu disebabkan karena ketidakpuasan menerima
kekalahan.
Nah, kembali pada judul
artikel di atas. Perempuan Lamaholot itu ibarat ibu bumi yang memberi
kehidupan, maka penghargaan terhadapnya tak bisa diperdebatkan lagi. Itu kearifan
lokal lamaholot, bersifat mutlak.
Namun, dalam konteks
ETMC 2022; apakah perempuan dibela dengan cara merusak fasilitas Gor 99? Ini ajaran
darimana?
Melihat karakter
sebagian oknum suporter seperti ini, konsep kearifan lokal tidak boleh dipakai
untuk melegitimasi kericuhan. Jika benar bahwa aparat memukul suporter
perempuan, tentu saja ada penyebab yang mendahuluinya. Menurut video yang
beredar dan informasi dari banyak pihak yang menyaksikan secara langsung,
sesungguhnya detik-detik awal potensi munculnya kericuhan sudah terjadi sebelum
aparat mengamankan situasi dengan sedikit “keras.”
Bukan bermaksud membela
aparat melainkan mau mengatakan bahwa tindakan diambil oleh aparat dengan
tujuan positif supaya situasi tetap kondusif. Dengan demikian, kearifan lokal
yang suci murni itu tidak boleh dikaitkan dengan ulah para suporter yang
memerkosa kearifan lokal itu sendiri.
Coba Anda bayangkan,
jika seorang perempuan dengan sengaja membakar rumah orang; apakah dibiarkan
begitu saja dengan alasan kearifan lokal?
Oleh karena itu, yang
mesti menjadi bahan refleksi pasca kejadian itu ialah sportivitas dalam
menerima kekalahan. Hal ini penting karena sebelumnya, saat Perseftim menjamu Persematim
Manggarai Timur, potensi kericuhan sudah menampakkan dirinya dan kemudian
meledak saat menjamu Perse Ende.
Terkait hal ini,
menurut saya, ada kelalaian dari pihak keamanan. Seharusnya, pihak keamanan sudah
membaca potensi munculnya kericuhan saat Perseftim melawan Perse Ende. Hal ini
mesti sudah dipikirkan matang-matang oleh aparat, bukan setelah kejadian yang
merusak fasilitas Gor 99 dan mencoreng nama baik ETMC 2022.
Lebih jauh dari itu,
kericuhan ini, mesti menyadarkan warga NTT untuk tidak melakukan hal yang sama
ini pada pertandingan-pertandingan berikutnya. Sebab, benar kata Abdur, di NTT,
pertandingan berakhir jika sudah terjadi baku pukul. Ini bukan lelucon!
Kita mesti merefleksikan kebiasaan buruk ini, jika sepak bola NTT mau maju menjadi baik. Kericuhan sering terjadi, lalu kapan sepak bola NTT berkembang secara positif?
Kearifan lokal mesti membentuk otak dan nurani serta fisik kita menjadi manusia beradab tinggi juga saat menyaksikan turnamen bola kaki atau di tempat lain, ketika menjual ketupat di pelabuhan saat kapal berflabuh; tata bahasa dan karakter kita mesti mencerminkan nilai kearifan lokal itu sendiri. (Red/RO)