Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Manusia dan Waktu

 

 


Semua kita adalah makhluk yang menyejarah. Hidup dalam ruang dan waktu. 

Sebagai makhluk yang meruang (dalam artian spasial-fisikal), tentu kita membutuhkan lingkungan sebagai mediator untuk mengekpresikan diri, memaksimalisasikan potensi diri dan bersosialisasi. 

Dengan demikian, kita tidak dapat mengada tanpa orang lain. Inilah kenyataan faktual dari eksisintensi manusia. Manusia menemukan dirinya dalam ruang, dalam keberadaan dengan sesama. Oleh karena itu, manusia harus senantiasa berkoeksistensi dalam multikulturalisme, dalam pluralisme, dalam keberagaman. Menyangkali keberagaman sama halnya dengan mengingkari kemanusiaan manusia. 

Sebagai makhluk yang mewaktu, manusia menemukan dan menyadari kefanaan dan kesementaraan hidupnya. Pada titik batas dan waktu tertentu (yang masih tanda tanya), hidupnya akan berakhir. Bertolak dari kenyataan ini, kita perlu bertanya: bahwa sebelum waktunya tiba (kenyataan masa depan), apa yang telah saya buat (refleksi masa lalu – merunut riwayat tindakan, perkataan yang sudah dibuat), dan apa yang sedang atau tengah saya buat (refleksi masa sekarang – bertolak dari masa lalu)?

Saya memfokuskan renungan ini pada ikhwal kedua yakni manusia adalah makhluk mewaktu dalam 3 kerangka pertanyaan filosofis tadi: apa yang telah saya buat, apa yang sedang saya buat dan apa yang akan saya alami di masa depan sebelum waktunya tiba?

Saya memulai dengan menempatkan manusia dan waktu pada satu garis lurus. Oleh sebab itu, hal pertama yang perlu untuk direfleksikan ialah waktu. Setiap kita memiliki definisi dan tafsiran yang bervariasi tentang waktu – yang hemat saya, memiliki pengaruh yang signifikan bagi kita dalam menjalankan hidup. Tafsir dan definisi yang berbeda mengindikasikan bahwa sejatinya, waktu bukan hanya tentang detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dan seterusnya. 

Atau waktu bukan sekadar kalender ataupun perhitungan yang dibuat manusia. Waktu lebih kompleks, meski secara objektif dan transenden merupakan ciptaan Tuhan. 

St. Agustinus menafsir waktu dalam dua konteks yakni waktu subjektif dan waktu objektif. Waktu subyektif adalah waktu yang kita rasakan di dalam batin. Sedangkan, waktu obyektif adalah waktu sebagai mana tertera di dalam jam dan kalender. Waktu yang diukur dalam hari, jam dan tanggal yang kemudian dipergunakan sebagai panduan oleh banyak orang di dalam hidupnya. 

Kedua waktu ini berjalan dengan logika yang berbeda. Satu jam duduk di dalam kapela/gereja dan satu jam melek di depan layar hp memiliki logika yang amat berbeda. Secara obyektif, keduanya sama, yakni satu jam.

Namun, secara subyektif, singkat/panjang waktu satu jam tsb amatlah berbeda. Satu jam dalam kapela terasa amat panjang, melelahkan. Sedangkan satu jam di depan layar hp terasa amat singkat, kurang panjang. 

Dalam dua konteks ini, disposisi batin dan intelektual memainkan peranan sentral. Oleh sebab itu, kita dituntut untuk mengkondisikan batin dan intelektual secara proposional terhadap hal-hal, rutinitas, pekerjaan dan sebagainya yang seturut kita kurang membahagiakan.

Dengan demikian, kita akan selalu merasa kekurangan waktu untuk melakukan lebih banyak tugas dan kebaikan. Kita akan menciptakan nuansa kebahagiaan individual dan komunal dalam lingkungan di mana kita tinggal.

Ada juga yang melihat waktu sebagai sesuatu yang linear atau yang bergerak lurus dan dipetakan dari masa lalu, masa kini dan masa depan. Ketiganya dianggap berbeda, walaupun saling berhubungan.

Jika masa lalu lewat, maka ia sudah selesai dan tak akan bisa kembali lagi. Orang-orang yang menafsir demikian, cenderung melihat waktu hanya sebagai sumber daya terbatas yang bisa habis terpakai. 

Jika tidak menggunakan waktu secara produktif, maka ia seperti membuang uang saja. Pandangan semacam ini membuat hidup penuh dengan bertumpuk-tumpuk rencana yang detil. 

Pada usia tertentu, misalnya, ia sudah harus purna karya, menikmati sisa hidup tanpa penyakit. Pada usia yang lainnya, ia sudah harus sukses, memiliki jabatan, dan sebagainya. Alhasil, apabila kenyataan berkelit dari rencana atau rencana bertolak-belakang dari kenyataan, maka yang ada hanyalah kekecewaan dan kesedihan serta depresi akut. 

Ada pandangan lain tentang waktu. Waktu dilihat sebagai sebuah siklus tetap yang senantiasa berhubungan antara masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang. Waktu bukan lagi kenyataan yang linear melainkan melingkar. 

Orang yang berperspektif demikian berada di dalam kenyataan, dan selalu hidup di dalam tiga kategori waktu yang terjadi secara bersamaan. Namun, ada paradoks mendasar tentang tiga kategori waktu ini bahwasanya secara matematis waktu sekarang tidak memiliki ketebalan apa pun.

Seolah-olah hanya garis yang maha tipis antara apa yang sudah lalu dan apa yang akan datang. Sekalipun demikian tipisnya, toh sekarang itu tidak kosong sebab secara alamiah kita tahu bahwa kita hidup di masa kini. Masa lalu telah lewat, ia hanya sebentuk ingatan atas peristiwa yang tak lagi ada. 

Masa depan juga tidak sungguh ada, karena ia hanya terbentuk dari harapan dan bayangan semata. Jadi, jika dipikirkan secara tepat dan alamiah, yang ada hanyalah masa. Inilah paradoks yang mesti direfleksikan bersama. 

Kerapkali kita kurang menyadari bahwa masa kini adalah kenyataan alamiah dan malah meyakini masa lalu maupun masa depan sebagai kenyataan. Padahal keduanya secara alamiah tak ada. Terhadap masa lalu: Kita mengingatnya dengan berlebihan, sehingga terjebak dalam romantisme masa lalu: membanggakan pencapaian masa lalu dan menjadi pasif.

Ataupun kita cenderung introver, hidup dalam penyesalan dan kemarahan. Pada titik ini, kita lupa, bahwa kita memikirkan apa yang tidak ada secara alamiah. Akibatnya, kita justru membuang-buang energi percuma, serta menciptakan penderitaan tanpa alasan untuk diri kita sendiri. Kita juga terbiasa berpikir tentang masa depan. Kita terpaku pada rencana dan ambisi. Kita mengira, bahwa rencana dan ambisi adalah sesuatu yang nyata. Kita pun lupa, bahwa masa depan hanya sekedar bayangan semata. 

Namun, kita perlu menyadari bahwa kenyataan tentang waktu bukan hanya mengenai masa sekarang. Tapi pada intinya, yang hendak saya tekankan di sini ialah bahwa makna waktu amat bergantung pada perspektif, tafsir dan definisi kita. Ketika kita memilih untuk dibebani masa lalu, maka kita secara otomatis kita mengeliminasi masa kini, dan justru hidup dalam kekuasaan masa lalu. Ketika kita memilih untuk dibebani oleh ambisi dan rencana muluk masa depan, maka kita juga akan mengeliminasi masa kini, dan hidup dalam tekanan kecemasan akan hari esok.

Kedua perspektif ini menguras banyak energi dan menciptakan penderitaan. Namun, keduanya bisa dengan mudah dihindari dengan cara menjadi alamiah.

Secara alamiah, kita tahu, bahwa yang sungguh-sungguh nyata dan ada adalah masa kini yang tipis dan singkat. Jadi, kita tidak perlu sibuk memikirkan masa lalu dan masa depan. Kita hanya perlu fokus untuk pada saat ini, tanpa beban akut masa lalu dan ambisi serakah masa depan. 

Mari berakar pada waktu saat ini demi hidup yang lebih hidup. Berakar pada masa sekarang tidak berarti bahwa kita mengabaikan masa lalu. Kita tetap memiliki ingatan akan masa lalu, tetapi tidak terjebak secara mutlak di dalamnya. Kita pun tidak mengabaikan masa depan. Kita tetap memiliki harapan, rencana dan ambisi akan masa depan, tetapi tidak hidup di dalam bayang-bayangnya. (Oleh: Aditya Yusron, S. Fil). 


Beberapa sumber rujukan: Filsafat manusia P. Leo Kleden, SVD dan refleksi filosofis "aku dan waktu dari Reza A.A Wattimena (Dosen di Fakultas Filsafat Unika Widya Mandala Surabaya). ***

Post a Comment for "Manusia dan Waktu"