Ehe’ Ruku Panan, Hapang Lati Lara’, Ritual Membersihkan Suku-Tradisi Kedang, Lembata
RakatNtt.com – Membersihkan diri secara pribadi maupun kolektif sesungguhnya sudah terpatri dalam kebiasaan atau tradisi lokal masyakat Kedang, Kabupaten Lembata, NTT. Dalam kebiasaan setempat, masyarakat Kedang sudah mengenal adanya akibat buruk dari tindakan negatif yang dilakukan oleh manusia. Tindakan buruk tersebut akan merugikan pelaku bersangkutan maupun keturunannya.
Selain
itu, dalam kenyataannya, tindakan negatif tersebut, dilakukan karena rupa-rupa
alasan, misalnya konflik tanah, konflik harta benda atau jenis-jenis konflik
lainnya yang melibatkan satu suku dengan suku yang lain atau antar personal.
Pertanyaannya, apa contoh tindakan negatif tersebut? Jawabannya bermacam-macam
misalnya karena membunuh orang yang tidak bersalah hanya karena iri atau
dengki. Membunuh orang dengan tujuan untuk mendapatkan harta benda dari pihak
korban. Atau ada pula yang disebut keba
depi, sebuah ritual “hitam” dalam tradisi Kedang yang diyakini mampu
membuat orang “musuh” menderita dalam banyak bentuk termasuk meninggal dunia (Rawa
ratu).
Untuk
mengatasi persoalan di atas, maka orang Kedang akan melakukan sebuah ritual
yang disebut Ehe’ pe’ atau wating karang suku huna atau lebih
lengkap sudah tertulis pada judul artikel kecil ini yakni Ehe’ Ruku Panan, Hapang Lati Lara’. Berikut cuplikan singkatnya.
Wating Leu Tuan
Wating Leu Tuan
secara harafiah berarti membersihkan kampung lama yang menjadi kampung leluhur
oleh segenap anggota suku tertentu. Wating atau membersihkan bukan seperti
membersihkan sampah plastik yang berserakan di tanah melainkan wating yang
dimaksudkan yakni melakukan ritual sakral untuk membersihkan suku tertentu dari
segala rintangan atau kekuatan jahat yang datang dari luar maupun dari dalam
suku tersebut.
Untuk
melakukan ritual ini, maka suku bersangkutan harus mengundang molan (imam adat) yang memiliki
kompetensi khusus di bidang ini.
Molan
akan poan manu’ – dua ekor ayam – sampai nafas ayam itu dinyatakan benar-benar
putus kemudian molan akan memberikan lagi nafas – lewat mulut ayam – kepada dua
ekor ayam tersebut agar bisa hidup kembali. Jika ayam yang diberikan nafas oleh
molan tetap mati, maka molan akan mencari penyebabnya tetapi jika hidup maka
penyebabnya sudah diketahui oleh molan
(wangun pahe’).
Selain
dua ekor ayam, tersedia pula beberapa butir telur yang dipakai untuk membersihkan
anggota suku, (kodol manu’ tolor) termasuk rumah tinggal dari masing-masing
anggota suku. Kemudian dua ekor ayam dan telur tersebut akan dibawa untuk
dibuang di laut yang dalam sebagai tanda bahwa semua kotoran atau dosa atau
kekuatan jahat yang merugikan suku bersangkutan dibuang pergi jauh dan tidak
kembali.
“Wating
karang de’nu haeng piang de’nu, nema nili’ kara upa botin, mati’ kara peran
tein, nobol kara peran te’a upa leu kara peran awu’, ote sayin wula loyo ero
awu’, tua’ teda’ bayan wa’ miwa’, ta’ nore ai....tua’ buya’ no’o, tua’ napun,
be’ di bura bobo’.....”
Ehe’ Ruku Panan Hapang Lati Lara’
Seperti
perang senjata antara dua kubu militer, maka pada akhirnya mesti ada gencatan
senjata dan melakukan perdamaian. Kira-kira begitulah arti dari kata Ehe’.
Senjata yang panas mesti dijadikan dingin. Ehe’
Ruku Panan Hapang Lati Lara’ secara garis besar berarti semua yang jahat
mesti dilenyapkan. Keba depi “ritual
hitam” untuk mencabut nyawa orang mesti dihilangkan. Tak bolehg membiarkan
ritual itu terus memakan korban.
Maka,
pada kesempatan ini, molan akan
melakukan ritual yang dalam bahasa adat disebut ehe’ mie’ renga dan juga meminta restu kekuatan Wujud Tertinggi dan
alam semesta uhe awu’ untuk
menjadikan ritual ehe’ ini berjalan
baik.
Molan tanpa
perlu berijazah S2 secara spontan berkata-kata puitis mengalir seperti sungai. Bahasa
indah penuh makna tak henti-hentinya keluar dari mulut sang molan. Semua yang
diucapkan merupakan doa untuk melenyapkan yang jahat dan menghidupkan yang baik
bagi suku bersangkutan.
Anak
panah, busur dan tombak mini terbuat dari belahan bambu menjadi beberapa
peralatan yang disiapkan untuk memulai ritual Ehe’ Ruku Panan Hapang lati Lara’. Pada ujung anak panah ditancap
pula potongan halia yang berarti senjata
perang itu sangat panas dan pedis menghancurkan kehidupan. Maka pada
ritual ini, senjata perang mini tersebut akan dipatahkan sebagai simbol
gencatan senjata.
Pada
ritual ini, hewan yang dijadian kurban yakni ayam, babi dan kambing. Darah babi
dan ayam dipercik pada batu-batu sakral atau lapa’ tarang. Darah kambing bersimbol darah panas (Mi’er enga)
sedangkan darah babi adalah darah kesuburan untuk ibu bumi (Uhe Awu’).
Selain
itu, sebagai simbol pendinginan, maka tempat ritual tersebut disiram dengan air
kelapa muda.
Senjata yang menghancurkan kehidupan manusia akan dipatahkan |
Kowal Apasau
Setelah semua rentetan ritual tersebut berakhir, maka pada bagian terakhir akan diadakan makan bersama (bo’ bati’ rekan doro’, nae’ nuhu paing weu’) atau kowal apasau (makan di atas daun pisang). Setelah makan, maka molan akan menjelaskan arti dari ritual tersebut kepada hadirin, kemudian perwakilan dari tuan rumah akan berbicara untuk mengucapkan terimakasih kepada molan dan segenap undangan yang hadir. (Rian Odel)
terimakasih atas ulasan ini admin. terdapat bayak poin positip dari ritual ini. salah satunya mengajak kita untuk berdamai dengan sesama kita.
ReplyDelete