Apakah Tanah Suku dalam Budaya Kedang Butuh Pengakuan?
RakatNtt.com
– Pada
tulisan sebelumnya, baca disini, saya mengulas pandangan bercampur pengalaman
kecil saya menggali tentang tanah suku dalam budaya Kedang. Pada tulisan
tersebut, tanah suku disebut dengan beragam nama yakni Uhe ara niku niwang, uhe ria ara bara’, uhe utun ara eho’
atau ada juga sebutan duli pali uhe ara.
Jika membaca tulisan
Eman Ubuq yang direpost pada rakatntt.com, baca disini, mendorong kita untuk
bisa menggali lagi kebenaran teks dan konteksnya. Uhe Ara jika diterjemahkan secara denotatif tentu merujuk pada
lapisan terdalam tanah – namun secara konotatifnya bisa berbeda.
Jika denotatif, kalau
membaca pada konteks pulau Lembata, bisa kita sepakati bahwa Uhe ara Lembata hanya punya satu nama
tidak ada kotak-kotak, atau dalam konteks Kedang, hanya ada satu nama yakni
yang sering disebut Kipa Kire’ Wae Sara,
Mole Eleng Ha’i Longo’. Apakah nama ini yang disebut sebagai uhe ria ara bara’? Jika demikian,
berarti ada uhe utun ara eho’.
Namun, apakah kebenaran
ini sudah disepakati secara bulat oleh masyarakat adat Kedang? Pertanyaan ini
membutuhkan proses yang panjang untuk menemukan jawaban valid. Dalam antropologi
dasar, ada 4 ukuran untuk menilai suatu nilai budaya menjadi dominan yakni,
banyaknya orang yang menganut nilai tersebut, lamanya nilai dirasakan oleh
anggota kelompok yang menganut nilai itu, tingginya usaha untuk mempertahankna
nilai itu dan tingginya kedudukan orang yang membawakan nilai itu.
Sampai hari ini, orang
Kedang masih mengenal sebutan uhe ara
yang ada di setiap kampung dengan proses mendapatkannya ada tiga yakni ruten uhe repe’ ara, ruten lolo’ repe’ pu’en
dan tunu tua’ ain bote manu’ muho. Kontroversi pengetahuan tentang uhe ara niku niwang ini mesti selalu
didiskusikan dengan tujuan untuk menemukan kebenaran demi kebaikan bersama bukan
sebaliknya untuk menggeser nilai atau mengaburkan nilai.
Walaupun ada pandangan yang berbeda tetapi hingga saat ini, setiap kampung masih mengenal sebutan uhe ara, tuan uhe dan uhe wala yang memiliki hak adat yang diatur dalam kearifan lokal. Suku uhe wala di setiap kampung tidak memiliki hak untuk seenaknya mengeksploitasi atau merampas lahan warga lain!
Entah yang benar adalah uhe wala
atau duli wala, yang harus dilakukan
adalah mendiskusikannya bukan memanipulasinya. Sebab sebutan berbeda
barangkali konteksnya tetap sama.
Nilai perjuangan dan kebenaran
adalah dasar untuk mengakui kesejatian sebuah tanah suku yang ada di kampung
masing-masing. Lantas, apakah tanah suku membutuhkan pengakuan?
Mengakui
Tanah Suku
Pengakuan adalah
langkah terakhir bukan langkah satu-satunya. Namun, sebenarnya, pengakuan ini
sudah ada jika di setiap kampung masih mewariskan konsep ka le’mata secara murni. Melalui konsep ini, pemilik tanah suku
sudah diakui secara komunitas kampung tertentu sebagai tubar dengan hak-hak adatnya. Jika demikian, maka tanah suku dalam
budaya Kedang tidak ada masalah. Namun, mengapa hari ini orang masih membicarakan
dan mempersoalkan tanah suku?
Tentu alasannya karena
ada masalah. Lantaran bermasalah maka perlu dibicarakan secara bersama. Di sini,
peran Pemerintah Desa menjadi strategis sebagai penengah untuk menyelesaikannya
sampai tuntas – bukan berat sebelah! Pengakuan sebagai langkah terakhir sebab
langkah pertama yang paling penting adalah mengetahui sejarah, batas-batasnya
(ang ba’a ular doro), tuan uhe
(nama-nama uhe) dan tentu ada ritual adat untuk mensahkannya. Berbicara tentang
kearifan lokal atau budaya Kedang, ritual adat menjadi penting, karena ritual
adat juga sebagai bagian dari mencari kebenaran.
Pengakuan didasarkan
pada keyakinan atas kebenaran yang dituturkan bukan berdasarkan suara
terbanyak. Mayoritas tidak menjadi penentu kebenaran jika motivasinya tidak
murni untuk mendukung kebenaran seturut kearifan lokal atau hanya berdasarkan suka dan
tidak suka.
Pemerintah Desa sekali
lagi mesti menyiapkan ruang diskusi yang nyaman dan aman dan mesti sampai
tuntas penyelesaiannya. Para pembicara yang hadir mesti punya orientasi yang
sama yakni mencari kebenaran. Orang yang mencari kebenaran tidak boleh diberi
minum tuak atau arak, heheh.
Setelah penuturan
sejarah yang logis, nama-nama uhe
atau tuan uhe dan batas-batasnya
barulah langkah terakhir adalah pengakuan – bisa lisan bisa tertulis tergantung
kesepakatan bersama. Mengapa harus ada pengakuan? Tentu saja tujuannya supaya
warga kampung mengetahui dasar-dasar sejarah tanah suku dan kampung hunian
mereka serta mampu mewariskan hak adat yang murni agar ke depan tak ada masalah lagi.
Namun, pengakuan
bukanlah dicapai melalui jalan pemaksaan. Pengakuan juga bukan menjadi jalan
satu-satunya untuk menemukan kebenaran atas semua konflik versi tentang tanah
suku di suatu kampung. Pengakuan ini, yang pertama mesti datang dari suku yang
memiliki dasar sebagai pemegang uhe. Suku
tersebut harus mampu membuktikan kebenaran baik melalui penuturan sejarah yang
masuk akal, penuturan tuan uhe,
batas-batas uhe hingga bersedia
membuktikan kebenaran melalui ritual adat. Itu dasarnya.
Dalam kearifan lokal,
kebenaran sama harganya dengan nyawa manusia, maka orang yang betul-betul
memperjuangkan kebenaran tanah suku tetap bersedia jika nyawanya hilang, salah
satunya melalui ritual pahi awu’. Suku
yang mengklaim sebagai pemilik tanah suku juga mesti diperiksa latar belakang
perjuangan tanah suku, misalnya sejak masa dorong
dope’, masa Rian baraq atau juga mungkin ada sejarah-sejarah terbaru lainnya.
Melalui sejarah
perjuangan mempertahankan tanah suku, disitu kita bisa ketahui siapa sebenarnya
yang memiliki hak menjaga tanah suku sesuai kearifan lokal Kedang. Lantaran
punya dasar kepemilikkan maka pasti punya riwayat perjuangan. Selain itu ada
riwayat melakukan ritual iu uhe bei ara
berskala desa atau suku. Melalui ka wutu’
ale, bisa membantu kita mengetahui siapa yang berhak.
Setelah semua ini
berjalan, tentu saja akan menjadi bahan pertimbangan bagi Pemerintah khususnya
pertanahan untuk dijadikan dasar atas semua program-program pemerintah, salah
satunya misalnya Pengukuran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) yang di beberapa tempat terindikasi masalah. Jika tidak maka,
masalah antara kearifan lokal dan program pemerintah tak akan berujung sebab
tak ada jalan tengah. Jika yang sederhana bisa kita lakukan, janganlah
diperumit agar kebaikan bersama tetap terjaga.***
Post a Comment for "Apakah Tanah Suku dalam Budaya Kedang Butuh Pengakuan?"
Komentar