Tantangan Kearifan Lokal Tanah Suku dalam Budaya Kedang dan Solusinya
RakatNtt.com
–
Menurut Subiyantoro, Kearifan Lokal atau Local
Wisdom menyangkut seperangkat pengetahuan dan praktik-praktik yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan persoalan dan atau kesulitan yang dihadapi dengan
cara baik dan benar. Kearifan lokal juga mencakup berbagai pandangan,
pengetahuan, nilai serta praktik dari sebuah komunitas, masyarakat atau budaya
lain.
Pengertian ini mau menegaskan bahwa kearifan lokal
dimiliki oleh setiap komunitas budaya atau masyarakat adat di setiap daerah
tertentu. Kearifan lokal lahir karena dibentuk oleh sebuah kesepakatan yang
dianggap positif dan diwariskan.
Namun, dalam perjalanannya, otentisitas kearifan lokal
ini mendapat tantangan baik internal maupun ekternal. Internal misalnya, masyarakat
penganut kearifan lokal tersebut memandang sebelah mata atau tak mau mewariskan
lagi dengan alasan-alasan tertentu. Eksternal misalnya, pengaruh modernisasi atau
aturan pemerintah yang tak sesuai dengan konsep kearifan lokal. Tantangan seperti
ini menjadi sebuah pertanyaan bagi masyarakat adat untuk melihat kematangan
kearifan lokalnya.
Tanah
dalam Budaya Kedang
Tanah atau awu’
ero merupakan ibu yang memberi hidup. Awu’
ero dilihat sebagai perempuan sehingga harga diri perempuan diidentikkan
dengan tanah. Benyamin Molan Amuntoda dalam sebuah tulisannya, mengatakan kata awu’ dalam nari’ Edang (bahasa Kedang) menggambarkan bahwa selalu ada konflik
jika berbicara tentang tanah. Awu’ selalu
berkaitan dengan awur (saling
merampas atau konflik). Maka tak jarang konflik tentang tanah ini selalu saja
ada dalam kehidupan manusia di Kedang.
Namun, sesungguhnya, konflik tentang tanah dalam
budaya Kedang sebenarnya sudah diatur sesuai kearifan lokal setempat. Misalnya,
dalam sejarah Kedang, selalu ada perjanjian adat atau sayin nute toye’ bayan. Ada sayin
tentang tanah misalnya, sayin tua’ teda’
bayan wa’ miwa’ yang hingga saat ini masih diketahui oleh masyarakat Kedang.
Dalam tulisan ini, saya mengemukakan pendapat saya
tentang eksistensi tanah suku di Kedang dan tantangan-tantangannya. Bicara tentang
tanah suku berarti kita bicara tentang nilai perjuangan dan kebenaran. Perjuangan
karena tanah suku diperoleh berdasarkan sejarah perjuangan nenek moyang pada
zaman yang telah berlalu. Nilai hewo’ ili
boran tahi’, ili wehe’ tahi’ maya’.
Kemudian, nilai kebenaran, karena tanah suku tidak
seenaknya dimanipulasi oleh masyarakat modern apalagi membusung dada sambil
mengandalkan undang-undang yang dibuat negara untuk menggeser kebenaran kearifan
lokal tanah suku di Kedang. Hukum adat tentang tanah lahir pranegara sehingga
seringkali negara dengan kekuatan raksasa bertindak “angkuh” karena tak
memahami secara mendalam konteks kearifan lokal tanah suku di setiap daerah. Menghadapi
situasi dilematis seperti ini, dibutuhkan jalan tengah untuk menemukan benang
merah tanpa saling mendominasi.
Kebenaran kearifan lokal tanah suku adalah sesuatu
yang sangat prinsipiil. Makanya tak heran untuk menemukan kebenaran tunggal
seringkali ada ritual sumpah “makan tanah” (pahi awu’). Orang yang pandai
memanipulasi, ebel reti adung mama, ur kelo’ mata rua akan mendapat akibat
terburuk yakni kehilangan nyawa.
Tanah
Suku
Dalam wawancara saya dengan para tetua di Kedang,
tanah suku di Kedang sering disebut uhe
ara niku niwang, uhe ria ara bara’ dan uhe
utun ara eho’. Ada pula yang menyebut duli
uhe pali ara. Kearifan lokal tanah suku ini masih ada karena nilainya masih
diketahui walaupun penerapannya terindikasi ada masalah.
Ada tiga jalan memperoleh tanah suku yakni ruten uhe repe’ ara; ruten lolo’ repe’ pu’en
dan tunu tua’ ain bote manu’ muho – tanah suku tidak diperoleh dengan cara jual-beli!
Dapat dijelaskan di bawah ini. Pertama, ruten uhe repe’ ara berarti dalam proses
migrasi atau dorong dope’ nenek
moyang tertentu lebih dulu menginjakkan kaki dan menetap di suatu wilayah baru
yang belum pernah dihuni oleh orang lain (tanah baru, awu’ werun).
Kedua, ruten lolo’
repe’ pu’en berarti nenek moyang tertentu menjadi orang kedua yang mendapatkan
tanah itu sebab sebelumnya sudah ada orang yang menghuninya. Orang pertama
tersebut barangkali sudah bermigrasi ke tempat yang jauh atau ia tidak punya
keturunan sehingga orang yang kedua berhak mendapatkan tanah itu. Namun
menariknya, nama uhe (tuan uhe) tetap menggunakan nama orang pertama yang
mendapatkan tanah itu. Hal inilah yang disebut mengakui kebenaran.
Ketiga, tunu tua’
ain bote manu’ muho berarti orang pertama menyerahkan tanah tesebut kepada
orang kedua dengan alasan orang pertama akan pergi atau bermigrasi lagi. Maka,
orang kedua berhak menjaga tanah tersebut- biasanya nama uhe digabung orang pertama dan kedua.
Tiga proses itu menjadi dasar untuk mengetahui
kebenaran sebuah tanah suku di Kedang – sekali lagi tanah suku tidak diperoleh
melalui jalan jual-beli! Kebenaran lainnya bisa terbukti melalui tuan uhe atau nama-nama uhe yang diambil dari nama nenek moyang
yang mendapatkan tanah itu dan juga nanga
atur la’ ledur, ang ba’a ular doro; ai
nore naya wa’ nore uli’ (nama-nama
batas uhe). Semua ini diwariskan dari generasi terdahulu hingga terbaru secara
baik dan diingat terus, kecuali bagi yang tidak memiliki sejarah tentang uhe ara atau tanah suku ini.
Nama tuan uhe
tidak bisa seenaknya diubah atau dikarang-karang. Sebab akan ada dampak
buruknya. Para molan atau dukun adat
juga dalam membuka ritual poan kemer selalu
memanggil dan meminta restu tuan uhe
di lokasi tempat ritual itu dilakukan.
Tantangan
Tanah Suku
Zaman yang kian maju dan aturan negara yang
mendominasi seringkali menggeser otentisitas tanah suku dalam budaya Kedang. Hak-hak
adat pemilik tanah suku misalnya sebagai tukang “tikam tanah” jika ada
kematian, peletak batu pertama dan mendapatkan wutu’ ale jika ada ritual iu
uhe bei ara perlahan-lahan hilang.
Tikam tanah sudah bebas dilakukan, bukan oleh yang
berhak secara kearifan lokal tetapi sudah diubah wewenang diberikan kepada
pemilik lahan atau kebun, demikianpun peletak batu pertama. Hal yang masih
sangat sakral dan ditakuti yakni yang berhak mendapatkan wutu’ ale. Hak ketiga ini tidak seenaknya dimanipulasi karena
dampak buruknya pasti ada.
Jika merunut lebih ke belakang, pada tahun 2008, Pemerintah
Kabupaten Lembata berencana mengeksploitasi tanah Kedang untuk membuka bisnis
pertambangan. Pada waktu itu, masyarakat adat Kedang bersepakat untuk melawan. Tepat
di lokasi yang hendak diekploitasi, suku-suku pemilik duli uhe maju untuk melawan pemerintah dalam rangka mempertahankan
tanah sukunya demi kemaslahatan sosial, didukung oleh masyarakat Kedang lainnya.
Hasilnya, menang! Artinya, kesadaran sosial tentang eksistensi tanah suku masih
ada.
Tantangan-tantangan seperti ini mesti direspons secara
bijaksana baik oleh masyarakat adat maupun pemerintah khususnya di Desa. Lembaga
pemangku adat mesti melihat kembali otentisiatas kearifan lokal tanah suku di
desa masing-masing. Sebab, melalui Undang-undang nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan
Kebudayaan, negara sudah membuka ruang tentang eksistensi budaya di setiap
daerah untuk terus dikembangkan.
Pemerintah Desa mesti hadir sebagai penengah yang
netral membaca konteks agar tantangan-tantangan sebagaimana disebut di atas
juga menjadi tanggung jawab Pemdes. Hal lain yang penting adalah, kearifan
lokal tanah suku mesti didiskusikan bersama secara bijaksana untuk mencari
kebenaran yang paling murni. Sebab, untuk melawan kekuatan ekternal yang mau
mengeksploitasi tanah suku, pertama-tama harus dilawan dengan kebenaran bukan kesombongan atau
berbasis suara mayoritas masyarakat. Kebenaran mesti dicari dan diuji.
Jika kebenaran tentang tanah suku ini hilang, wawasan generasi muda pun akan buntuh tentang sejarah yang ada di kampungnya sendiri. Proses pewarisan pun sarat dengan kepentingan yang tidak semuanya bersandar kepada yang benar. Padahal kearifan lokal selalu merujuk pada yang benar.
Untuk mencapai hal ini, yang harus diperhatikan adalah
menghilangkan cara berpikir bahwa berbicara tentang kearifan lokal tanah suku adalah
sesuatu yang sensitif.
Kita masih dihantui dengan cara berpikir seperti itu. Padahal
seharusnya kita ubah bahwa berbicara tentang kearifan lokal tanah suku berarti
kita berbicara tentang kebenaran yang manfaatnya untuk kebaikan bersama.
Akhirnya, pada bagian penutup ini, saya juga
mengemukakan sedikit bahwa tanah suku berbeda dengan tanah garapan atau pemilik
lahan yang membuka kebun untuk kebutuhan hidupnya (wei liwun ria, ai turin rai, ola ka paiq min).
Keduanya punya hak yang berbeda-beda tetapi pada titik tertentu saling bertemu.
Keduanya tidak saling menegasikan dan mendominasi tetapi saling melengkapi
untuk tujuan yang lebih besar yakni kebaikan bersama.***
Post a Comment for "Tantangan Kearifan Lokal Tanah Suku dalam Budaya Kedang dan Solusinya"
Komentar