Penganut Dinamisme, Animisme dan Monoteisme di Lembata
![]() |
Ritual di bawah pohon rita kehidupan-ite arin |
RakatNtt - Harari dalam buku “sucinya”, Homo Sapiens menjelaskan bahwa secara kuantitatif, mungkin saja penganut sinkretisme adalah yang paling banyak di dunia. Pernyataan ini mau menegaskan bahwa setiap manusia di dalam dirinya bukan hanya memercayai satu aliran kepercayaan–mungkin kita boleh katakan bahwa kita jatuh cinta pada monoteisme tapi dalam praktik bahkan keyakinan terdalam kita, tak bisa kita ingkari bahwa kita mungkin adalah sinkretis sejati.
Apa itu sinkretisme? Ini merupakan sebuah aliran kepercayaan yang tidak hanya beriman pada satu aliran, misalnya monoteismenya orang kristen tetapi sekaligus percaya dan mempraktikan aliran kepercayaan lain, misalnya animisme, dinamisme dan politeisme dalam kepercayaan nenek moyang yang bersifat lokalistik. Pengertian lain aliran sinkretisme juga disebut sebagai bentuk penggabungan unsur-unsur yang sama atau mirip dari dua atau tiga agama yang berbeda. Saya lebih memahami sinkretisme sebagai percaya pada beberapa agama sekaligus yang berbeda dalam banyak hal tetapi juga dalam hal-hal tertentu memiliki kemiripan – saya percaya pada Animisme, dinamisme dan monoteisme.
Penjelasan pengantar ini sekaligus membawa refleksi bagi kita masing-masing yang harus kita jawab secara jujur; apakah kita monoteisme murni, politeisme murni, animisme murni, dinamisme murni atau justru sinkretisme murni? Jika pertanyaan ini tertuju kepada saya, sudah pasti saya menjawab ya, saya adalah sinkretis–saya katolik sekaligus saya percaya dan mempraktikan ritual animisme dan dinamisme dalam tradisi lokal saya di Kedang.
Hari Minggu saya ke gereja, dan hari-hari lain, saya ikut ritual poan kemer, ame’ sabong, luru’ loba’ pada batu-batu suci (lapa’ tarang/dinamisme), saya percaya pada kekuatan mi’er renga, uhe awu’, roh leluhur (tuan wo’/animisme), kekuan gaib (nitung natang wa’ laleng-melalui poan natang), ite arin, neda-hari (Dinamisme) dan masih banyak lagi praktik animisme dan dinamisme yang saya jalankan.
Saya jujur mengakui itu dan saya bahagia serta yakin kelak akan masuk surga. Namun, perlu diketahui bahwa di balik kepercayaan animisme dan dinamisme orang Kedang, ada juga kepercayaan monoteisme di belakangnya. Wujud tertinggi orang Kedang selalu disebut dalam konsep kesatuan atau ketunggalan: lia nimon loyo wala (pemilik bintang dan matahari), Amo nimon rian arin bara’ (sebagai sumber kehidupan yang tak pernah punah), Amo laha wula loyo-ino welin tuan tanah (bapa langit dan ibu bumi-selalu disebut bersama menegaskan konsep kesatuan).
Orang-orang yang tidak sependapat dengan saya mungkin secara dangkal mengatakan saya menyembah berhala. Saya akan terlebih dahulu menertawakan orang-orang itu sembari meminta mereka menjelaskan apa itu berhala? Siapa yang ciptakan konsep berhala? Apakah dengan melakukan ritual di depan ite arin (pohon rita kehidupan) saya langsung dikutuk menjadi batu? Jika tidak, mengapa kata berhala disematkan pada saya? Mana bukti paling otentik hukuman pada orang-orang yang percaya pada kekuatan batu-batu suci (lapaq tarang)? Padahal animisme dan dinamisme bagi saya punya manfaat positif.
Sudah tentu orang akan sulit menjawab secara masuk akal tak terkecuali asal klaim dan diakhiri dengan caci maki. Itu sudah pasti. Namun, sadar atau tidak DNA kita mewarisi banyak sekali aliran kepercayaan yang sudah ada dalam darah nenek moyang kita, baik itu animisme, dinamisme, politeisme maupun monoteisme. Semua itu adalah fakta historis tak terbantahkan bahkan telah mengiringi perjalanan manusia untuk mengenal kekuatan supranatural dalam kehidupannya.
Yang paling penting adalah, setiap aliran kepercayaan punya kebenaran masing-masing. Jika tak ada kebenaran, buat apa saya ke gereja sekaligus saya ke kampung lama untuk buat ritual adat. Jika tak ada kebenarana dan manfaat, buat apa Bupati dan Wakil Bupati Lembata setelah dilantik harus mengikuti ritual di bawah pohon beringin yang tersedia pula batu-batu sakral warisan nenek moyang. Jika tak ada kebenaran, mengapa hukum adat atau sumpah adat sangat ditakuti oleh para politisi–sehingga sumpah jabatan hanya menggunakan Kitab Suci?
Hal penting lainnya adalah kita mesti memahami betul definisi otenik dari aliran kepercayaan. Harari menjelaskan, orang Yunani kuno yang menganut Politeisme (banyak dewa) sekaligus menganut monoteisme–artinya mereka sinkretis. Politeisme artinya percaya pada banyak dewa-dewa yang kekuatannya bersifat parsial. Misalnya dewa kesuburan hanya berperan pada bidangnya, dewa keberuntungan hanya berperan pada bidangnya.
Masing-masing dewa tidak punya kekuatan pada bidang lain. Artinya, kekuatan mereka parsial, terbatas. Namun, di balik semua dewa, orang Yunani kuno percaya pada satu dewa tertinggi yang melahirkan dewa-dewa parsial. Dewa tertinggi itu bersifat universal, tidak memihak siapa-siapa. Sebab semua yang ada merupakan hasil ciptaannya. Maka ketika orang Yunani berperang, mereka hanya meminta restu pada dewa kemenangan bukan pada dewa tertinggi karena ia tidak memihak siapa-siapa.
Dengan demikian, menjadi jelas dan membantah pikiran banyak orang bahwa politeisme berarti percaya pada banyak Tuhan, bukan seperti itu ya Guys. Menganut politeisme berarti sekaligus menganut monoteisme dan ini sudah ada dalam kepercayaan orang Yunani kuno. Tak hanya itu, ada juga kepercayaan animisme dll; semua punya nilai, punya manfaat, punya kebenaran yang tak perlu dibenturkan–sebab walaupun kita berbeda konsep, kita tetap sama di hadapan mata uang.
Bahkan Harari bilang justru aliran kepercayaan politeisme-lah yang melahirkan konsep toleransi, animisme pun demikian sebab sifatnya yang lokalistik; kepercayaan orang Kedang tidak pernah dipaksakan kepada orang Ile Ape maupun sebaliknya, masing-masing suku menjalankan ajarannya tanpa saling meremehkan atau mendiskriminasi salah satunya, atau menganggap kepercayaannya paling benar, di luar “saya” pasti salah atau berhala. Maka tak heran, toleransi berbasis budaya dan kerifan lokal itu selalu dijalankan secara natural–jadi jangan ajar masyarakat lokal di kampung tentang toleransi sebab merekalah profesor toleransi.
Tak kalah penting datang lagi
aliran monoteisme. Menurut Harari, monoteisme kuno pertama kali lahir di Mesir
zaman raja Fira’un namun punah. Kemudian datang lagi monoteisme Yahudi tetapi
bersifat lokal karena Yahudi mengklaim hanya merekalah bangsa pilihan Allah,
maka kepercayaan mereka tidak berkembang di negara lain. Monoteisme yang
sungguh-sungguh universal terlihat dalam 2 agama besar dunia–cari sendiri!
Post a Comment for "Penganut Dinamisme, Animisme dan Monoteisme di Lembata"
Komentar