Ebang Rumah Kesetaraan yang Mulai Hilang Makna
RakatNtt - Sejak awal saya sudah tekankan dalaam berbagai tulisan saya bahwa budaya Kedang lahir dalam konsep kesetaraan. Hal ini tidak bisa dibantah. Bukan hanya Kedang, budaya khas orang Timur selalu menekankan kesetaraan atau keseimbangan. Bahkan dalam aspek yang paling diminati orang misalnya tentang konsep Wujud Tertinggi: Wula Loyo-Leu (ero) awu’ – Tuhan langit dan bumi.
Kesatuan dari dua kekuatan untuk membentuk kekuatan yang utuh. Dalam narasi rohani orang Kedang, molan menyebut Tuhan langit dan bumi, memohon berkat dari atas yang jauh (transenden) dan dari bawah yang dekat (imanen). Dengan demikian, tak layak kita sebut agama tradisional sebagai agama bumi tetapi agama langit dan bumi!
Dalam konsep lain misalnya tentang relasi-relasi sosial yang dibangun di atas fondasi budaya. Tak perlu berdebat panjang lebar bahwa orang Kedang punya kelas sosial sejak awal. Sebab perdebatan tentang itu akan dibantah oleh filosofi rumah adat Ebang. Saya bahkan dalam sebuah karya tulis ilmiah, menulis bahwa kata Edang berasal dari kata Ebang: rumah yang menghimpun, rumah sebagai harta kebanggaan dan rumah sebagai kehidupan (lumbung).
Dalam konsep asli Kedang relasi sosial kita tidak berjalan di atas roda yang mendominasi dan yang disubordinasi. Kita semua setara – walaupun pada titik tertentu kita harus memberi masukan tentang absennya perempuan di atas bale-bale adat (Ebang).
Konsep kesetaraan ini melahirkan pula tugas-tugas bagi masing-masing pribadi maupun suku dalam setiap kampung. Misalnya, kita punya Rian Meker A‘e Ame. Kalau kita kilas balik, mencari tahu lebih serius, Rian Meker a’e ame adalah pemimpin suku atau kampung yang sudah ada sejak sebuah kampung itu dibuka atau sebuah klan itu lahir (tilo leu pating awu’).
Rian Meker tidak mendapat mandat politik atau menjadi perpanjangan tangan kepentingan pihak lain. Dalam keyakinan Kedang, Rian Meker adalah penghubung kepentingan manusia (dunia) dan yang ilahi sebagaimana dapat digambarkan dalam bahasa adat Tutu’ Wula Loyo-Bading Leu awu’. Hal ini dipertegas oleh Gregor Neonbasu dibawah ini:
“...dalam bingkai vertikal, selalu ditekankan, yang berkuasa bukan ‘pemimpin’ yang memakai otoritas sesuka hati, melainkan harus memperhatikan kepentingan warga masyarakat yang mempercayakan hak dan kedaulatan kepada para pemimpin. Pemimpin selalu identik dengan pribadi sesepuh yang dilihat sebagai institusi utama yang memainkan peranan penting dalam menjembatani warga masyarakat (dunia) dan Yang Ilahi.”
Eksistensi Rian Meker didasarkan pada pelayanan yang tulus sebagaimana dirinya sebagai jembatan yang duniawi dan ilahi. Maka tak heran sampai saat ini, Rian Meker suku masih dihormai sebagai pemimpin yang tugasnya bersifat kekal. Namun, sebagaimana judul tulisan ini, ada makna yang hilang. Bukan hanya Ebang melainkan aspek-spek sosial lainnya dalam budaya kita.
Rian Meker dan Konflik
Lantaran Rian Meker adalah jembatan yang duniawi dan ilahi maka karakter kepemimpinannya bukan menguasai, mendominasi atau menekan. Sebab ia hanyalah jembatan. Ketika ada konflik horisontal, ia hadir untuk menyelesaikan. Ketika ada urusan adat, ia hadir untuk menyelesaikan. Namun, yang luhur semcam itu, mulai luntur.
Banyak konflik internal di dalam suku-suku disebabkan karena Rian Meker tidak berperan sebagaimana mestinya. Ia tak lagi sebagai pengayom yang mengatur, tak lagi mendengar suara leluhur tetapi justru sebagai tangan politik untuk politisi instan. Maka, dalam pandangan saya, konflik horisontal yang melanda suku-suku di Kedang, perlu dilihat juga dari peran Rian Meker sebagai yang sulung. Ketika ia sudah mendapat rahmad (talu beru), maka wajib menjalankan tugas secara lurus dan anggota suku mendukungnya.
Namun, ketika Rian Meker tak lagi sebagai orang yang wowo pana hunga lati, tetapi menganggap diri sebagai raja kecil, maka muncul pula benih-benih keretakkan. Rasa tanggung jawab ini mesti benar-benar dipahami oleh kita semua. Bahkan bila perlu setiap suku, jika ingin menjadi utuh, maka cukup bersandar pada satu Rian meker.
Menjadi Rian meker tidak dilalui dengan proses kompetisi, ia lahir begitu saja secara natural. Rian meker yang lahir karena ingin menguasai atau supaya dipandang agung, yakinlah akan membawa suku ke jurang kehancuran.
Konsep Kale’mata
Konsep ini lahir ketika beberapa suku bergbung membentuk satu kampung. Biasanya dilakukan melalui proses hala’ sayin. Di sana ada yang bertugas sebagai tubar, liman wanan, liman weri dan ebon. Tigas-tugas dalam konsep ini bermakna kesetaraan dan tanggung jawab. Suku tubar (imen) punya tugas sebagai pengatur adat, Liman weri dan wanan melayani, memberitahu atau menginformasikan, dan ebon sebagai penjaga keamanan. Namun, pada periode tertentu konsep ini dimanipulasi maknanya.
Orang kemudian bertengkar karena tugas-tugas ini. Akhirnya yang terjadi adalah, setiap suku mau menjadi tubar, padahal latar belakang sejarahnya menegaskan ia bukan tubar. Sebab tubar akan dilihat dari suku yang lebih dulu sampai di kampung itu, dengan bukti tuan uhe (atau saya lebih sepakat dengan sebutan tuan duli) yang diambil drai nama leluhur suku tersebut. Jadi bukan soal siapa yang paling penting melainkan soal tanggung jawab.
Periode tertentu yang memanipulasi cara berpikir orang Kedang telah melahirkan perpecahan. Tugas sebagai tubar dimanipulasi maknanya sebagai Rian Leu. Padahal, tidak semua Rian Leu pertama di kampung datang dari suku tubar – ia menjadi Rian Leu karena faktor tertentu. Rian Leu berbeda dengan Rian Meker. Dengan memanipulsi status tubar dalam kaca mata kekuasaan agung dan tunggal, mengakibatkan, muncul kesalahpahaman pada konsep ini.
Dengan keretakkan semacam tersebut, konsep kale’mata hampir tak terlihat lagi. Padahal, konsep ini merupakan identitas masyarakat adat. Bukan hanya itu, bisa saja terjadi suku-suku yang merasa “besar” mendominasi semua hal di kampung. Lapa’ sayin leu yang merupakan milik bersama semua suku, dijadikan milik pribadi suku tertentu. Akibatnya, kampung kehilangan simbol identitas keutuhan yang dibangun sejak awal mula dengan doa dan harapan.
Ebang dan Kesetaraan
Dari tempat duduk, Ebang telah membuka mata kita bahwa orang Kedang lahir di atas konsep kesetaraan. Rian Meker sebagai pemimpin yang dimandatkan duduk bersama dengan ribu ratu’. Ia tidak punya tempat duduk sendiri yang posisinya lebih tinggi. Ebang tak punya pintu maupun dinding, yang menegaskan bahwa semua orang bisa masuk dan bergabung. Namun, sering, kita lupa bahwa perempuan tertentu mesti dilibatkan dalam duduk omong adat di Ebang agar makna sejati drai Ebang sebagai rumah kesetaraan nampak lebih lengkap. Tentu ini tidak mudah, butuh proses tanya jawab yang panjang.
Ebang bukan saja sebagai rumah biasa melainkan rumah yang
menghadirkan leluhur berjumpa dengan warg suku. Setiap permasalahan akan
diselesaikan dengan santun jika Ebang menjadi tempatnya. Itulah maknanya. Hari ini
yang terlihat, Ebang dijadikan sebagai tempat untuk sosialisasi politik
kemudian politisi yang bersangkutan tak paham mengapa dia harus duduk di Ebang.

Post a Comment for "Ebang Rumah Kesetaraan yang Mulai Hilang Makna"
Komentar