Gua Gelap di Peten Ina Lembata
RakatNtt - Gaptek adalah istilah milenial. Jadi kalau hari ini masih ada orang yang gaptek menggunakan Komputer di tempat kerja dengan gedung mewah bernama Peten Ina, bisa dikatakan ada mental Gaptek, malas mencari tahu. Kata gaptek ini saya kemukakan untuk mengkritik aktivitas menyusun dokumen yang telah viral karena terbukti hasil copas.
Walaupun ada yang berargumen bahwa cara kerja copas ini adalah warisan “nenek moyang” di Peten Ina sebelumnya tetapi tanpa proses kreatif, kerja DPRD Lembata akan melahirkan kekecewaan massal. Orang Lembata menjadi kecewa karena kualitas para wakil rakyat menjadi minus melalui dokumen tersebut. Padahal proses kreatif mesti ditampilkan sebagai bukti DPRD Lembata bekerja secara serius.
Kekecewaan itu kian membara, ketika ada beberapa oknum penghuni Peten Ina beralasan human error – cieee istilah bahasa Inggris ni ngerii sekali! Pada tulisan pendek sebelumnya, saya sudah menegaskan bahwa dokumen tersebut copas karena faktor edit salah dan malas baca.
Malas baca disini bisa juga dipengaruhi oleh faktor lain, misalnya para wakil kita terlalu banyak mete malam memikirkan nasib rakyat Lembata atau malas disini berarti main gila, apatis atau tidak peduli. Ada yang kemudian coba berargumentasi membela orang-orang terhormat itu bahwa yang salah adalah Sekwan atau para pengetik dan ini masih pada tahap konsultasi.
Alasan semacam itu bukan urusan rakyat. Entah urusan Sekwan atau yang lainnya adalah prosedur rahasia di dalam Gedung Peten Ina. Rakyat hanya menunggu hasil di atas meja sesuai gaji dan tunjangan besar yang diberikan kepada para pekerja ini. Ketika hasil yang disuguhkan kepada rakyat menimbulkan kekecewaan, maka skeptis terhadap cara kerja di dalam gedung mewah itu menjadi mungkin. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa semua yang bekerja di dalam gedung Peten Ina adalah Wakil Rakyat. Ketika salah satu komponen melakukan kesalahan, maka komponen lain pun akan mendapat akibatnya. Demikianlah logika kerja kelembagaan bukan?
Ada Apa di Peten Ina?
Dalam dunia kerja profesional, biasanya orang yang baru masuk bekerja akan diberikan gaji lebih rendah daripada orang yang sudah lama bekerja apalagi melahirkan prestasi membanggakan. Hal tersebut berbeda dengan sistim kerja di Peten Ina. setelah lantik, para wakil rakyat langsung mendapatkan gaji dan tunjangan fantastis dari rakyat Lembata. Gaji dan tunjangan besar ini bagi Wakil rakyat yang menerimanya dengan kesadaran penuh akan berkomitmen untuk bekerja secara baik dan jujur.
Akan menjadi berbeda jika ada Wakil Rakyat yang
berprinsip “intinya akhir bulan terima jatah.” DPRD dengan prinsip seperti ini
akan terlihat dari cara ia bekerja dan cara ia berkomentar pada Medsos. Namun,
kita mengalami kesulitan untuk memantau mereka karena tak ada jembatan
penghubung. Syukur sekali bahwa ada rakyat yang menangkap basah kerja DPRD
Lembata yang tidak serius melalui dokumen tersebut. Jika tidak kitapun akan
buta terhadap kondisi terkini di dalam gedung Peten Ina – syukur bahwa kita masih
mendapat pertolongan dari wartawan.
Melalui kritikan yang tak terbendung belakangan ini, maka sudah saatnya DPRD berbenah. Sebab haram hukumnya Wakil Rakyat melakukan kesalahan di hadapan rakyat. Berbenah di sini, meminjam istilah Socrates yakni “kenalilah dirimu”. Artinya, setiap kritikkan itu harus direfleksikan secara jujur bukan dengan membela diri pada bukti-bukti yang tidak bisa dibantah. Rakyat sedang mengetuk pintu hati dan otak DPRD untuk bekerja lebih serius sesuai dengan tunjangan yang diberikan. Kritik rakyat ini, ibarat alegori Gua Plato.
“Dalam sebuah gua, terdapat orang-orang yang terpenjara dan hanya berada pada satu posisi yakni menghadap dinding gua. Di belakang mereka ada cahaya matahari yang bersinar ke dalam gua. Kemudian beberapa orang sedang berlalu lalang kesan-kemari. Bayangan dari orang-orang yang sedang berlalu lalang ini terpantul pada dinding gua. Orang yang terpenjara tersebut mengira bahwa bayangan itu adalah kebenaran, maka mereka menjadi nyaman pada posisi tersebut. Suatu ketika, ada orang dibebaskan dari penjara dan keluar dari gua. Orang itu menemukan bahwa ternyata yang ada pada dinding itu adalah bayangan dari orang lain bukan sumber kebenaran. Ia kemudian mengajak orang-orang yang terpenjara itu untuk keluar mencari sumber kebenaran (pengetahuan) yakni matahari. Namun, mereka menolak.”
Alegori gua Plato ini menjadi relevan dengan situasi di Peten Ina. DPRD ibarat orang yang terpenjara dan merasa nyaman pada keyakinan mereka. Kritikkan rakyat sulit mendapat respons yang bisa diterima bersama. DPRD Lembata terkesan diam begitu saja. Bahkan alasan yang mereka kemukakan lebih cenderung pada membenarkan diri, tetap mengangap bahwa yang mereka buat itu lurus. Inilah sebenarnya satu model cara berpikir yang tidak mau membuka diri.
Proses dialektika pun hampir tak terlihat. DPRD Lembata tak punya media khusus untuk memberikan informasi kepada publik, katakanlah ada FB Pro atau Youtube yang mengulas tentang aktivitas harian DPRD. Akibatnya, kita menjadi buta huruf terhadap situasi di dalam gua gelap Peten Ina. serasa tak ada api pengetahuan dari gedung itu.
Lantas, bagaimana kita mengontrol kerja para “dewan jenderal” ini? Mereka bisa saja tidur nyenyak, main fb saat sidang pun kita tak tahu, karena mereka tak menggunakan media sebagai jembatan transparansi. Dengan demikian, maka kembali pada judul tulisan ini: DPRD Lembata Gaptek! Rakyat Lembata pun sudah menyiapkan forum pada medsos, misalnya grup BLN.
Namun, berapa banyak anggota DPRD kita yang nimbrung untuk berdiskusi dan memberikan pendidikan politik di grup ini? Hampir tidak ada! Yang ada justru hadirnya akun palsu mendadak untuk bernarasi membela kelakuan DPRD Lembata. Jangan sampi akun palsu ini, ada eee!
Para Wakil Rakyat kita mungkin hanya hadir pada Medsos ketika menjelang Hari Raya agama untuk memberikan ucapan Selamat sambil berharap dipilih lagi kali depan! Tidak ada sesuatu yang katakanlah melampaui datang dari penghuni Peten Ina yang membuat rakyat bangga. Mereka mungkin hanya berkutat pada tugas pokok tanpa berusaha melampau, salah satunya melalui transparasi Medsos, diskusi, memberikan pendidikan politik dll.
Hal ini memang sulit kita temukan karena lagi-lagi mental Gaptek. Kata ini bukan berarti mereka tidak mampu menggunakan teknologi digital misalnya tetapi lebih dari itu tidak mau memanfaatkannya untuk kepentingan umum. Atau dengan kata lain, malas mendobrak gua gelap untuk menyalakan cahaya pengetahuan politik.
Salah satu filsuf kuno, Socrates menghendaki bahwa orang-orang yang terlibat dalam pemerintahan harus berpengetahuan. Mereka harus sudah menyiapkan pengetahuan itu secara matang. Sama juga seperti para wakil rakyat, harus menyiapkan pengetahuan pralantik yakni melalui proses politik yang berkualitas bukan karena elektabilitas semata melainkan integritas dan intelektualitas. Demikian Rocky Gerung sering teriak melalui tivi Nasional.
Proses politik yang hanya mengutamakan elektabilitas ditopang modal finnsial akan berpotensi melhirkn ke-toko-n politik bukan ke-tokoha-an politik. Hal ini akan pula membuat rakyat tak mampu memahami politik secara lurus.
Rakyat hanya melihat kualitas seorang politisi melalui aspek-aspek emosional – makan bersama, duduk minum tuak bersama, kerja bakti di halaman gereja dan masjid, pukul gong gendang dan menari – bukan rasional. Hal inilah yang terlihat pada Wakil Rakyat yang kemampuannya hanya duduk sepanjang periode; tidak sumbang ide cemerlang.
Media Sosial pribadinya pun tak digunakan sebagai wadah
menyerap aspirasi. Yang ada di otaknya, aspirasi hanya bisa diserap bila ada uang
yang “dikuras” yakni melalui Reses – mungkin karena ada uang untuk makan roti
bersama. Cara pikir klasik model ini harus diubah wahai Wakil Rakyat terhormat.
Pendidikan politik sudah saatnya dibangun juga melalui Medsos agar ada peluang
dialektik Kritis yang dibangun sesuai konteks kekinian kita. Jangan biarkan
rakyat berperang dengan akun palsu setiap hari di grup BLN!!!
Post a Comment for "Gua Gelap di Peten Ina Lembata"
Komentar