Peletakkan Batu Pertama untuk Apa?
RakatNtt - Sampai saat ini tradisi peletakan batu pertama saat membangun sebuah fasilitas masih kita jumpai. Bukan hanya di kampung-kampung melainkan juga tradisi ini berlaku di kota-kota besar. Kira-kira tradisi peletakan batu pertama ini dimulai sejak kapan? Atau siapa yang mencipkan tradisi ini? Setiap kita yang datang dari latar belakang beragam tentu punya pengetahuan masing-masing untuk menjawab pertanyaan di atas.
Namun, kalau kita mau melihat ke belakang di daerah kita di Lembata misalnya, tradisi peletakkan batu pertama sudah ada pada zaman lampau. Orang Lamaholot misalnya, ketika hendak membangun sebuah kampung adat, pasti melakukan dulu tikam batu Nuba Nara. Demikian juga orang Kedang, pating lapa’ leu simbol fondasi kampung.
Lapa’ leu tidak sekadar batu biasa tetapi batu yang disakralkan melalui ritus, ada doa, harapan dan kurban. Doa ke langit memohon Wujud Tertinggi merestui dari atas, dan doa ke bumi memohon Wujud Tertinggi merestui dari bawah.
Dua kekuatan tak terpisahkan yang menyatu agar menjadi kuat. Artinya, dalam setiap aktivitas msyarakat adat sesungguhnya selalu didahului dengan doa. Nenek moyang kita selalu percaya akan kehadiran Wujud Tertinggi, kekuatan alam semesta dan leluhur. Maka mereka sangat takut jika melukai hati orang, melukai alam dan Wujud Tertinggi.
Ketika misalnya ada keretakan, maka ritus adalah jalan satu-satunya untuk rekonsiliasi. Dalam proses rekonsiliasi ini, yang paling penting kita ketahui adalah pengakuan dosa (wangun). Rekonsiliasi hanya bisa terwujud jika ada kejujuran dan pengakuan.
Apa relevansi tulisan ini dengan kehidupn kita? Di mana pun kita berada, jangan pernah lupa dasar atau akar kita. Salah satunya budaya. Dari budaya terpancar karakter kita. Generasi yang tercerabut dari akar budaya tak akan kenal diri – dasarnya hilang. Pentingnya melihat diri kita dalam setiap aktivitas. Ketika hendak membangun sesuatu kita butuh konsistensi ke depan tetapi dasarnya harus ada. Sama juga ketika mau membangun diri melalui media sosial, kita butuh dasar yang kuat. Ada tujuan yang mau kita capai, kita mau menghibur orang, mengedukasi orang atau mau mengemukakan pertanyaan kontroversiaal untuk membuka jalan diskusi.
Namun, ketika kita sudah berada di luar jalur, menganggap kebebasan privat sama dengan kebebasan di ruang publik, di situ kita telah mengganggu situasi. Ingatlah bahwa ketika kita ada di ruang publik, maka kebebasan privat dibatasi. Contoh memaki orang di ruang medsos adalah cermin kita sedang tidak paham dengan ruang umum bersama. Di situ, kita mengganggu orang dengan konten-konten liar. Orang yang menyimak konten kita pun akhirnya disuntik dengan emosi negatif, orang menjadi marah. Ini wajar karena ruang medsos adalah rumah kita bersama.
Bayangkan saja,
ketika bangun pagi, orang melihat di layar HP ada dua orang perempuan dari
Kedang begitu asyiknya saling maki sambil tertawa. Artinya, orang tidak mendapat
sesuatu yang baik tetapi yang buruk. Otak mereka menjadi tidak segar walupun matahari
baru mulai terbit. Hal lainnya, coba kita pahami juga kadang orang buat konten
yang baik-baik tidak akan mendapat like dan komentar tetapi konten caci maki pasti
banyak yang nonton dan suka komentar. Dalam Konteks ini, bisa saja mayoritas
kita lebih suka konten negatif. Benar to?

Post a Comment for "Peletakkan Batu Pertama untuk Apa?"
Komentar