Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Widget Atas Posting

Mengusung Jenazah ke Istana



MENGUSUNG JENAZAH KE ISTANA




      Jenazah-jenazah yang kami usung siang ini berkepala kerbau putih dan bertanduk rusa, berdada kanguru dan bermata kucing di sebelah kiri dan anjing di sebelah kanan–lidahnya  bercabang dua warna-warni seperti bunglon. Namun, jenazah yang kami usung belum benar-benar mati sebab di hati terdalamnya masih ada denyut jantung dan percikan darah seperti darah ayam pada ritual sakral sumpah adat dan agama.
###
Seperti biasa, demokrasi di negri kami selalu membawa cerita-cerita aneh dan menakutkan tentang dunia dan akhirat, tentang surga dan ancaman neraka tentang agama dan politik, tentang Tuhan benaran dan Tuhan yang membawa racun kepada keangkuhan manusia. Banyak orang menyogok Tuhan untuk menjadi pemimpin partai politik dan menjadi artis penghibur di ruang diskusi. Bukan hanya itu, mereka juga suka mendaftarkan diri sebagai orantua Tuhan bahkan sebagai dosen bagi para malaekat yang sering tertulis dalam Kitab Suci. Hal yang paling lucu ialah mereka memaksa kami untuk berperang demi Tuhan dan hasilnya aku sendiri yang berani dan nafsu untuk membunuh Tuhan yang mereka ajarkan itu supaya aku dan saudaraku yang berbeda agama diselamatkan. Setelah mati, aku kuburkan Tuhanku di dalam hati dan menjadi milik pribadi agar tidak seenaknya dijual pada musim politik. Selang beberapa menit kemudian, Tuhanku bangkit dan tinggal bersamaku tanpa harus aku pamerkan kepada orang lain sebab akan menimbulkan banyak penafsiran tanpa guna setelah orang-orang pintar itu menguasai filsafat dan teologi apalagi ilmu politik. Pristiwa ini sungguh menghebohkan akhir-akhir ini di negri kami sebab ada tertulis hanya manusia yang bebas berbicara tentang dan meludah Tuhan dimana saja mereka mau atau ketika nafsu doa mereka tak tahu arah lagi; di rumah ibadah pun boleh, di pasar pun boleh diiklankan bahkan lebih mudah kalau dipilih sebagai ketua partai. Karena itu, hanya satu jalan akhir: bunuh Tuhan saja! Semua yang berbicara tentang Tuhan adalah para jenazah yang akan kami usung ke istana pada siang hari pasca berdoa massal di hadapan para petani yang lahannya telah lama dirampok demi jalan tol. Antara jenazah satu dan yang lain saling beradu lidah; siapa yang paling panjang dan tajam lidahnya akan menjadi malaekat juga siapa yang paling besar dadanya sebab kelak di antara belahan dada mereka akan dibangun gedung Bank pribadi dan berbagai rumah ibadah mewah dengan harga triliunan untuk memuji Tuhan yang sering mereka diskusikan dalam televisi sedangkan aku sudah putuskan untuk membunuh Tuhanku. Di kemaluan mereka akan mengalir deras air kotor untuk menyiram pohon kelapa yang sudah perlahan bertumbuh di dada kami. Namun, demi sebungkus nasi, kami bersedia mengusung jenazah-jenazah itu ke istana; persetan siapa yang akan menjadi jenazah pembawa jasa seperti orang yang mati suri datang dan bercerita tentang surga empiris yang sudah ia siapkan untuk kami kelak.
###
Di luar jendela, embun masih basah dan seekor pipit masih bersiul bersama sekelompok kupu-kupu yang menari di tengah taman bunga. Di ujung tatapan mata, terbentang beraneka bendera partai yang berkibar berlomba-lomba seperti anjing dan kuncing di hadapan setumpuk tulang ikan. Ada juga gambar-gambar wajah para sahabatku dulu ketika kami masih sepiring nasi dan segelas madu. Sekarang mereka sudah sangat lain dari biasanya dan aku sendiri lebih lain dari mereka. Di samping rumah terdengar teriakan manusia-manusia pertanda ada perang mulut untuk merebut sembako yang dibagikan oleh orang-orang yang sering aku sebut para jenazah berkepala kerbau itu. Jumlah mereka sangat banyak. Namun, bau badan mereka pada dasarnya sama seperti babi hutan yang busuk setelah terkena jerat selama seminggu. Mungkin kebusukan para jenazah tersebut akibat dari banyak dosa politik yang mereka perbuat selama ini. “Kini saatnya, kita akan menghantar saudara-saudari kita yang sukses menjadi jenazah ke istana”. Kata pemimpin doa. Kami beramai-ramai mengantar para jenazah itu ke rumah baru yang mereka idam-idamkan selama proses kompanye kurang-lebih sebulan lamanya. Istana adalah kuburan massal paling cocok bagi mereka untuk membangun surga yang baru. Di sana, mereka bebas berbicara, mencuri, bermain game,bisa tidur sepuas-puasnya tetapi pada akhir bulan mereka akan mendapat gaji dan tunjangan sebagai pemalas terbaik. Siapa yang paling hebat menjadi pemalas dan pintar menipu akan ditentukan untuk menjadi ketua umum jenazah. Usai mengusung jenazah-jenazah kesayangan itu ke istana, kami menunggu sambil berteriak-teriak tentang surga yang mereka janjikan. Kami berharap, setelah sampai di Istana, mereka bisa menjadi jenazah yang baik dan menceritakan apa adanya tentang surga yang ada di istana itu. Sebab menurut salah seorang jenazah sebelum masuk Istana, mereka akan mengambil daun-daun beringin di dalam Istana yang kemudian akan diolah menjadi uang bagi kami yang suka berteriak-teriak dalam doa sunyi. Jika kami lapar, mereka akan mengolah daging kerbau khususnya kepala kerbau dan dibagikan secara gratis bagi pemenuhan kebutuhan makanan kami sehari-hari. Ya, menurut mereka seperti itu, tapi hasilnya jenazah-jenazah yang kami usung ke Istana itu kini telah mati. Mereka telah menjadi kursi, meja, dan tembok juga benda-benda mati lainnya di Istana. Kami menanti suara mereka tapi mereka telah mati. Anehnya, mereka akan hidup kembali pada setiap akhir bulan untuk menjadapat jatah makan dan gaji.

Rian Odel, Orang Kedang Lembata

                                   


Post a Comment for "Mengusung Jenazah ke Istana"