Kebangkitan Budaya Lembata
kebangkitan budaya lembata
(Memaknai Festival Tiga Gunung)
Rian
Odel
Festival
tiga gunung di Lembata (F3G) yang akan diselenggarakan pada 28-29 september
2018 telah memantik konsentrasi publik sekaligus melahirkan multiperspektif
konstruktif pun destruktif (tetapi harus dibaca konstruktif). Bukan hanya
datang dari mulut publik tetapi media baik online
maupun cetak tidak malas menulis berita tentang ini. Kerja sama antara pemerintah Lembata dengan
media turut memperlancar rencana yang akan berpuncak pada kegiatan festival
nanti. Tiga gunung yang menjadi obyek prioritas yaitu, ile werung, ile lewo
tolok dan yang terunik menurut saya ialah Batu tara yang memiliki kekhasan
tersendiri yaitu meletus setiap 20 menit. Sangat menarik tentunya rencana
kegiatan akbar ini karena melalui kreativitas dan inovativitas Pemda dan
jajarannya. Tiga gunung yang konon dianggap biasa-biasa saja telah meraih nama
baru yang luar biasa. Tidak bisa dimungkiri bahwa keberanian Pemda untuk
mementaskan F3G telah meraup banyak uang rakyat sehingga konsentrasi yang perlu
dilihat kedepan ialah dampak konstruktif bagi kesejahtraan rakyat Lembata.
Artinya, kegiatan ini bukan sekadar euforia tetapi melahirkan dampak signifikan
bagi kemajuan pembangunan Lembata. Apakah kegiatan ini berdampak ganda
kontradiktif yaitu positif atau negatif? Jawabannya, akan kita peroleh setelah
F3G.
Mendukung
Pariwisata
Sangat realistis jika Lembata diakui
sebagai daerah yang potensial di bidang pariwisata alam dan budaya. Mengapa tidak, dimana-mana
orang selalu membahas nama lamalera dengan tradisi budaya lokal yang memukau
dan merupakan representasi kekayaan obyek wisata lainnya di Lembata bahkan
sudah meraih nilai level internasional. Walaupun infrastruktur ke Lamalera
belum menjanjikan tetapi hampir saban hari para wisatawan lokal pun
internasional selalu berkunjung untuk menikmati keindahan alam sekaligus
menggali warisan budaya. Pertanyaanya, sudah berapa banyak manfaat Lamalera
bagi kemajuan Lembata khususnya akses ke lamalera atau apa yang sudah dibuat
Pemda untuk memajukan Lamalera? Hemat saya, Pemda Lembata cukup pintar membaca
peluang ini dengan cara yang produktif yaitu menyelenggarakan F3G. Festival
yang dimaksud bukan hanya bertitik sasaran pada tiga gunung tersebut tetapi
memiliki banyak obyek lain diantaranya, Lamalera, keindahan alam bawah laut
Nuhanera dan pulau Siput yang muncul di tengah laut. Oleh karena itu, dengan
berbagai kelemahan, Pemda Lembata tetap konsisten memenuhi janji politiknya
yang terjabar dalam program unggulan yaitu pariwisata sebagai leading sector pembangunan. Namun demikian, publik Lembata tidak perlu terlalu
cepat berbahagia dengan F3G karena yang menjadi tujuan utama ialah dampak yang
masih misterius. Di satu sisi, F3G telah merangsang nurani Pemda untuk mulai
membereskan infrastruktur jalan ke tempat wisata yang mungkin dilupakan
bertahun-tahun, tetapi disisi lain tersirat reaksi dari masyarakat akan ketidakselarasan
kegiatan ini dengan realitas hidup mereka. Infrastruktur jalan, air, listrik
juga menjadi alasan reaksi atas kegiatan F3G, misalnya masyarakat Atadei (Flores Pos, 23/8/). Namun hemat saya, sebelum mengagendakan kegiatan akbar
ini, tentunya Pemda bersama segenap elemen terkait sudah melakukan diskursus,
menimbang secara kritis untuk kemudian menghasilkan konsensus yang disebut F3G
dengan biaya yang super mahal. Kita tentu mendukung kegiatan ini dengan harapan
akan perubahan Lembata sesungguhnya apalagi kegiatan ini selaras dengan 5
program gubernur NTT, Viktor B. Laiskodat. Program
pertama yaitu pariwisata seterusnya kesejahteraan rakyat, sumber daya manusia,
infrastruktur dan reformasi birokrasi (Pos
Kupang, 12/9/). Mengapa Pariwisata
ditempatkan pertama? Hemat saya, Pariwisata merupakan program unggulan bagi
kemajuan rakyat khususnya Lembata yang kaya dengan keindahan alam dan budaya
yang variatif. Melalui pariwisata, program-program selanjutnya bisa terbantu
secara lebih mudah. Intinya program inovatif seperti ini harus dilakukan dengan
dasar dan harapan yang pasti untuk memperoleh kesejahteraan. Jika tidak,
kegiatan ini hanyalah momentum berpesta di atas penderitaan rakyat. Festival 3 Gunung menjadi tanggung jawab utama
Pemda untuk menjawab kebutuhan rakyat Lembata secara bertahap dan tentu sistim
privatisasi obyek-obyek wisata untuk kepentingan anak-istri sedapat mungkin
dicegah. Profesionalisme Pemda untuk mengolah alam Lembata harus didukung
dengan transparansi keuangan daerah sehingga tidak menggagu stabilitas politik
Lembata. Pemerintah dituntut untuk membuktikan manfaat F3G sebagai kompensasi
atas banyak uang rakyat yang telah dipakai. Jika alokasi dana yang
direalisasikan untuk mengongkos F3G tidak berbanding lurus dengan dampak
positif yang dinantikan, Pemda Lembata bersama para bapak DPRD harus
bertanggungjawab!
KEBANGKITAN
BUDAYA
Secara langsung dampak F3G telah
membangkitkan kesadaran rakyat Lembata untuk menggali kembali kekayaan budaya
lokal yang sekian lama ditimbun oleh rasa apatis terhadap warisan tradisional.
Pada tanggal 26-28 juli silam Tim Arkeologi dari Universitas Udayana Bali,
dipimpin Dr. Puji Laksmi dan anggotanya melakukan survei peninggalan arkeologi
di liang Peung, Desa Hingalamamengi, Kecamatan Omesuri (Flores pos, 28/8).
Ternyata, gaung dari rencana terselenggaranya F3G turut mempromosikan
peninggalan-peninggalan bersejarah di Lembata. Peluncuran Festival tiga Gunung
Lembata di Balairung soesilo Soedirman, Gedung Sapta Pesona Jakarta, Kementrian
Pariwisata, Senin (7/5/2018) turut mempromosikan salah satu musik tradisional
Lembata yaitu Tatong yang
diperkirakan lebih tua dari Sasando. Bukan hanya itu, Pemda sedang menyiapakan
peserta Tenueng “pemintalan benang
menggunakan alat tradisional” sebanyak 1999 orang dalam rangka memecahkan rekor
muri. Rencana selanjutnya yang dibangun untuk menyongsong F3G ialah expo uyelewun
dan budaya Lamaholot.
Informasi-informasi yang saya kutip secara ringkas dari berbagai media ini
telah membuktikan bahwa kegiatan F3G turun bermanfaat bagi kebangkitan budaya
lokal yang sangat unik dan bernilai estetis sehingga mempunyai nilai jual yang
lumayan tinggi. Pariwisata yang dimaksudkan bukan hanya mempromosikan keindahan
alam tetapi nilai dari sebuah kebudayaan. Melalui F3G, orang Lembata diajak
untuk menggali kembali kebudayaanya. Mungkin saja budaya Lembata yang selama
ini kurang diminati bisa membuka kesadaran rakyat Lembata bahwa kebudayaan
suatu daerah perlu dijaga karena turut membantu peradaban manusia. Budaya dan
politik adalah dua sistim yang tidak diragukan intervensinya untuk suatu
peradaban. Para filsuf yang melahirkan banyak teori misalnya Socrates, Thales
dan kawan-kawannya selalu bersumber pada kebiasaan-kebiasaan daerah tertentu
yang disebut budaya. Berbicara tentang F3G berarti juga kita merefleksikan
nilai kebudayaan kita. Banyak orang yang berpendidikan, mahasiswa, pelajar
mungkin merasa alergi jika mengenakan pakaian adat atau berbahasa daerah dan
menari tradisional tetapi justru kekayaan inilah yang coba dibangkitakan
kembali oleh Pemda melalui F3G. Itu berarti, pariwisata yang dimaksudkan oleh
Pemda bukan hanya menjual kekayaan alam melainkan juga budaya lokal kita.
Artinya, secara implisit, kita diajak untuk tetap menjaga warisan nenek moyang
yang kita sebut budaya lokal agar tetap produktif. Kemajuan zaman yang serba
moderen tidak berarti mengalienisasi relasi manusia dengan jati diri yang
terdapat dalam budaya lokal. Festival tiga gunung harus mengikutsertakan nilai
kebudayaan Lembata. Yang perlu diwaspadai ialah, pariwisata harus dibangun
secara proporsional. Membangun tanpa mengeksploitasi alam dan memanipulasi
budaya lokal masyarakat. Kekayaan alam dan budaya harus tetap dijaga karena
orang timur selalu hidup berdampingan dan menjaga keharmonisan dengan kosmos
(Kondrad Kebung, 2017). Budaya dan alam tetap dijaga keasliannya karena justru
dari situ ditemukan pariwisata yang sesunggunya. Pariwisata sangat membantu tetapi
kita harus kritis menyikapinya, jangan sampai ada “jebakan pariwisata”. (Pernah Terbit pada Flores Pos).