IMPOTENSI, PERSELINGKUHAN DAN ORTODOKSI MONOGAMI #Oleh Rian Odel
Pendahuluan
Masalah
perselingkuhan yang dilakoni oleh keluarga-keluarga katolik menjadi tantangan kronis
dalam tubuh Gereja NTT. Sumber-sumber yang memantik adanya praktik tak halal
itu beragam-ragam macam, baik dipicu oleh situasi internal maupun eksternal.
Gereja keuskupan Atambua misalnya, pada tahun 2011 silam, pernah mengalami
peningkatan kasus perselingkuhan keluarga katolik. Yang sangat memprihatinkan
ialah – sesuai data dari Komisi Keadilan, perdamaian dan Pastoral Migran dan
Perantau Keuskupan Atambua, NTT – kasus perselingkuhan dan perceraian di
kalangan umat berada pada urutan ketiga dalam kasus hukum di keuskupan
bersangkutan[1].
Selain itu, data-data yang diberitakan oleh media-media turut mengafirmasi
adanya peningkatan kasus yang sama di wilayah NTT yang mayoritas penduduknya
adalah orang Katolik[2]. Dengan
itu, kita dapat mengetahui bahwa kasus perselingkuhan sedang marak terjadi.
Yang
menjadi kesulitan baru dalam rumah tangga katolik dimaksud ialah perbenturan
tingkahlaku perselingkuhan dengan pemahaman ortodoksi monogami dalam ajaran
resmi Gereja Katolik. Padahal, salah satu akibat logis dari adanya
perselingkuhan adalah perceraian yang memungkinkan adanya perkawinan yang kedua
sebagai jalan keluar. Oleh karena itu, pada substansi tulisan ini, penulis mengulas
secara cukup komprehensif tentang impotensi sebagai salah satu pendukung perselingkuhan dan relevansinya
dengan pemahaman ortodoksi monogami dalam Gereja sehingga memungkinkan kita
untuk mencari solusi sesuai konteks masa kini.
Hakikat Perkawinan Katolik
Pada kodratnya, perkawinan adalah sebuah keharusan bagi seorang pria dan wanita untuk memenuhi muka bumi melalui kelahiran anak. Prinsip dasar ini dilegitimasi oleh Tuhan sendiri sebagai pencipta primer (Bdk. Kejadian 1:28). Dengan demikian, perkawinan merupakan praktik yang suci dan dipenuhi oleh rahmat Ilahi. Dalam tradisi Kristen Katolik, perkawinan pria dan wanita dapat dibaca dalam Kitab Hukum Kanonik yang berbicara khusus tentang tema perkawinan. Selain mengafirmasi konsep dasar seperti pada Kitab Kejadian di atas, Gereja juga melihat perkawinan sebagai sebuah persatuan hidup utuh pria dan wanita dengan dasar kesejahteraan suami-istri, kelahiran dan pendidikan anak; oleh kristus Tuhan perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen (kan. 1055)[3].
Artinya, perkawinan merupakan sebuah sakramen suci yang disahkan oleh Tuhan
sendiri sehingga persatuan suami-istri memiliki kekuatan dan arah yang jelas
oleh bimbingan Tuhan. Arti lain bahwa perkawinan antara dua orang yang belum
dipermandikan bukanlah sakramen[4].
Pada
kanon 1057, sifat-sifat hakiki perkawinan katolik ialah monogam dan tak
terceraikan karena memiliki kekukuhan khusus atas dasar sakramen[5].
Dengan demikian, sangat jelas bahwa perkawinan katolik terjadi hanya satu kali
bagi suami-istri dan berlaku kekal. Namun, seturut perkembangan zaman,
konsep-konsep radikal perkawinan katolik, oleh keluarga katolik sendiri tidak
berjalan sesuai jalurnya. Praktik-praktik kejahatan dalam keluarga katolik
semakin merajalela dan mengancam keutuhan keluarga katolik yang berimbas pada beban
berat yang dipikul Gereja.
Impotensi: Akar Perselingkuhan
Pada
bagian pendahuluan di atas, penulis sudah menguraikan satu contoh kasus
perselingkuhan sekaligus perceraian yang sangat ramai terjadi di Keuskupan
Atambua. Walaupun contoh tersebut terjadi pada tahun 2011 silam, tetapi tak
dapat dimungkiri bahwa kasus perselingkuhan dan perceraian dalam keluarga
katolik di NTT terus menjamur. Selain data-data sekunder yang ada pada
media-media, penulis juga menemukan data empiris yang relevan di tengah kehidupan
sosial dewasa ini. Salah satu faktor utama perselingkuhan ialah ketidakakuran
dalam rumah tangga yang berakar pada masalah impotensi, entah pada suami maupun
istri.
Ada
dua jenis impotensi yakni impotentia coeundi dan generandi. Impotentia coeundi yaitu ketidakmampuan untuk
melakukan hubungan seksual, sedangkan impotentia
generandi yakni ketidakmampuan untuk
memberikan keturunan atau sterilitas[6].
Penulis menemukan bahwa mayoritas perselingkuhan terjadi karena adanya jenis
impotensi yang kedua, sedangkan jenis yang pertama jarang penulis temukan. Masalah
seperti ini berakibat ganda, selain perselingkuhan juga kekerasan fisik dan
istri menjadi korban, sedangkan perceraian dalam kasus seperti ini, penulis
belum memiliki data yang lebih valid. Hal ini dikarenakan konsep monogami dalam
ajaran resmi Gereja Katolik yang mengharamkan perceraian. Gara-gara impotensi, salah
satu tujuan perkawinan untuk melahirkan keturunan tak bisa dijangkau dan hal
ini dianggap “haram” dalam budaya patriarkat dan menjadi masalah yang mengarah
pada perpecahan keluarga. Namun demikian, Gereja katolik pada prinsipnya
menolak perceraian sebab perkawinan adalah sakramen.
Pertanyaanya;
apa solusi yang tepat bagi keluarga yang terkena dampak impotensi? Sebab,
selain mengakui bahwa perkawinan adalah bukti cinta tulus suami-istri tetapi
juga tak dapat dielak bahwa tujuan melahirkan anak sangat penting dalam budaya
orang NTT. Walaupun impotensi sebelum perkawinan dianggap tak sah oleh Gereja
(kan. 1084)[7]
tetapi salah satu kekeliruan yang terjadi ialah impotensi baru diketahui
setelah perkawinan resmi dilakukan dalam Gereja. Justru inilah yang berbahaya.
Artinya, sebelum melakukan perkawinan resmi, pasangan suami-istri memiliki dasar
tulus untuk membangun keluarga apa adanya. Namun, dalam perjalanan rumah
tangga, mereka menemukan masalah impotensi yang kemudian menjadi akar
perselingkuhan. Kekeliruan ini banyak terjadi dalam kehidupan keluarga katolik
di kampung-kampung sebab sebelum perkawinan resmi, mereka tidak pernah
memeriksa kesehatan fisik secara medis sebagaimana yang dikehendaki Gereja
sendiri. Laki-laki maupun perempuan seringkali mencari jalan keluar melalui
perselingkuhan untuk mencari keturunan.
Melihat Kembali Prinsip Monogami dalam Gereja
Sudah dijelaskan di atas bahwa Gereja sangat menentang adanya poligami. Prinsip ini sudah diatur secara sah oleh Gereja dan diterima oleh semua anggota Gereja universal. Namun, pada konteks tertentu, praktik monogami seringkali tidak menjamin keutuhan keluarga katolik khususnya yang dijerat masalah impotensi. Bahkan dalam tradisi-tradisi lokal, praktik poligami adalah hal yang wajar sejauh memenuhi aturan adat dan didukung oleh kesepakatan pelaku perkawinan. Alasan poligami sangat masuk akal yaitu saat istri dinyatakan impoten dan suami berhak mencari yang baru. Yang menjadi persoalan ialah, masalah impotensi yang berujung pada perselingkuhan. Impotensi sangat kuat mendorong suami atau istri untuk berselingkuh dengan tujuan memeroleh anak.
Masalah lainnya ialah, Gereja
tidak mengenal perkawinan ulang dari orang yang terikat perkawinan sebelumnya,
kecuali perkawinan itu sudah mendapat legitimasi oleh Tribunal Gereja atau oleh
Paus sendiri[8].
Konsep ini sangat sulit diterapkan dalam kehidupan keluarga katolik dewasa ini,
khususnya di kampung-kampung yang masa bodoh dengan aturan Gereja yang serba
rumit dipandang dari kaca mata mereka. Akibat lanjutnya, perselingkuhan
merajalela.
Sekurang-kurangnya ada dua hal penting yang perlu dilihat lebih jauh. Pertama, perselingkuhan terjadi jika istri menolak praktik poligami oleh suami – jika istri impoten. Hal ini membuat suami secara “agresif” berselingkuh tanpa memikirkan perasaan sang istri. Sebaliknya, jika suami impoten, istri yang ingin memiliki anak akan merasa tertekan dan kemungkinan kecil untuk selingkuh. Istri bersangkutan akan mencari jalan lain untuk berselingkuh, misalnya ketika suami pergi merantau.
Kedua, perselingkuhan terjadi karena prinsip monogami yang
seringkali membebankan pihak suami yang ingin memeroleh keturunan sebagai ahli
waris. Hal kedua ini bisa kita pahami bahwa, mendapat keturunan adalah tugas
yang sangat penting bagi seorang suami. Dengan demikian, prinsip monogami dalam
Gereja mesti dilihat kembali sesuai konteks permasalahan impotensi yang
menyerang keluarga katolik dewasa ini.
Menurut
saya, konsep radikal monogami dalam Gereja Katolik mesti selalu membaharui diri
sesuai tuntutan keluarga katolik yang sungguh-sungguh dilanda penyakit
impotensi. Yang perlu dipertimbangkan ialah, jika suami-istri bersepakat untuk
poligami oleh suami, maka Gereja mesti mendengarkan dan memberi solusi. Sebab,
jika Gereja tetap radikal memertahankan konsep monogami, kasus perselingkuhan
dengan akar masalah impotensi pascaperkawinan akan membebankan keluarga
bersangkutan. Berikutnya, jika keluarga yang dilanda impotensi tetapi tetap
akur dan bahagia dengan rumah tangga tanpa perselingkuhan dan kekacauan
internal, maka Gereja menguatkan mereka sebab pada dasarnya perkawinan adalah
persatuan utuh suami-istri dalam untung dan malang.
Kaitannya dengan Moral Pribadi
Dalam perjanjian lama, seksualitas paling pertama dipahami sebagai jalan prokreasi. Oleh karena itu, kesuburan merupakan anugerah Tuhan sebaliknya kemandulan adalah petaka dan siksaan Allah (Im 20:20; 1 Sam 1:1-20; Yes 47:9)[9]. Penjelasan biblis tersebut mengafirmasi bahwa impotensi menghalangi prokreasi. Namun, pada dasarnya, perkawinan bukan bertujuan mutlak pada prokreasi melainkan lebih pada keterbukaan untuk saling menerima diri antara suami dan istri. Keterbukaan seperti ini melampaui segala macam kesulitan yang menyerang hidup berkeluarga dalam bingkai katolik termasuk impotensi.
Walaupun demikian, kita tak bisa menolak tujuan lain dari perkawinan yaitu prokreasi itu sendiri. Tanpa prokreasi tentu salah satu tujuan dari perkawinan dinyatakan gagal. Bertolak pada konsep saling menerima antara suami dan istri, maka relevansinya bagi penyakit impotensi dapat dicari jalan keluar yang seimbang. Artinya, keterbukaan itu mesti juga diterapkan pada solusi terhadap impotensi, yaitu menerima impotensi baik oleh suami atau istri dengan dasar yang tulus. Melalui penerimaan tulus tersebut, selanjutnya dicapai kesepakatan internal entah poligami ataupun tetap eksis dengan keadaan semula. Intinya, kebahagiaan keluarga terjamin sehingga akibat buruk pada perselingkuhan bisa dikontrol.
Jika poligami menjadi sebuah kesepakatan internal suami-istri bersangkutan,
maka Gereja mesti menimbang konsep monogami secara baru, yaitu menyesuaikan
dengan kesepakatan keluarga inti. Sebab, kebahagiaan sesungguhnya ada dalam
diri keluarga. Gereja mesti mendengarkan suara mereka secara tulus tanpa
bertahan pada ajaran monogami yang pada sisi tertentu membebankan keluarga yang
terjerat impotensi khususnya oleh sang suami.
[1]http://m.voa-islam.com/news/christolgy/2011/11/16/16699/gereja-katolik-hadapi-problem-tingginya-selingkkuh-dan-perceraian/, diakses pada Sabtu 4 April
2020.
[2] Tentang hal ini dapat dibaca
pada Pertemuan Komkat Regio Nusra ke XXXVII di Katiku Loku-Sumba dari tanggal
21-24 Agustus 2018. Dalam pertemuan itu, mereka juga membahas tema tentang
Bahaya Penyakit Sosial: Perjudian, Miras, dan Perselingkuhan. Lihat http://komkat-kwi.org/2018/08/29/pertemuan-komisi--kateketik-regio-nusa--tenggara-ke-xxxvii-spiritualitas-pewarta-sabda-di-era-digital/, diakses pada 5 April 20120.
[3] Sekretarian KWI, Kitab Hukum Kanonik (Jakarta:
Obor, 1991), hlm. 303-304.
[4] Josef Koningsman, Pedoman Hukum Perkawinan Gereja Katolik (Ende:
Penerbit Nusa Indah, 1987), hlm. 26.
[5] Sekretariat KWI, op.cit., hlm. 304.
[6]
Philip Ola Daen, Pelayanan Tribunal Perkawinan (Maumere:
Penerbit Ledalero, 2019), hlm. 14.
[7] Sekretarian KWI, op.cit., hlm. 310.
[8] Philip Ola Daen, op.cit.,
hlm.16.
[9] Paskalis Lina, Moral Pribadi; pribadi Manusia dan
Seksualitasnya (Maumere: Penerbit Ledalero, 2017), hlm. 58.